Senandung RASA Ketika hati dan otak mulai tak mampu lagi menampung rasa dan lisan tertahan untuk menyenandungkannya, maka tulisan mengambil alih untuk menyampaikannya. Menyenandungkan semua tentang Rasa...

Minggu, 31 Agustus 2014

HILANG



        Terkadang, apa yang kita rencanakan tak selalu berjalan seperti apa yang kita inginkan. Kadang Tuhan tak mengijinkan rencana yang telah kita susun itu terjadi. Kadang Alam pun, ikut serta untuk mendukung keinginan Tuhan yang tentunya lebih berkuasa dibandingkan apapun yang ada di muka bumi ini. Bukan karena Tuhan tak sayang, mungkin kita yang memiliki salah hingga Tuhan tak berkenan mengijinkan rencana-rencana kita terjadi. Atau mungkin, Tuhan menyiapkan rencana lain yang lebih indah. Dan mungkin Tuhan ingin menguji seberapa hati hambanya mampu bertahan dalam setiap ujian yang ia berikan.

***

       Dinda menatap sosok wanita muda berambut pendek  yang tengah duduk di pojokan kamar bercat biru langit itu dengan nelangsa. Ia masih ingat betul saat dulu wanita itu memiliki rambut panjang yang indah. Dulu, wanita itu memiliki senyum manis dengan lesung pipi yang selalu menghiasi wajah lembutnya. Dulu, wanita itu memiliki mata yang selalu bersinar ceria. Ya, dulu Kakaknya itu selalu membuat rumah mungil yang mereka tinggali sejak kecil, hangat dan penuh tawa. Tak dingin seperti sekarang. Sekarang yang Dinda rasakan hanyalah kesunyian, sepi, sendirian dan dingin. 

       Dulu, teman-teman Dinda selalu berdecak iri setiap kali mereka bertandang kerumah gadis remaja itu. Namun kini, Dinda harus menahan hati saat teman-teman bahkan kerabat dekatnya menggunjing tentang keluarga mungilnya. 

        “Cepet sembuh, Kak,” ujar Dinda lirih sambil menghela nafas panjang,  lalu, tangan kanannya terulur untuk meraih ganggang pintu kamar Kakaknya. Pelan, Dinda menutup pintu kayu berwarna coklat itu, dan kemudian ia berbalik hendak menuju kamarnya sendiri.

       “TIDAAAAAKKKKK!!!!!!! RANUUUU!!!! MAMAAA!!!! PAPAAA!!!!” 

       Teriakan itu membuat langkah Dinda sontak terhenti. Cepat ia berbalik dan membuka pintu kamar Kakaknya. Dan matanya langsung disambut pemandangan yang membuat Dinda cepat berlari dan memeluk Kakak semata wayangnya itu.

      “Kak Dini, udah Kak. Jangan teriak-teriak lagi.” Pinta Dinda sambil berusaha keras untuk menahan air matanya yang sebenarnya sudah siap tumpah. Dipeluknya erat Kakak semata wayangnya yang masih menggigil ketakutan.

       “Ranu, Ma, Pa, kalian mau kemana? Tunguin Aku...” isaknya. Bola matanya yang berwarna coklat menatap kosong ke arah jendela kamar yang tertutup rapat. Tangan kanannya, terulur seolah ingin menggapai seseorang.

     “Mereka nggak kemana-mana, Kak. Kakak tenang ya," bujuk Dinda lembut sambil mengusap-usap punggu Kakaknya hingga tangis Dini perlahan mereda.

          Pelan, Dinda melepas pelukannya. Ditatapnya Dini yang masih menatap ke arah jendela kamar, dengan penuh kasih. Dini adalah satu-satunya saudara yang Dinda punya. Sejak kecil, kepada Dini lah Dinda selalu mengadu. Kepada Dini lah Dinda selalu meminta perlindungan.  Hati-hati Dinda membenarkan rambut Dini yang tampak berantakan menutupi sebagian wajahnya yang kini mulai tirus. Ujung jemarinya menghapus jejak tangis yang masih tersisa di wajah Kakaknya itu.

       “Kak, cepet sembuh. Dinda sekarang cuma punya Kakak. Cepet sembuh, Kak...” Dan bendungan yang coba ditahannya sejak tadi, akhirnya tumpah. Dinda terisak sambil memeluk Kakaknya erat.

***

   Malam itu, cuaca sedang tidak bersahabat. Sejak sore hujan deras disertai petir. Namun bukan itu yang membuat Dinda mondar mandir gelisah di depan pintu ruang tamu rumahnya. Waktu sudah menunjukan pukul 22.00 WIB dan kedua orang tua serta Kakaknya belum juga sampai di rumah.

 Berkali-kali Dinda mencoba menghubungi dan tak satupun dari ketiga nomor ponsel yang ia hubungi, menjawab panggilannya. Cemas mulai menguasai hatinya. Sore tadi, saat Mama, Papa dan Kakaknya berpamitan untuk mengecek gaun pengantin yang telah dipersiapkan untuk acara pernikahan Kakaknya yang sudah di depan mata, Dinda sudah merasa cemas. Selain karena cuaca yang buruk, Dinda juga mendapat firasat yang entah kenapa tak begitu bagus. Namun bukan karena itu Dinda tak ikut serta, banyak tugas kuliah yang menanti untuk segera diselesaikan. Dan kini ia menyesal, kenapa tidak memaksa untuk ikut.

           Tok, tok, tok....
     Dinda nyaris melompat saat mendengar bunyi ketukan pintu. Cepat gadis itu berlari menuju pintu dan segera membukanya. Namun yang muncul di depan pintu bukanlah tiga orang yang tengah ia tunggu. Rasa cemas Dinda, kini mulai berganti menjadi ketakutan. 

          “Po, polisi? A, ada apa, Pak?” Tanya Dinda dengan suara terbata.

          “Benar ini rumah Bapak dan Ibu Donny? Juga, saudari Dini Andari?” tanya salah satu petugas.
Dinda mengangguk sambil menelan ludah. Hatinya dipenuhi berbagai pertanyaan dan tak ada satupun pikiran baik yang melintas di otak dan hatinya.

          “Maaf, Dik, bisa Adik ikut dengan kami sebentar?” Tanya petugas itu lagi.

          Dinda terdiam sejenak. Gadis itu semakin bertambah bingung. “Ada apa ya, Pak?”

          “Nanti kami jelaskan di perjalanan. Sekarang, mari ikut kami ke Rumah Sakit terlebih dahulu.”

Dinda terbelalak kaget. “Rumah Sakit?”

    Petugas itu mengangguk dan mengucapkan beberapa kata. Cepat Dinda masuk ke dalam rumah, mengambil tas dan segera mengunci pintu rumahnya. Tak ada lagi yang ia pikirkan selain berdoa. Berharap kalau yang ia pikirkan saat ini, salah. Berharap Tuhan berkenan mendengar doa-doanya. Dan berharap semuanya baik-baik saja. 

***

      “Kecelakaan itu terjadi tepat di depan Butik Venisa. Tiga korban tak dapat diselamatkan, sementara yang satu lagi mengalami kerusakan parah pada otak. Menurut saksi mata yang melihat, korban laki-laki bernama Ranu itu, sempat mendorong keluar gadis yang kami ketahui bernama Dini. Namun, ia sendiri, juga Bapak dan Ibu Donny, tak sempat menyelamatkan diri mereka. Mobil yang mereka tumpangi, meledak."

        Dinda terpaku menatap tiga jasad bertutupkan kain putih yang sekarang ada di hadapannya. Otaknya yang biasanya cerdas, mendadak lumpuh dan kesulitan mencerna penjelasan dari petugas kepolisian. 

      Perlahan, Dinda melangkah mendekati jasad yang berada persis di tengah. Dengan tangan gemetar, Dinda memberanikan diri untuk membuka kain putih yang menutupi jasad itu. Seiring dengan terbukanya kain putih itu, saat itu juga Dinda merasa dunianya runtuh. 

         “Mama...” Isak Dinda tertahan. Dinda tahu yang dihadapannya itu, pasti Mamanya. Walaupun jasad itu nyaris tak bisa dikenali lagi. Kedua lututnya terasa lemas. Dan, Dinda tak lagi mengingat apa-apa selain gelap.

***

Hilang....

         Dinda bersimpuh di antara pusara Papa dan Mamanya. Kedua tangannya masing-masing berada di atas pusara dan memainkan taburan bunga yang masih segar. 

Hilang....

         Dinda ingat saat Mama dan Papanya memeluknya erat sebelum mereka pergi sore itu. Dinda ingat pesan terakhir dan kecupan penuh kasih dari Papanya sore itu. Dinda ingat bagaimana raut wajah Mama saat berkata “Selamat tinggal”, sore itu. Dan Dinda ingat senyum manis Kak Ranu yang sempat menghadiahinya sepaket Teddy  Bear mungil yang lucu. Dinda juga ingat saat Kak Dini memeluknya dan mencubit hidungnya pelan. Namun sekarang, Dinda benar-benar sendirian. Dinda tak pernah menyangka kalau kata “selamat tinggal” dari Mama dan Papanya adalah kata terakhir yang ia dengar. Dinda tak pernah tahu kalau hadiah boneka dari Ranu, adalah hadiah terkahir yang diterimanya.

Hilang....

     Tuhan mengambil orang-orang yang disayanginya. Walaupun Tuhan masih menyisahkan Kakaknya, namun Tuhan mengambil jiwanya. Dini sama sekali tak mengingat apapun selain Mama, Papa dan Ranu. Dini tak bisa merespon apapun, selain diam dan terkadang berteriak histeris sendiri. Dini bahkan tak lagi mengenali Dinda.

***

        Dinda tersentak dari tidurnya. Tidurnya kembali dihantui mimpi. Sejak kedua orang tuanya tiada, sejak Dini tak mampu lagi merespon apapun, sejak itu juga, Dinda selalu dihantui mimpi buruk. Namun kali ini, mimpi itu sedikit berbeda. Ada  wajah Dini di dalam mimpinya. Bukan wajah tirus dan sayu seperti satu tahun terakhir ini. Namun wajah manis, seperti yang terakhir kali Dinda ingat. 
 
         Cepat Dinda bangkit dari tidurnya, dan bergegas berlari menuju kamar Dini. Hatinya kembali dipenuhi rasa yang sama seperti satu tahun yang lalu. Dan kembali, Dinda melantunkan doa-doa yang sama seperti saat dulu ia berdoa dan berharap supaya apa yang ia pikirkan, salah.
Klik. Dinda menghidupkan lampu kamar Dini saat ia sudah berada di dalam kamar. Dinda langsung menghela nafas lega saat dilihatnya Dini yang tengah tertidur tenang di atas ranjang. Namun sesaat kemudian kelegaan Dinda berubah menjadi kekhawatiran. Tak biasanya Dini tidur tenang dan di atas Ranjang. Dinda selalu mendapati Kakaknya ini tidur dengan posisi duduk sambil memeluk kedua kakinya, di sudut ranjang.

      Segera Dinda menghampiri Dini. Pelan, Dinda menggoncang-goncang bahu Dini. Berharap Kakaknya itu segera terbangun. Namun, Dini tetap bergeming. Tubuh Kakaknya itu tak merespon apapun. Cemas, Dini segera berlari ke kamarnya dan mencari ponselnya. Lalu, sambil berlari kembali menuju kamar Dini, sambil menekan-nekan ponselnya. Sesaat kemudian, ponsel itu sudah tertempel di telinganya. Dan Dinda langsung berkata dengan suara terbata dan ketakutan.
          
         "Ha, halo. Dokter Nina? Dok, Kak Dini...."
***

Hilang....

       Seakan dejavu. Dinda kembali berada di tempat yang sama seperti setahun yang lalu. Tempat dimana ia harus menaburkan banyak bunga. Tempat dimana, satu tahun belakangan ini, ia habiskan jika ia merindukan kedua orang tuanya, juga Ranu. Kini, tempat itu manjadi tempat yang sama jika ia merindukan Kakaknya nanti. 

Hilang....
        
        "Kakak bahagia? Ketemu Mama sama Papa, belum? Ketemu Kak Ranu, belum? Sampaikan salam Dinda untuk mereka semua ya. Dinda sayang kalian semua...."

***

Walaupun saat ini Tuhan mengambil seluruh bahagiamu....
Walaupun saat ini, semua bahagiamu hilang...
Bersabar dan percayalah, suatu saat nanti Tuhan akan mengganti bahagiamu dan menghadirkan kembali apa yang telah hilang dari hidupmu...
Jika bahagia untukmu tak juga datang, mungkin saat ini Tuhan tengah memberi bahagia untuk yang hilang dari hidupmu....




Einca, 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Airalaks, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena