.... Biar danau ini jadi saksi cak
mano kau tenggelamkan cinto ini dan hidup ini. Di sini aku mati. Di sini jugo
kelak kau nyusul aku....
***
Aku
tidak pernah suka pulang ke rumah onun!
Tapi kali ini, aku tidak bisa menolak ketika ibu memaksaku untuk pulang ke
Bengkulu dan menginap di rumah onun. Onun sedang sakit. Dan ibu mengancam akan
memotong uang jajanku selama dua bulan jika aku menolak.
Jangan
kalian pikir aku membenci onun. Tidak. Aku sangat menyayanginya. Tapi aku tidak
suka tinggal dan berdiam di rumahnya. Jika pulang ke Bengkulu, aku lebih
memilih tinggal di rumah sepupuku. Rumah onun terlalu menyeramkan. Dan aku
tidak pernah bisa tidur setiap kali berada di dalam rumah itu. Tidak sama
sekali.
Seperti
barusan. Lagi-lagi aku kembali bermimpi aneh. Mimpi yang sama setiap kali aku
tak sengaja tertidur di rumah onun. Padahal aku baru beberapa jam menginjak
rumah tua ini, tapi gadis aneh yang selalu muncul sambil menangis di dalam mimpiku
itu, sudah datang menyapa. Aku tak pernah melihat wajah gadis itu. Dia selalu
menangis dan duduk di tepi ranjang besi, dengan sebuah buku di pangkuannya. Dia
selalu membelakangiku, hingga aku hanya mampu melihat punggungnya. Tapi kuyakini
gadis itu gadis yang cantik. Dengan rambut panjang lurus yang dikepang dua dan
kebaya kuno yang membungkus tubuh eloknya.
Brak!
Tubuhku langsung berdiri tegak saat kudengar suara gaduh di luar kamar onun.
Awalnya aku lebih memilih untuk memeluk onun dan kembali tidur. Tapi suara
gaduh itu kembali terdengar, hingga kuputuskan untuk melihat apa yang terjadi
di luar sana. Bagaimana jika ada rampok yang memasuki rumah? Dan dengan
berbekal kayu panjang, bekas tongkat almarhum datuk dulu, aku keluar dari kamar
onun.
Mataku
awas mengitari seisi ruang tengah. Jika kondisi normal dan rumah ini tidak
memberi mimpi buruk bagiku, aku pasti akan senang tinggal di rumah onun. Rumah
kuno terbuat dari kayu jati, berbentuk rumah panggung seperti rumah Rakyat
Bengkulu jaman dulu. Benda-benda yang mengisi rumah ini pun, rata-rata benda
lama. Seperti ranjang besi yang ada di kamar onun—dan sebuah kamar lain yang
tak sengaja pernah kulihat. Lemari kayu yang sudah ada bahkan sejak onun belum
lahir. Kursi-kursi kayu dengan ukiran simbol-simbol flora, seperti bunga dan
daun. Ukiran yang sama seperti yang ada di beranda rumah onun dan di atas atap
rumah onun. Dan yang lebih menyenangkan lagi, rumah onun berada di atas tebing
yang di belakangnya terpapar langsung pemandangan Danau Dendam Tak Sudah.
Semua
yang ada di rumah onun, berumur lebih dari seratus tahun. Kudengar hal itu dari
ibu. Menurut cerita ibu, rumah ini memang dijaga dan diwariskan turun temurun
kepada anak sulung wanita, atau anak wanita satu-satunya. Dan kebetulan onunku
merupakan anak wanita poyang satu-satunya. Sementara anak perempuan onun
satu-satunya adalah ibuku. Tapi untungnya onun tidak sekolot Poyang. Ibu boleh
tinggal di luar kota, bersama ayah yang memang berasal dari Tanah Jawa.
Brak!
Lagi, tubuhku menegang mendengar suara itu. Cuma satu suara. Tidak terlalu
gaduh. Dan kali ini aku bisa jelas mendengar dari mana asalnya. Kamar yang tadi
kubilang pernah tak sengaja kulihat isinya. Kamar yang selama ini tak pernah
dibuka, kecuali pada tanggal 24 Juli.
Aku
menghampiri pintu kamar itu. Onun pernah memberitahunya padaku dulu. Dan hanya
aku yang tahu. Onun melarangku untuk menceritakan perihal kunci dari kamar
terlarang itu kepada siapa pun. Termasuk ibu.
Hup!
Aku melompat untuk meraih kunci yang onun letakkan di sudut ventilasi kamar
itu. Sudut yang tertutup tirai. Cepat kumasukkan kunci itu ke lubangnya, dan
kubuka pintu itu perlahan. Sejenak aku terdiam saat kudapati kamar itu terang
benderang, rapi dan tak berdebu. Sebuah ranjang besi—bertirai putih kelabu—terdapat
di sudut kamar, dengan lemari kayu yang ada di ujungnya. Di atas meja yang ada
di samping ranjang, terdapat kaca kecil, sisir tua, dan sebuah lukisan yang
tergantung di atasnya. Lukisan gadis muda yang cantik. Dengan rambut panjang
dikepang dua dan mengenakan kebaya kuno.
Keningku
mengerut. Rasanya lukisan itu tidak asing. Dan rasanya, senyum yang
diperlihatkan gadis itu, juga tak asing. Perlahan kulangkahkan kakiku memasuki
kamar. Kamar itu wangi. Seperti harum bunga kenanga. Tapi tiba-tiba saja,
seperti ada yang menarikku. Menarik sangat kencang hingga aku terjatuh.
***
Hari
baru beranjak senja saat tahu-tahu saja aku sudah berada di tepi Danau Dendam
Tak Sudah. Danau yang letaknya tak jauh dari rumah onun. Telingaku menangkap
bunyi serunai dan gendang yang saling bersahutan. Sama seperti dendang khas
melayu yang kudengar ketika ada acara pernikahan di Bengkulu. Dan rupanya
dendang itu berasal dari sebuah rumah yang ada di seberang danau.
“Ada
yang menikah? Seingatku tadi nggak ada apa-apa deh,” gumamku bingung. Aku juga
bingung mendapati hari masih senja. Padahal aku ingat betul tadi sudah malam.
Dan aku juga bingung kenapa aku sudah berada di tepi danau. Aneh.
Mataku
beredar mengamati sekitar danau. Rasanya danau ini sedikit lebih indah daripada
yang biasa kulihat. Sekitarnya masih dipenuhi bunga anggrek pensil yang
seingatku sudah cukup langka sekarang. Tapi tak hanya anggrek itu yang menarik
perhatianku. Melainkan seorang gadis yang berdiri di tepi tebing yang tak jauh
dariku. Tebing yang berada tepat di belakang rumah onun. Tebing tempat aku
biasa melihat danau ini ketika senja.
“Hei,
kamu sedang apa di sana? Nanti jatuh!” Aku memekik nyaring. Kulangkahkan kakiku
menuju tempat gadis itu berdiri. Aku penasaran. Dan sesampainya di sana, gadis
itu sudah berbalik dan menatapku tajam.
Matanya
sungguh mengerikan. Dan jika bisa berlari, rasanya aku ingin berlari saja. Tapi
entah apa yang menahanku. Aku hanya bisa terpaku. Terpaku menatap manik hitam
gadis itu. Dan wajahnya. Oh Tuhan....
“Ngapo baru datang
kini?” tanyanya kesal. Seperti aku sudah melakukaan sebuah
kesalahan besar, dan membuat dia menunggu sangat lama.
“Aku—aku
minta maaf. Tapi kamu siapa? Dan apa yang kamu lakukan di halaman rumah
Onunku?” Aku tak tahan untuk bertanya.
“Kau tengok pesta yang ado di seberang sano?”
tanyanya lagi, tanpa menjawab pertanyaanku. Jari telunjuknya teracung lurus ke arah rumah
di seberang danau.
Aku
mengangguk, “Pestanya meriah sekali,” kataku. “Tapi aku bingung sejak kapan
pesta itu dilangsungkan. Dan kamu, kenapa nggak ke....”
“Dio kekasihku.
Dulu di sini dio meminangku. Tapi tigo hari lalu, dio malah menikah dengan
gadis dari dusun sebelah. Dio dak dak pernah nengok aku lagi. Padahal aku
selalu nunggu dio di sini.” Gadis itu menyela kalimatku dengan aksen Bengkulunya
yang kental. Wajahnya terlihat sangat terluka. Seperti ada yang mati di
hadapannya.
Aku
tertegun. Oh, kasihan betul gadis ini. Tapi dia kan masih muda. Kupikir umurnya
sama denganku. “Mungkin dia bukan jodohmu. Kamu cantik. Nanti pasti ada yang
bisa menerimamu,” kataku memberi semangat.
Dia
mendesis. Mata bulatnya memicing tajam ke arahku. “Kau dak tahu apo-apo! Dio cuma boleh kek aku. Bukan kek tino lain. Dio
cuma boleh nikah kek aku. Kareno dio la janji kek aku! Dan dio la ngambik
setengah hidup aku!”
semburnya diiringi isak menyayat.
Aku
lagi-lagi hanya bisa tertegun. Gila! Itu satu-satunya kata yang terlintas di
dalam kepalaku. “Ba—baiklah. Tapi, sekarang dia sudah meminang orang lain. Kamu
nggak bisa menghentikannya.” Aku masih mencoba membujuk. Entahlah, biasanya aku
akan langsung meninggalkan orang-orang yang berpikiran sempit seperti gadis
ini. Tapi kali ini, aku seperti sangat peduli padanya. Aku benar-benar iba
melihat tangisnya. Sungguh, rasanya seperti diriku ikut terluka karena
tangisnya itu.
Gadis
itu tak menyahut. Dia diam dan hanya menatapku. Lebih dari semenit dia
menghujamku dengan tatapan yang sangat dingin. Namun sesaat kemudian, wajahnya
berubah sendu. Tak ada lagi tatap dingin yang menyeramkan. Yang terpancar
darinya hanyalah kesedihan dan kesakitan.
“Ini,”
Dia menyodorkan sebuah buku padaku. Gegas aku meraihnya walau masih diliputi
bingung. “Sampaikan ini kek Kani. Dan kau
jugo harus baco buku ini. Kelak kalian akan ngerti ngapo aku milih lakukan
ini.”
Aku
terdiam. Barusan dia menyebut nama onun, tanpa embel-embel di depannya.
Langsung nama. Dan itu membuatku sungguh terkejut. Onun di hormati di
lingkungan ini, dan dia, dia berani memanggil onun hanya dengan nama.
Gadis
itu tersenyum kecil, seolah tahu apa yang ada di dalam pikiranku. “Namoku Risa. Aku senang kau datang ke sini.
Kuharap kelak kau akan bernasib lebih baik dariku, Risa.” Dan usai
mengucapkan kata-kata itu, tanpa sempat kucegah, gadis itu berlari ke tepi
tebing dan melompat. Meninggalkanku yang hanya bisa menjerit
sekencang-kencangnya.
***
24 Juli, 1895....
.... Rasonyo aku dak kuat lagi.
Harus kusembunyikan ke mano janin yang kini kukandung? Dio la nikah kek tino
lain. Cak bungo nan lah abis maso kembangnyo. Cak kaco nan lah ancur dan dak
bisa disatu lagi. Cak itulah hatiku kini. Janji tu la abis. La kau buang kek
tino lain. Kalau cak ini, eloklah mati bae. Biar danau ini jadi saksi cak mano
kau tenggelamkan cinto ini. Dan seluruh hidup ini. Di sini aku mati. Di sini jugo kelak kau
nyusul aku....
Aku
menutup lembar terakhir dari buku harian yang Risa berikan padaku. Entah sudah
berapa banyak air mataku tumpah lantaran membaca kisah di dalam buku itu. Kau
tahu, kupikir awalnya aku bermimpi. Tapi tidak. Setelah kulihat Risa melompat,
aku berlari ke rumah onun, memasuki rumah itu tanpa permisi, dan langsung
berlari menuju kamar terlarang onun. Aku hanya memejamkan mata sejenak. Lalu
tahu-tahu aku sudah melihat onun yang menangis di atas ranjang besi tua kamar
itu. Dan yang paling mengejutkan lagi, di tanganku masih tergenggam buku
pemberian Risa. Onun juga bilang kalau aku menghilang hampir dua hari dari
rumah. Pantas saja onun menangis.
Aku
menyampaikan semua yang terjadi kepada onun. Awalnya onun tak percaya. Tapi
begitu dia membaca buku itu, akhirnya onun mulai bercerita. Tentang Risa, yang
ternyata adalah nenek buyutku. Dan tentang Risa yang ternyata sangat mirip
denganku, jika aku memiliki rambut panjang.
“Onun memang sengaja
memberimu nama yang sama seperti Onun Risa. Ketika kau lahir, Onun langsung
melihat kemiripan di wajah kalian. Onun pikir, dengan begitu Onun Risa akan
berhenti menghantui rumah ini. Tapi ternyata tidak. Onun rasa itulah alasan
kenapa kau tidak pernah bisa tidur di rumah Onun. Onun Risa selalu
menghantuimu, karena kau sangat mirip dengannya.”
“Sejak Onun Risa
meninggal, namanya tidak pernah disebut-sebut lagi. Bagi keluarga, Onun Risa
pembawa aib. Jaman dulu, meninggal bunuh diri sangatlah menjadi cercaan di
sini. Tidak ada keluarga yang memaafkan apa yang Onun Risa lakukan. Karena
sejak saat itu juga, keluarga kita mulai dipandang rendah.”
“Tapi seiring
berubahnya jaman, tidak ada lagi yang memandang rendah keluarga kita. Tapi,
nama Onun Risa tetap terlupa, dan beliau tetap dianggap pembuat aib di dalam
keluarga. Tidak ada yang mengetahui tentang Onun Risa. Hanya yang mewarisi
rumah ini yang tahu. Dan itu hanya Onun dan almarhumah Poyang.”
Aku
mengingat kembali kata-kata onun tadi malam. Kasihan Onun Risa. Makamnya tidak
pernah dikunjungi sejak seratus dua puluh tahun lalu. Bahkan kini letak
makamnya sudah tidak tahu di mana. Padahal keluargaku memiliki makam khusus
keluarga.
“Dulu waktu kau masih
berambut panjang, Onun sangat membencinya. Karena kau sangat mirip dengan Onun
Risa. Onun takut. Makanya Onun meminta kau memotong rambutmu. Dan ketika kau
menghilang kemarin, Onun pikir Onun Risa membawamu pergi. Onun pikir kau tidak
akan kembali, Sayang.”
Aku
menghela napas panjang. Kata-kata onun masih menari-nari di dalam kepalaku. Dan
itu semakin membuatku merasa sedih. Harusnya Onun Risa bisa tenang walaupun
caranya mati sungguh salah. Tapi setidaknya Onun Risa telah menyelamatkan
keluarga dari aib yang lebih besar.
Senja
itu, aku duduk di tepi tebing tempat Onun Risa melompat. Kutaburkan bunga
kenanga yang baru kupetik dari halaman depan rumah Onun. Onun Risa pasti suka
bunga kenanga. Dan sekarang, kukirimkan dia bunga kesukaannya sekaligus doa
untuknya. Kuharap Onun Risa bisa tenang mulai saat ini. Walaupun makamnya sudah
tak tahu di mana, tapi setidaknya, kini Onun Risa bisa dianggap ada. Dan aku
akan menjaga agar nama Onun Risa tidak lagi dilupakan.
Onun, ah, apa
seharusnya aku memanggilmu Poyang Risa? Apa pun itu, maafkan keterlambatanku.
Dan berbahagialah di sana.
Einca, 2014