Senandung RASA Ketika hati dan otak mulai tak mampu lagi menampung rasa dan lisan tertahan untuk menyenandungkannya, maka tulisan mengambil alih untuk menyampaikannya. Menyenandungkan semua tentang Rasa...

Kamis, 31 Desember 2015

Kepada API yang Menyala di Penghujung Tahun....




Kepada api yang menyala di penghujung tahun....
Entah kenapa malam ini aku begitu merindukannya.
Sesosok api yang dulu pernah menjadi air. Sesosok api yang dulu pernah menghilangkan panasnya, berubah menjadi hangat.

Rasanya tidak pernah ada ingatan yang indah tentang sosok api itu di penghujung tahun.
Tapi malam ini, entah kenapa aku begitu merindukannya.

Mungkin karena api yang sedang menyala di depan mataku. Tapi tidak. Bahkan rindu ini ada jauh sebelum api yang di depanku ini, aku nyalakan.
Sedang apa dia sekarang? Tahu tapi tidak terlalu tahu, itu bukan hal yang menyenangkan.
Melihat tapi tidak terlalu melihat, itu bukan hal yang menggembirakan.

Apa kau bahagia?

Kepada api yang menyala di penghujung tahun....
Bisa tidak sampaikan salamku untuknya?
Kepada api yang menyala di penghujung tahun....
Bisa tidak sampaikan maafku untuknya?
Kepada api yang menyala di penghujung tahun....
Bisa tidak sampaikan padanya,,,
Aku merindukannya.


Minggu, 22 November 2015

Amore Mio - Sedikit Omelan Gue Tentang Amore~~


sumber gambar: dari koleksi pribadi

Amore Mio
Penulis: Rofie Khaliffa
Editor: Ambra
Tata Isi: Violet V
Tata Sampul: Wulan Nugra
Penerbit: de TEENS
ISBN: 978 602 255 966 5
Cetakan Pertama: September, 2015
Harga: Cek sendiri di toko buku. Soalnya gue dapat dari hasil malak 😁


Amora, seorang gadis yang merindukan sosok ayah. Dia berkerja di Galateria Paolin sebagai pelayan. Suatu sore, datang pemuda murung yang kemudian selalu hadir di setiap senja berikutnya. Pemuda yang dengan dinginnya selalu mencela gelato buatan Amora dan membuat kacau hari-harinya.

Tom, pemuda murung yang selalu duduk di meja nomor 13 dan memesan dua mangkuk gelato stroberi. Lalu sambil memandan senja, ia bercakap-cakap sendiri. Menyebut nama seorang gadis. Isabella.

Diego, generasi penerus usaha galateria dan meski telah bertahun-tahun menjejakkan kaki di tanah lahirna, Itali, Diego tidak pernah membuang impian masa lalunya. Kenangan yang tersimpan dalam sebuah foto lama dan kapal mainan.

          "Apa kau kenal Isabella?" - Tom

          "Kalau kau tidak keberatan, Signore,
           aku akan membantumu mencari
           Isabella." -Amora

Awal baca buku ini—gue baca yang masih dalam bentuk belom diedit sama sekali—gue ngerasa bete karena narasinya yang panjang dan kelewat lambat. Tapi begitu gue baca file utuh yang udah diedit dan dimanis-manisin, gue jadi suka sama si Amore Mio ini.

Anak kedua dari adik ketemu gede gue ini, asli bikin sebel abis. Bukan karena ceritanya yang bosenin, tapi karena karakter Tom yang bikin sebel.

Tom itu digambarkan sebagai lelaki baperan yang selalu nyari-nyari ceweknya yang bernama Isabella. Cewek yang letak dan keberadaannya nggak tahu di mana. Selalu datang ke Galateria, memesan gelato—yang kebetulan dibuat oleh Amora—dan selalu protes karena potongan stroberi yang ada di gelato itu sama sekali nggak mirip dengan potongan stroberi si Isabella. Selain pemurung dan hobi marah-marah nggak jelas, Tom juga sering nongkrong di boks telepon dan neleponin Isabella. Padahal telepon itu jelas nggak tersambung. Sumpah, ini cowok, cakep tapi baperan tingkat dewa!

Amora sendiri digambarkan sebagai gadis yang lincah, periang, mandiri, dan tabah—kayaknya. Soalnya dia tahan menghadapi Tom yang baperan, bahkan sampai menawarkan diri untuk menemani Tom mencari Isabella. Tapi begitu mereka sudah berkeliling Verona untuk mencari Isabella, beberapa waktu setelahnya Tom malah menghilang. (Dasar cowok baperan doyan kabur!).

        “Hanya orang bodoh yang mengucap
          janji tanpa tahu bisa dia tepati atau
          tidak, dan aku bukan bagian dari
          golongan orang bodoh itu!” -Amora

Di saat Amora galau karena kepergian Tom yang mendadak. Muncul sosok Diego yang—aakh! Sumpah gue demen banget sama nih cowok. Galak-galak manis gitu!—menjadi manajer baru Galateria.

Sosok Diego ini digambarkan dengan sangat ciamik oleh Mpil—panggilan sayang gue buat penulisnya—dan berhasil membuat banyak cewek jatuh cinta. Termasuk gue. Sosok manajer yang angkuh, dingin, seenaknya, tapi juga perhatian. Tapi yang terpenting, Diego ini adalah sahabat lama Amora. Orang yang dulu pernah berjanji pada Amora untuk mencari ayah gadis itu. Begitu mengetahui bahwa Amora itu adalah Momo sahabat kecilnya, Diego langsung teringat akan penemuannya tentang ayah Amora. Lelaki yang sekian lama sangat dirindukan oleh Amora.

Sampai di pertengahan ini, gue nyaris mewek karena tahu ayah Amora udah nggak ada. Apalagi di bagian yang Diego ketemu bapak-bapak tua di pelabuhan, dan si bapak tua bercerita tentang pengembara yang nggak bisa pulang. Serius, coba aja baca sendiri di bukunya, kalau kalian nggak nyaris mewek, berarti kalian nggak punya hati! ^-^

          “Umpamakan saja balon-balon ini
            perasaanku, yang sudah kutiup
            pelan-pelan dan penuh kesabaran.
            Di dalamnya berisi sejuta harapan.
           Tapi, Mo, sejuta harapan ini tidak
           akan pernah menjadi kenyataan dan
           sia-sia jika terus berada di dalam sini.
           Aku butuh penyelamat. Penyelamat
           yang menjadi penyebab harapan
           harapan itu ada. Penyelamat itu...
           kau.” —Diego

Dari keseluruhan cerita ini, gue sangat mengidolakan Diego dan berharap Diego berakhir bahagia bersama Amora. Dan harapan gue dikandaskan oleh sang penulis. Penulisnya sendiri dengaan sombongnya bilang, “Aku berhasil ciptain tokoh second lead cowok yang dicintai dan lead cowok yang dibetein.” Iyap! Dia berhasil banget. Selain berhasil bikin kesal, penulisnya juga sukses bikin baper pembaca sama segala kebaikan hati Diego. Ketulusan cowok itu dalam menyayangi Amora sungguh nggak usah diragukan lagi. Bahkan dia rela melepas Amora demi kebahagian gadis itu.

Hubungan Diego-Amora-Tom dalam cerita ini memang rumit. Yang satu terlalu baik, yang satu egois, sementara perempuannya galauan. Tapi proses dan kejadian pelepasan Amora dari Diego bukanlah hal yang terjadi lurus-lurus aja. Banyak fakta mengejutkan yang terungkap ketika menjelang ending. Fakta yang gue sendiri sampai kaget waktu pertama kali baca cerita ini sambil ngomel dalam hati, “Sialan, Mpil. Tragis amat ni orang!”, gitu.
Tapi yang terpenting dari semuanya, walaupu. Kalian dibuat baper, sebel, bete, atau apa aja, buku ini memang menarik. Settingnya yang di itali, hidup. Bukan cuma sekedar tempelan. Kalian bakal ngerasa kayak lagi jalan-jalan sama Tom-Amora waktu mereka keliling Verona.
Selain itu, buku ini juga mengajarkan kita tentang sebuah ketulusan, keikhlasan, kasih sayang, dan ketetapan sebuah hati.
Kalian tahu? Kalau hati udah milih, nggak akan ada lagi hal lain yang bisa menghalangi. Termasuk orang paling baik sedunia pun.

Oke, gue rasa segitu aja review—atau omelan—gue tentang buku ini. Guys, bukan karena ini buku adik angkat gue, tapi karena memang buku ini bagus. Gue rekomen banget kalian buat baca. Tapi peringatan dari gue, buat yang doyan baper, siap-siap mewek baca bukunya. Buat yang hatinya sedikit lebih kuat, siap-siap bete karena kebaperan ceritanya. Ho ho ho.


                             Amore Mio
   -tidak semua kapal kembali ke pelabuhan-

Rabu, 02 September 2015

Nobash! (Boyband/Girlband yang Sering Kali Kena Tindas!)

Assalammualaikum!
Annyeonghaseyo!
Ohayou gozaimasu!
Hello!
Nihao!

Ah udah, segitu aja gue salam-salam sapanya! Gila, udah lama banget gue ga ngeblog. Dan sekalinya ngeblog, gue cuma pengen ngeluarin uneg-uneg gue!

Liat tu kan gue nyapa dalam lima bahasa (soalnya cuma itu yang gue tahu, haha). Jadi, sebelum pembukaan gue makin panjang dan ga jelas, langsung aja.

Beberapa hari lalu, gue sempet blogwalking dan baca salah satu blog (udah lama sih postingannya. Tapi baca komen dibawahnya yang huru hara ampe ribut gitu dan baca kata-katanya yang ngbash dan nghina banget, gue jadi ga tahan buat ga ngoceh!) yang nulis tentang betapa begoknya orang-orang yang suka sama boyband/girlband. Wasting time! Mereka banci! Modal tampang doang! Oplas pula! Ga bisa nyanyi! Yang cowok jual abs, yang cewe jual paha!

Nah sekarang, gue mau tanya. Lo suka siapa? Avenged sevenfold? Taylor Swift? Ariana Grande? Justin Bieber? Usher? Bruno Mars? Ato siapa?

Apa mereka yang cewek-ceweknya pake baju ketutup? Apa mereka yang cowok-cowoknya waktu manggung ga pamer abs?
Coba lo liat.

Terus buat yang suka ngbash boyband/girlband korea. Mereka ga kaya yang lo bilang kok. Gue bukan Kpopers. Gue suka semua musik yang lagunya enak di kuping gue dan ga terkecuali lagu-lagu Korea, China, Jepang.

Kenapa lo sensi amat ama Boyband/Girlband Korea? Napa? Napa lo suka banget bandingin mereka ama Laruku, One Ok Rock, Dir en Grey, Muse, Green Day, dan entah siapa lagi penyanyi Jepang juga Barat yang oke punya. Kenapa lo bilang mereka modal tampang sama pamer badan doang?

Lo tau Akdong Musicians ga? Mereka tuh jelek, ga punya tampang. Tapi tenar. Sukses kok. Karena apa? Suaranya bagus. Gugling kalo ga percaya.
Lo tau Bigbang? Walaupun mereka cakep-cakep ga ketolong, tapi mereka ga modal tampang. Semua personilnya bisa nyanyi, jago ngrap, produserin lagu-lagu mereka sendiri. Dan leadernya, a.k.a G Dragon, udah terkenal sebagai produser muda yang jenius.
Lo kenal Infinite? Mereka ga pada cakep. Paling L doangan yang cakep. Sisanya ga terlalu. Tapi lo pernah liat mereka nyanyi ga? Live performance? Liat ga mereka ngdance kayak kalajengking gitu dan no lipsync. Lo pikir gampang?
Gitu juga ama SHInee dan EXO. Mereka ngdance ampe jungkir balik muter-muter kaya baling-baling sambil nyanyi, lo kira gampang?
Tau CN Blue sma FT Island? Mereka bukan boyband. Tapi band. Dan lagu-lagunya juga bagus.
SNSD, AOA, Sistar, Wonder Girls, mereka juga bukan sekedar GB yang jualan paha. Tapi lagu-lagu sama suaranya juga pada bagus kan? Kalau ngdance juga oke. Bahkan Wonder girls baru aja comeback pake konsep band. Bukti kalau mereka juga bisa main alat musik macam Avril Lavigne.

Walaupun ada beberpa BB/GB yang ga terlalu oke punya, tapi jangan lo pukul rata. Se7en aja marah kalau disuruh lipsync. G Dragon aja ngambek pas diminta lipsync. Gitu juga Infinite ama SHInee dan beberapa GB/BB lain yang emang nganggap diri mereka penyanyi.

Jangan pernah kalian yang ga suka BB/GB ngatain yang suka BB/GB. Fandom mereka gedenya naudzubilah. Salah ngomong dikit, kalau mereka nemu elo, rengsek badan lo! Dan jangan nganggep idola lo lebih nganu ini itu blablabla daripada idola mereka. Hormati idola orang lain.

Kayak kemarin yang ngatain 1D sampah. Bigbang banci. 2pm ama Suju homo. Mikir! Gapapa kalau pendapat kalian begitu, tapi ga usah ampe update pm bbm, ngtwit, update status fb, path, apalah itu, yang isinya ngata-ngatain idola orang lain.

Emang kenapa kalau banyak yang suka BB/GB? Orang pengamat musik sekelas Bens Leo aja suka ama Bigbang dan ngakuin kalau mereka BB yang luar biasa. Juga banyak artis cowo yang suka ama 1D, suju, SNSD, AOA.

Mereka BB/GB, bukan berarti ga bisa main alat musik. Bisa. Dan penampilan mereka yang make up-an kalau di tv ato panggung, ya tuntutan. Jangan dipikir artis barat sana ga make up-an. Pake kok. Mungkin beda tingkat ketebalan ato apanyalah itu. Dan soal oplas-oplasan. Hak mereka. Yang penting nikmatin karyanya. Udah. Selesai.

Ga ush saling hina gitu. Sejelek-jeleknya mereka yang lo katain, lo belum tentu kan bisa gitu?

(Nb, di postingan ini sengaja ga ngomongin BB/GB dari negara sendiri. No comment soalnya kalau yang itu. Dan sekali lagi, gue suka dengerin semua lagu yang enak di kuping. Mau dari negara mana pun, dan sekalipum gue ga ngerti bahasanya. Punya hp kan? Tinggal gugling terus translate. Gitu aja repot!)

Oke! Salam damai! Dan, no spam di kolom komen gue!

Rabu, 24 Juni 2015

Risa....


.... Biar danau ini jadi saksi cak mano kau tenggelamkan cinto ini dan hidup ini. Di sini aku mati. Di sini jugo kelak kau nyusul aku....
***
Aku tidak pernah suka pulang ke rumah onun[1]! Tapi kali ini, aku tidak bisa menolak ketika ibu memaksaku untuk pulang ke Bengkulu dan menginap di rumah onun. Onun sedang sakit. Dan ibu mengancam akan memotong uang jajanku selama dua bulan jika aku menolak.
Jangan kalian pikir aku membenci onun. Tidak. Aku sangat menyayanginya. Tapi aku tidak suka tinggal dan berdiam di rumahnya. Jika pulang ke Bengkulu, aku lebih memilih tinggal di rumah sepupuku. Rumah onun terlalu menyeramkan. Dan aku tidak pernah bisa tidur setiap kali berada di dalam rumah itu. Tidak sama sekali.
Seperti barusan. Lagi-lagi aku kembali bermimpi aneh. Mimpi yang sama setiap kali aku tak sengaja tertidur di rumah onun. Padahal aku baru beberapa jam menginjak rumah tua ini, tapi gadis aneh yang selalu muncul sambil menangis di dalam mimpiku itu, sudah datang menyapa. Aku tak pernah melihat wajah gadis itu. Dia selalu menangis dan duduk di tepi ranjang besi, dengan sebuah buku di pangkuannya. Dia selalu membelakangiku, hingga aku hanya mampu melihat punggungnya. Tapi kuyakini gadis itu gadis yang cantik. Dengan rambut panjang lurus yang dikepang dua dan kebaya kuno yang membungkus tubuh eloknya.
Brak! Tubuhku langsung berdiri tegak saat kudengar suara gaduh di luar kamar onun. Awalnya aku lebih memilih untuk memeluk onun dan kembali tidur. Tapi suara gaduh itu kembali terdengar, hingga kuputuskan untuk melihat apa yang terjadi di luar sana. Bagaimana jika ada rampok yang memasuki rumah? Dan dengan berbekal kayu panjang, bekas tongkat almarhum datuk dulu, aku keluar dari kamar onun.
Mataku awas mengitari seisi ruang tengah. Jika kondisi normal dan rumah ini tidak memberi mimpi buruk bagiku, aku pasti akan senang tinggal di rumah onun. Rumah kuno terbuat dari kayu jati, berbentuk rumah panggung seperti rumah Rakyat Bengkulu jaman dulu. Benda-benda yang mengisi rumah ini pun, rata-rata benda lama. Seperti ranjang besi yang ada di kamar onun—dan sebuah kamar lain yang tak sengaja pernah kulihat. Lemari kayu yang sudah ada bahkan sejak onun belum lahir. Kursi-kursi kayu dengan ukiran simbol-simbol flora, seperti bunga dan daun. Ukiran yang sama seperti yang ada di beranda rumah onun dan di atas atap rumah onun. Dan yang lebih menyenangkan lagi, rumah onun berada di atas tebing yang di belakangnya terpapar langsung pemandangan Danau Dendam Tak Sudah.
Semua yang ada di rumah onun, berumur lebih dari seratus tahun. Kudengar hal itu dari ibu. Menurut cerita ibu, rumah ini memang dijaga dan diwariskan turun temurun kepada anak sulung wanita, atau anak wanita satu-satunya. Dan kebetulan onunku merupakan anak wanita poyang satu-satunya. Sementara anak perempuan onun satu-satunya adalah ibuku. Tapi untungnya onun tidak sekolot Poyang. Ibu boleh tinggal di luar kota, bersama ayah yang memang berasal dari Tanah Jawa.
Brak! Lagi, tubuhku menegang mendengar suara itu. Cuma satu suara. Tidak terlalu gaduh. Dan kali ini aku bisa jelas mendengar dari mana asalnya. Kamar yang tadi kubilang pernah tak sengaja kulihat isinya. Kamar yang selama ini tak pernah dibuka, kecuali pada tanggal 24 Juli.
Aku menghampiri pintu kamar itu. Onun pernah memberitahunya padaku dulu. Dan hanya aku yang tahu. Onun melarangku untuk menceritakan perihal kunci dari kamar terlarang itu kepada siapa pun. Termasuk ibu.
Hup! Aku melompat untuk meraih kunci yang onun letakkan di sudut ventilasi kamar itu. Sudut yang tertutup tirai. Cepat kumasukkan kunci itu ke lubangnya, dan kubuka pintu itu perlahan. Sejenak aku terdiam saat kudapati kamar itu terang benderang, rapi dan tak berdebu. Sebuah ranjang besi—bertirai putih kelabu—terdapat di sudut kamar, dengan lemari kayu yang ada di ujungnya. Di atas meja yang ada di samping ranjang, terdapat kaca kecil, sisir tua, dan sebuah lukisan yang tergantung di atasnya. Lukisan gadis muda yang cantik. Dengan rambut panjang dikepang dua dan mengenakan kebaya kuno.
Keningku mengerut. Rasanya lukisan itu tidak asing. Dan rasanya, senyum yang diperlihatkan gadis itu, juga tak asing. Perlahan kulangkahkan kakiku memasuki kamar. Kamar itu wangi. Seperti harum bunga kenanga. Tapi tiba-tiba saja, seperti ada yang menarikku. Menarik sangat kencang hingga aku terjatuh.
***
Hari baru beranjak senja saat tahu-tahu saja aku sudah berada di tepi Danau Dendam Tak Sudah. Danau yang letaknya tak jauh dari rumah onun. Telingaku menangkap bunyi serunai dan gendang yang saling bersahutan. Sama seperti dendang khas melayu yang kudengar ketika ada acara pernikahan di Bengkulu. Dan rupanya dendang itu berasal dari sebuah rumah yang ada di seberang danau.
“Ada yang menikah? Seingatku tadi nggak ada apa-apa deh,” gumamku bingung. Aku juga bingung mendapati hari masih senja. Padahal aku ingat betul tadi sudah malam. Dan aku juga bingung kenapa aku sudah berada di tepi danau. Aneh.
Mataku beredar mengamati sekitar danau. Rasanya danau ini sedikit lebih indah daripada yang biasa kulihat. Sekitarnya masih dipenuhi bunga anggrek pensil yang seingatku sudah cukup langka sekarang. Tapi tak hanya anggrek itu yang menarik perhatianku. Melainkan seorang gadis yang berdiri di tepi tebing yang tak jauh dariku. Tebing yang berada tepat di belakang rumah onun. Tebing tempat aku biasa melihat danau ini ketika senja.
“Hei, kamu sedang apa di sana? Nanti jatuh!” Aku memekik nyaring. Kulangkahkan kakiku menuju tempat gadis itu berdiri. Aku penasaran. Dan sesampainya di sana, gadis itu sudah berbalik dan menatapku tajam.
Matanya sungguh mengerikan. Dan jika bisa berlari, rasanya aku ingin berlari saja. Tapi entah apa yang menahanku. Aku hanya bisa terpaku. Terpaku menatap manik hitam gadis itu. Dan wajahnya. Oh Tuhan....
“Ngapo baru datang kini?” tanyanya kesal. Seperti aku sudah melakukaan sebuah kesalahan besar, dan membuat dia menunggu sangat lama.
“Aku—aku minta maaf. Tapi kamu siapa? Dan apa yang kamu lakukan di halaman rumah Onunku?” Aku tak tahan untuk bertanya.
Kau tengok pesta yang ado di seberang sano?” tanyanya lagi, tanpa menjawab pertanyaanku.  Jari telunjuknya teracung lurus ke arah rumah di seberang danau.
Aku mengangguk, “Pestanya meriah sekali,” kataku. “Tapi aku bingung sejak kapan pesta itu dilangsungkan. Dan kamu, kenapa nggak ke....”
Dio kekasihku. Dulu di sini dio meminangku. Tapi tigo hari lalu, dio malah menikah dengan gadis dari dusun sebelah. Dio dak dak pernah nengok aku lagi. Padahal aku selalu nunggu dio di sini.” Gadis itu menyela kalimatku dengan aksen Bengkulunya yang kental. Wajahnya terlihat sangat terluka. Seperti ada yang mati di hadapannya.
Aku tertegun. Oh, kasihan betul gadis ini. Tapi dia kan masih muda. Kupikir umurnya sama denganku. “Mungkin dia bukan jodohmu. Kamu cantik. Nanti pasti ada yang bisa menerimamu,” kataku memberi semangat.
Dia mendesis. Mata bulatnya memicing tajam ke arahku. “Kau dak tahu apo-apo! Dio cuma boleh kek aku. Bukan kek tino lain. Dio cuma boleh nikah kek aku. Kareno dio la janji kek aku! Dan dio la ngambik setengah hidup aku![2]semburnya diiringi isak menyayat.
Aku lagi-lagi hanya bisa tertegun. Gila! Itu satu-satunya kata yang terlintas di dalam kepalaku. “Ba—baiklah. Tapi, sekarang dia sudah meminang orang lain. Kamu nggak bisa menghentikannya.” Aku masih mencoba membujuk. Entahlah, biasanya aku akan langsung meninggalkan orang-orang yang berpikiran sempit seperti gadis ini. Tapi kali ini, aku seperti sangat peduli padanya. Aku benar-benar iba melihat tangisnya. Sungguh, rasanya seperti diriku ikut terluka karena tangisnya itu.
Gadis itu tak menyahut. Dia diam dan hanya menatapku. Lebih dari semenit dia menghujamku dengan tatapan yang sangat dingin. Namun sesaat kemudian, wajahnya berubah sendu. Tak ada lagi tatap dingin yang menyeramkan. Yang terpancar darinya hanyalah kesedihan dan kesakitan.
“Ini,” Dia menyodorkan sebuah buku padaku. Gegas aku meraihnya walau masih diliputi bingung. “Sampaikan ini kek Kani. Dan kau jugo harus baco buku ini. Kelak kalian akan ngerti ngapo aku milih lakukan ini.”
Aku terdiam. Barusan dia menyebut nama onun, tanpa embel-embel di depannya. Langsung nama. Dan itu membuatku sungguh terkejut. Onun di hormati di lingkungan ini, dan dia, dia berani memanggil onun hanya dengan nama.
Gadis itu tersenyum kecil, seolah tahu apa yang ada di dalam pikiranku. “Namoku Risa. Aku senang kau datang ke sini. Kuharap kelak kau akan bernasib lebih baik dariku, Risa.” Dan usai mengucapkan kata-kata itu, tanpa sempat kucegah, gadis itu berlari ke tepi tebing dan melompat. Meninggalkanku yang hanya bisa menjerit sekencang-kencangnya.
***
24 Juli, 1895....
.... Rasonyo aku dak kuat lagi. Harus kusembunyikan ke mano janin yang kini kukandung? Dio la nikah kek tino lain. Cak bungo nan lah abis maso kembangnyo. Cak kaco nan lah ancur dan dak bisa disatu lagi. Cak itulah hatiku kini. Janji tu la abis. La kau buang kek tino lain. Kalau cak ini, eloklah mati bae. Biar danau ini jadi saksi cak mano kau tenggelamkan cinto ini. Dan seluruh hidup ini.  Di sini aku mati. Di sini jugo kelak kau nyusul aku....[3]

Aku menutup lembar terakhir dari buku harian yang Risa berikan padaku. Entah sudah berapa banyak air mataku tumpah lantaran membaca kisah di dalam buku itu. Kau tahu, kupikir awalnya aku bermimpi. Tapi tidak. Setelah kulihat Risa melompat, aku berlari ke rumah onun, memasuki rumah itu tanpa permisi, dan langsung berlari menuju kamar terlarang onun. Aku hanya memejamkan mata sejenak. Lalu tahu-tahu aku sudah melihat onun yang menangis di atas ranjang besi tua kamar itu. Dan yang paling mengejutkan lagi, di tanganku masih tergenggam buku pemberian Risa. Onun juga bilang kalau aku menghilang hampir dua hari dari rumah. Pantas saja onun menangis.
Aku menyampaikan semua yang terjadi kepada onun. Awalnya onun tak percaya. Tapi begitu dia membaca buku itu, akhirnya onun mulai bercerita. Tentang Risa, yang ternyata adalah nenek buyutku. Dan tentang Risa yang ternyata sangat mirip denganku, jika aku memiliki rambut panjang.
“Onun memang sengaja memberimu nama yang sama seperti Onun Risa. Ketika kau lahir, Onun langsung melihat kemiripan di wajah kalian. Onun pikir, dengan begitu Onun Risa akan berhenti menghantui rumah ini. Tapi ternyata tidak. Onun rasa itulah alasan kenapa kau tidak pernah bisa tidur di rumah Onun. Onun Risa selalu menghantuimu, karena kau sangat mirip dengannya.”
“Sejak Onun Risa meninggal, namanya tidak pernah disebut-sebut lagi. Bagi keluarga, Onun Risa pembawa aib. Jaman dulu, meninggal bunuh diri sangatlah menjadi cercaan di sini. Tidak ada keluarga yang memaafkan apa yang Onun Risa lakukan. Karena sejak saat itu juga, keluarga kita mulai dipandang rendah.”
“Tapi seiring berubahnya jaman, tidak ada lagi yang memandang rendah keluarga kita. Tapi, nama Onun Risa tetap terlupa, dan beliau tetap dianggap pembuat aib di dalam keluarga. Tidak ada yang mengetahui tentang Onun Risa. Hanya yang mewarisi rumah ini yang tahu. Dan itu hanya Onun dan almarhumah Poyang.”
Aku mengingat kembali kata-kata onun tadi malam. Kasihan Onun Risa. Makamnya tidak pernah dikunjungi sejak seratus dua puluh tahun lalu. Bahkan kini letak makamnya sudah tidak tahu di mana. Padahal keluargaku memiliki makam khusus keluarga.
“Dulu waktu kau masih berambut panjang, Onun sangat membencinya. Karena kau sangat mirip dengan Onun Risa. Onun takut. Makanya Onun meminta kau memotong rambutmu. Dan ketika kau menghilang kemarin, Onun pikir Onun Risa membawamu pergi. Onun pikir kau tidak akan kembali, Sayang.”
Aku menghela napas panjang. Kata-kata onun masih menari-nari di dalam kepalaku. Dan itu semakin membuatku merasa sedih. Harusnya Onun Risa bisa tenang walaupun caranya mati sungguh salah. Tapi setidaknya Onun Risa telah menyelamatkan keluarga dari aib yang lebih besar.
Senja itu, aku duduk di tepi tebing tempat Onun Risa melompat. Kutaburkan bunga kenanga yang baru kupetik dari halaman depan rumah Onun. Onun Risa pasti suka bunga kenanga. Dan sekarang, kukirimkan dia bunga kesukaannya sekaligus doa untuknya. Kuharap Onun Risa bisa tenang mulai saat ini. Walaupun makamnya sudah tak tahu di mana, tapi setidaknya, kini Onun Risa bisa dianggap ada. Dan aku akan menjaga agar nama Onun Risa tidak lagi dilupakan.
Onun, ah, apa seharusnya aku memanggilmu Poyang Risa? Apa pun itu, maafkan keterlambatanku. Dan berbahagialah di sana.


Einca, 2014



[1] Nenek dalam bahasa Bengkulu Asli.
[2] Kau tidak tahu apa-apa! Dia Cuma boleh bersamaku. Bukan dengan wanita lain. Dia Cuma boleh menikah denganku. Karena dia sudah berjanji padaku! Dan dia sudah mengambil setengah hidupku.”
[3] Rasanya aku tak kuat lagi. Harus kusembunikan ke mana janin yang kini kukandung? Dia sudah menikah dengan wanita lain. Seperti bunga yang sudah habis masa kembangnya. Seperti kaca yang sudah hancur dan tak bisa disatu lagi. Seperti itulah hatiku kini. Janji itu sudah habis. Sudah kau buang dengan wanita lain. Kalau seperti ini, lebih baik mati saja. Biar danau ini jadi saksi bagaimana kau tenggelamkan cinta ini. Dan seluruh hidup ini. Di sini aku mati. DI sini juga nanti kau menyusulku.

Senin, 09 Februari 2015

Harap Maaf Padamu


Maaf...
Untuk salah yang tak sengaja kulakukan

Maaf...
Untuk marah yang tak sengaja kutimbulkan

Maaf...
Untuk singgung yang tak sengaja kukatakan

Kau tahu, Tuan? Sedikit pun aku tak pernah sengaja untuk menimbulkan percik emosi yang membuatmu marah. Sedikit pun aku tak bermaksud untuk menimbulkan rasa tak nyaman hingga menciptakan rentang jarak antara kau dan aku. Sedikit pun aku tak bermaksud untuk membuatmu kesal padaku. Tapi sekali lagi, sepertinya aku yang salah. Kata-kataku mungkin tak terlalu pantas. Atau mungkin tak pas. Entahlah, tapi aku tak bermaksud membandingkan.

Tuan, tidak ingatkah kau bagaimana sebenarnya aku? Pernah tidak aku membandingkan sesuatu hal akan dirimu? Aku rasa tidak. Pun juga yang lain-lain. Tapi sekali lagi, seperinya aku yang salah. Jadi kumohon, maafkan aku.

Tuan, jika bisa, jangan kau hanya membisu. Mendiamkan dan menjauh dariku. Sebesar itukah salahku, sampai aku kau diamkan? Sebesar itukah salahku, sampai aku kau jauhi?

Aku masih ingat kau seperti apa. Apakah ada salahku yang lain lagi? yang sangat-teramat-tak-berkenan untukmu, hingga sikapmu seperti ini? Kalau iya, kumohon maafmu untukku. Dan jika memang salahku sangat-teramat-besar hingga sulit dimaafkan, bilang. Aku tak akan menahanmu. Pun tak akan menunggumu. Akan kulepas semua janji yang ada. Jika memang begitu nanti maumu.

Kau ingat, Tuan? Aku pernah melakukan salah yang lebih padamu, kau tak begini. Masih ada. Masih menyapaku. Masih tertawa bersamaku. Walaupun kuakui agak sedikit berjarak. Apa karena itu juga? Hingga marahmu yang sekarang berupa murka? Jika iya, sekali lagi, kumohon maafkan aku. 

Berlebihan ya? Maaf. Tapi aku benar-benar tak suka jika berdiaman dengan orang lain. Apalagi denganmu. Aku ingin berpikiran yang baik-baik saja, mungkin kau lelah, atau apa. Tapi rasanya sulit. Aku takut kau pergi lalu tak kembali lagi. Karena, ini yang pertama kalinya kau murka padaku. Seperti ini. Rasanya, lebih baik kau mengomel dan memarahiku saja daripada diam membisu seperti ini. Karena, kau lebih tampan jika berceloteh. Sedang marah sekali pun. Bukan diam.

Tuan, aku merindukanmu. Untuk tawa juga canda dan semuanya. Aku merindukanmu. Sungguh.
Aku masih menunggumu kembali, lalu menggandengku lagi.
Untukmu, Tuan terkasih yang sudah secara tak sengaja kusakiti, sekali lagi, maafkan aku. 



(Untuk seseorang yang secara nggak sengaja gue bikin bete)


Senin, 26 Januari 2015

Ngelamun, Bisa Menyebabkan Kematian!


Ceritanya, di suatu sore yang syahdu. Ketika itu gue baru banget bangun tidur. Hal yang pertama gue lakuin kalau bangun tidur itu, ngecek hp! Iya. Lo semua juga kan? Pasti rata-rata abege kece *ohok!* kaya gue, pasti bangun tidur langsung ngecek hp.

Nah, jadi, gue kaget pas baca salah satu chat di wasap. Chat itu datang dari seornag adek yang jauh di sana. Sebut aja namanya..... *siapa aja boleh deh. Silahkan isi sendiri* Jadi, begini kira-kira isi chatnya.

Dia       : Kak, mau bahan tulisan nggak?
Gue      : Apa?
Dia       : Ini.... (masuklah sebuah pict, dengan caption yang bikin mata gue tambah
               gede) Aku nggak lagi bunuh diri loh, Kak. Cuma lagi ngelamun, terus salah
               pegang benda. Kukira itu pulpen, nggak tahunya itu gunting. Ngg....

Gila! Respon gue pas baca, beneran bengong. Bukan karena salah nusuk tangan pakai gunting, tapi ngeliat tangannya yang—gue butuh waktu lebih dari lima belas menit untuk menyimpulkan kalau itu memang tangan. Hihi.... Maaf ya Dedek.  Gue emang Kakak yang kurang ajar. Bukannya nanyain kondisi si tangan atau psikis si adek, gue malah minta kirim gambar ulang. Muahahaha.... Tapi tenang, setelahnya gue dengerin dia curhat kok.

Jadi, dia ini lagi ngerjain PR katanya. Tapi sambil ngelamun. Ngelamun Kakak baik yang telah pergi ke cakrawala. Jauuuuuuuhhhhhh banget! Heuh. Gue padahal udah bilang berkali-kali, jangan dipikirin tuh Kakak, dia mikirin balik juga nggak. Lah gue aja diblokir kok. Kayaknya. Nggg....

Ngelamun. Jadi inti permasalahannya ini adalah ngelamun. Pernah denger nggak, ada yang ngomong “HATI-HATI! NGELAMUN DAPAT MENYEBABKAN LUKA SERIUS, BAHKAN KEMATIAN!” Pernah nggak? Lo pikir aja, ngelamun bahaya nggak? Bahay banget tau! Iya kalau lo ngelamun di kamar, kalau lo ngelamun di deket rel kereta? Pas keretanya lewat, disamber lo! Bus! Mati!

Ngelamun itu nggak baik, Gaes. Selain berefek jelek, bikin otak yang kusut tambah kusut, juga bikin muka yang keriput tambah keriput. Kenapa begitu? Coba lo kalau ngelamun, sambil lo record. Nanti setelah ngelamunnya kelar, lo lihat hasil recordnya. Mukanya masih oke nggak? Apa bibir tambah dower karena kelamaan manyun, mata tambah gede karena kelamaan melotot, dan jidat tambah berlipat karena kebanyakan mengerutkan jidat. Jelek banget kan?

Tips gue nih, kalau mau ngelamun. Ngelamunlah di dalam kamar. di atas kasur. Tanpa memegang beda tajam apapun! Atau ngelamun sambil tidur! Pasti, muka lo nggak akan tambah jelek-jelek amat. Hihihi.

Lagian ngapain sih ngelamun? Gampang dimasukin setan loh! Setan mantan apalagi! Gampang banget tuh nyusup. Ckckck. Nggak mau kan?

Semua orang pasti punya masalah. Semua orang pasti punya beban pikiran. Tapi jangan dilamunin terus, sampai-sampai lo lupa sama sekitar. Wasting your time, Guys! *gila, bahasa gue keren banget nggak sih?* masih banyak hal lain yang bisa lo pikirin. Gue juga pernah ngelamun. Tapi nggak lama, itu pun sambil tidur. Soalnya, masalah nggak akan kelar dengan lo ngelamun. Kalau masalah itu nyesekin, pergi ke hutan atau ke pantai, atau yang terdekat naik genteng rumah. Dengan syarat tetangga lo lagi pergi semua. Lo teriak deh kenceng-kenceng. Lepasin semua rasa sesak yang ketahan di dada lo. Jangan dilamunin!

Apa pun itu jenis dan alasannya. Ngelamun itu benar-benar berbahaya. Buat kaasus si adek, untung yang nusuk tuh tangan masih gunting. Kalau piso? Putus dek tangan lo!!! Mati! Dia peduli nggak kalau lo mati? Belom tentu. Paling juga doain. Tapi ya sekali doang, pas dia dapat kabar lo mati aja. Lebihnya mah nggak.


Rugi kalau ngelamunin hal nggak penting. Masalah itu ada buat diselesaikan. Dilepasin. Bukan diendapkan di dalam dada dan kepala lalu dilamunkan! Kasihan otak sama badan lo!


Einca, 2015

Ceritanya Liebster Award!



Jreng!!!




Akhirnya, karena nggak tahu mau nulis apaan, gue tulis aja deh tentang award ini.

Huhu..... Ini sebenarnya yang ketiga. Tapi sayangnya yang pertama dan kedua, gue nggak ingat lagi di mana letak keberadaannya. Gue cari di tab notif nggak nemu, mau ngscroll TL, udah jauh banget. Fiuh. Tapi gue nyari loh. Beneran. Jadi buat Mas dan Mbak yang nggak gue jawab awardnya, maaf ya. Salah kalian sih, ngasih award pas gue lagi di masa-masa galau. Jangankan ngapresiasi award, ngapresiasi nilai UAS sama gaji aja gue bengong kok. Hiks. Maafin dedek *sungkem*.


Gue dapat award ini dari @fiki_flame dalam postingannya yang berjudul The Liebster Award 2014 



Iye, tahu gue, udah basi. Bahahaha,.... Ya gimana dong, baru inget. Tapi daripada nggak gue tulis sama sekali, mending gue tulis. Ya nggak? Sekalian gue mau lempar-lempar award ke yang lain. Ihihihi... Btw, buat Om Fiki, tengkyuh yah awardnya. Gue nggak tahu mau terharu apa gimana. Pokoknya, gue makasih banget. Sama lo, sama Allah SWT yang masih ngasih gue hidup hingga gue bisa ngejawab award ini. Hiks. Sama para pembaca blog gue, yang walau pun belom banyak-banyak amat, tapi sering kasih respon yang bagus. Huwoohhh.... Tapi, btw, award ini nggak ngasih paket liburan PP ke Raja AMpat yak? Ngggg...

Oke, mulai! Jadi peraturan award ini adalah :
  • Yang dikasih award wajib ngucapin makasih sama yang ngasih! Kalau nggak, lo bakal dikutuk jadi biawak! Hoho. Jangan dicuekin aja. Kayak gue dulu. Nanti nyarinya susah, hiks. Terus timbul rasa bersalah yang gede. Untung gue nggak ampe bunuh diri.
  • Yang dikasih award wajib untuk mendeskripsikan 11 hal tentang mantan dirinya. 11 aja. Cuma 11 kok, nggak usah banyak-banyak. Nanti jarinya sengklek.
  • Yang dikasih award wajib menjawab 11 pertanyaan yang dikasih sama pemberi award. Hidih. Kudu banget gitu 11? kenapa nggak 20? eh....
  • Yang dikasih award wajib untuk nyebarin award berantai yang terlalu sering munccul ini, ke 11 blogger lain. Sekaligus mengajukan 51 11 pertanyaan yang wajib dijawab juga. Uyeay! *balas dendam*
Oke sip! Udah gue jelasin semua kan ya? Udah jelas kan ya? Nah, sekarang masuk ke tahap, 11 hal tentang gue. Jeng! Jeng! *Setel metalica*


  1.  Nama asli gue Einca. Itu asli. Satu-satunya mungkin. Makanya gue nggak bakat jadi buron. Kalau lo ngetik nama lengkap gue di gugle (tapi gue nggak mau ngasih tahu) lo pasti nemu semua data gue. Dari masih dalam kandungan ampe gue udah mau ngandung juga. Eh, belum ding. masih lama. Hihihi.
  2. Cinta banget sama cokelat dan es krim. Mau kata udah mimisan parah makan tu makanan, gue tetap makan semuanya. Bodo amat!
  3. Nggak suka belanja. Selain belanja buku. 
  4. Lebih suka ke gunung atau ke pantai atau ke hutan daripada di ajak ke mall. Jadi, buat yang mau jadi kekasih hati gue, cukup ajak gue ke tempat-tempat itu. Gue udah bahagia banget. Hihihi.... 
  5. Nggak suka dikadoin boneka. Tapi bahagia luar biasa kalau dikadoin gelang sama buku. 
  6. Gue itu nggak suka warna pink! Asli tuh warna bkin gue sakit mata. Gue cuma punya satu kerudung warna pink, walau pun kata temen-temen gue gue jadi manis pake warna itu, tetep aja. Gue nggak suka warna pink!
  7. Random. Ngacak. Nggak jelas. Nggak waras. Otaknya sengklek. *ini berdasarkan pengakuan dari sekitar gue.
  8. Pengen banget nanti, berjodoh sama orang yang doyan tavelling tapi backpackeran! Iya, backpackeran. Kan asyik tu, gue honeymoon sambil backpackeran. Cuma pakai sepatu kets, ransel gede. udah! 
  9. Gue suka ngoleksi pasir pantai. Dimasukin ke dalam toples kaca atau botol kaca. Sama kerang-kerang. Setiap pantaai yang gue sambangi, pasti pasirnya gue ambil. pasir loh ya, bukan jin!
  10. Kata orang, gue itu cakep tapi macho. Heyaaahhh.... Kurang ajar emang yang ngomong. Bisa-bisanya ngatain gue macho, padahal gue udah pakai rok (walau pun kepaksa) dan pakai kerudung. tega emang!
  11. Apa lagi yaaaa???? Hmmmm...... Oh iya! Gue seneng banget nyanyi-nyanyi, neriakin telinga orang terdekat gue. Muehehehe.... kalau gue lagi nyanyi serius, tandanya suasana hati gue lagi nggak terlalu bagus, Hihi.
Fiuh. Kelar juga. Capek ye ngomongin diri sendiri. Sekarang gue mau jawab pertanyaan si Om Buncit. 


  1.  Sahabat itu… elo! Dia! Dia! Hihi
  2. Kenapa menulis? Seneng aja. Soalnya otak gue nggak sanggup nampung pikiran-pikiran gila gue. 
  3. Siapa orang yang paling menginspirasi dalam hidup kalian? Dan mengapa? Siapa ya? Duh, semua yang mata gue lihat, semua yang otak gue tangkep, selama oke dan ketemu chemistrynya, itu menginspirasi banget buat gue, Broh!!
  4. Menurut kalian Dora itu orangnya gimana? #nah_lho, haha… Jawab aja deh… hehe… Dora? Nggak tahu. Gue nggak suka nonton Dora, Yang diomongin selalu sama. "Di manakah jalan menuju anuuu???"
  5. Pernah jatuh atau kecewa? Kalau pernah, apa yang memotivasi kalian bisa bangkit? Sering! Lo tau lah ya. Hoho. Yang memotivasi? Dendam yang membara! Hiyah.... Gue harus balas kejatuhan gue! 
  6. Rumah makan Padang atau Sunda? Kenapa? Padang! Gue orang Sumatera soalnya. 
  7. Dari kapan suka menulis? Dari dalam kandungan. Gue suka nulisin dinding rahim Emak gue. 
  8. Siapa penulis favorit kalian? Mengapa? Ngacak. Siapa aja yang oke, itu jadi favorit gue.
  9. Hantu paling menyeramkan adalah… Mantan! Eh, mantan termasuk kategori hantu apa bukan ya?
  10. Pilih es krim atau cokelat? Kenapa? Dua-duanya. Karena.... Lo punya utang dua-duanya sama gue!!! Ahihihihihi
  11. Apa pengalaman kalian tentang Doa? Banyak, sedih, kesal, bete, seneng. Semua itu pengalaman tentang doa gue, ketika doa itu gue terbangkan ke langit.
Huffftt *menghela napas panjang* akhirnya kelar juga. Untung cuma satu yang gue jawab. Untung banget. Sekarang gue sedikit bersyukur, walaupun masih ngerasa bersalah juga, karena gue cuma nemuin satu jejak award ini. Hihi....
Sekarang, pertanyaan gue buat kalian yaaaaaa.....

  • Menurut lo tentang tulisan gue....cff
  • Menurut lo tentang blog gue....
  • Lo lebih seneng dikejar mantan apa dikejar banci? Kenapa?
  • Gunung atau pantai?
  • Apa yang lo pikirin tentang Doraemon?
  • Kalau lo nemuin Death Note, mau lo apain? Dan nama siapa yang bakal pertama kali lo tulis?
  • Pernah ditinggal nikah nggak? Kalau pernah, rasanya kayak apa?
  • Percaya kutukan sama warisan leluhur nggak? Kalau percaya, kenapa?
  • Apa pendapat lo tentang pengagum rahasia?
  • Gimana respon lo, kalau sahabat lo ngomong sayang sama lo?
  • Pilih punya pacar putih, cakep, kaya, tapi nyebelin, overprotektif dan cerewet, apa pilih pacar jelek, item, dekil, miskin, tapi baik hati rajin menabung dan tidak sombong?
Nah, ini 11 blogger yang gue anugerahi award ini....
  • Mel Ara  http://melardi46.blogspot.com/
  • Donna Resfina Ulfa http://donnaresfinaulfa.blogspot.com/
  • Ardina Nur Rahma http://ardinanr.blogspot.com/
  • Farhanakal http://farhanakal.blogspot.com/
  • Glen Tripollo http://glen-tripollo.blogspot.com
  • Trice Fakhri http://tricefakhri.com
  • Chuin http://chuin5.blogspot.com
  • Ruri http://ruri-online.blogspot.com
  • Didotanindita http://didotanindita.blogspot.com/
  • Firstan Rude http://www.firstanrude.com/
  • Irfaz Farhan http://ifrazfarhan.blogspot.com/
Oke sip, itu 11 blogger yang gue pilih secara acak. Dan lumayan sering gue baca postingannya. Hihi. Selamat mengerjakan eaps qaqa.....



Einca, 2015

Minggu, 25 Januari 2015

Te(ror) Ceplok!


Sebenarnya gue mau posting tentang Liebster Award. Ituloh penghargaan buat orang-orang imyut sejagat raya! Hahaha, nggak ding, penghargaan buat blogger gitu. Tapi gue lupa. Saking udah lamanya tuh orang ngtwit, gue ampe nggaak nemu lagi di mana ritwitan gue buat dia. Cuma nemu satu. Itu pun karena gue hapal blognya. Ya iya, blog sohib gue sendiri! Hihi.... jadi, maaf buat Mbak dan Mas yang ngasih liebster award ke gue, bukan gue sengaja nggak mengacuhkan, tapi kemarin-kemarin gue lagi sibuk. sibuk banget. Sibuk ngumpulin serpihan hati gue yang kececer. Hiks.

Jadi, gue bahas yang lain aja. Gue mau bahas teror nih. Bukan telor. Sengaja judulnya gitu, biar keliatan unyu, kayak yang posting. Muehehehe.... Soalnya kalau gue bikin judul "TEROR BERDARAH" atau "TEROR BERKEPANJANGAN" atau "TEROR BERANTAI", kesannya horor banget. Kan kasihan blog unyu gue jadi blog horor nanti.

Oke. Back to topic!
Jadi gini, baru-baru ini--nggak baru-baru ini juga sih, udah lama juga--gue diteror sama penampakan manusia berakun telor! Nah makanya judulnya ada ceploknya gitu. Btw, gue suka telor ceplok, apalagi kalau masaknya garing-garing ampe agak gosong dikit, rasanya tuh kayaaaaaakk..... oke, udah salah fokus.

Sebenarnya gue udah sering diteror. Nasib jadi cewek terlalu tenar, ya gitu. Ada aja yang usil. Tapi herannya, nggak pernah nemu siapa pelaku teror tersebut. Walau pun gue udah sampai ngadu ke Bokap, tetep aja nggak nemu. Semua menghilang, setelah muncul teman-teman gue yang ketjeh banget, yang ngebela gue ampun-ampun. Seperti yang terjadi pada si akun telor baru-baru ini. Btw, makasih banyak buat kalian, Guys, gue nggak tahu mau balas kalian pakai apaan. Hiks *lapingus*

Gue nggak masalah sama teror kayak gini. Serius. Tapi gue nggak suka kalau sipeneror mulai mengarah ke teman-teman gue. Atau bikin teror-teror yang itu ngarah ke teman-teman gue. Masalah lo kan sama gue, kenapa nggak temui gue langsung? Lo bilang gue psikopat, lah, lo yang neror ni apaan? ckckck.... Terus nanti tahu-tahu si peneror ngarahin semua ke gue. Plis, gue udah males neror-neror kayak gitu. Dulu sih pernah. Tapi dulu. Ketika gue masih hidup di zaman jahiliah. Di mana gue masih buta dan brutal. Hoho *ketawa jahat*. Tapi sekarang nggak kok, *ketawa imut*

Eh, ini malah jadi kayak full curhatan gini ya? Hihihi.... Maaf. 
Intinya, buat para peneror dan orang yang sering neror, udahan deh. Kalau lo punya masalah ke satu orang, ya lo selesaikan ke satu orang itu. Dengan lo neror-neror kayak gitu, itu malah ngejatuhin harkat dan martabat lo sebagai manusia! Apalagi kalau sampai teror-teror itu langsung merujuk ke seseorang atau beberapa orang yang paling memungkinkan. Bukan apa-apa, justru lo yang malu. Kenapa? Soalnya temen-temen dari orang yang lo teror, lebih pasang badan buat belain temen yang di teror. Bukan karena mereka diminta buat belain, atau dibayar, apalagi nghasut. Gue nggak doyan nghasut orang. Tapi, antara peneror dan yang diteror, lebih kiyut yang diteror memang. Ahihihi....

Terus juga, apa nggak capek ya neror-neror gitu? Kalaupun yang lo omongin benar, lo tetap jadi pihak yang salah. Karena lo barbar! Kasihan temlen orang yang ngfolbek lo, stres pasti baca temlen yang isinya umpatan-umpatan sampah. 

Terakhir, buat para peneror yang terhormat, gue Einca Sari, minta maaf yang sebesar-besarnya kalau udah pernah menyinggung kalian (yang gue nggak tahu wujudnya siapa). Kalau mau gue minta maaf langsung ke elo, ya hubungi gue personal. Atau lo datengin rumah gue. Kita bisa kongkow bareng nanti. Hihi. Lebih ajib kan? Mending temenan daripada musuhan. Capek musuhan mah. Lelah hati, lelah jiwa, lelah otak. Oke? Sekian. Segitu aja. Makasih juga karena kalian, gue jadi lebih kuat dan hati-hati lagi. :))) 


Einca, 2014

Ditinggal? Cuekin aja!

Judulnya keren nggak? Keren dong.

Jadi gini, seusai judulnya, gue lagi pengen bahas tentang “ditinggal”.

Ditinggal, beda dengan meninggalkan. Mending jadi yang meninggalkan daripada yang ditinggal. Iya nggak? Awraiitt! Hoho.

Siapa sih yang nggak sakit kalau ditinggal. Cuma manusia sakit jiwa yang nggak sakit kalau ditinggal. Atau manusia apatis yang sebodo amat dan nggak peduli sama dunia. Tapi kalau manusia normal, pasti hatinya berdarah-darah kalau ditinggal. Pasti! Pasti banget itu!

Ditinggal banyak jenisnya. Ada yang ditinggal dalam artian yang sederhana. Ada yang ditinggal dalam artian yang nggak sederhana. Nah, biasanya yang sakit ini yang nggak sederhana ini. Kalau ditinggal dalam artian sederhana sih, bisa berupa kayak, lo ditinggal bonyok ke pasar. Simplenya gitu. Atau, lo ditinggal nenek lo cabut gigi di kiosnya Ko Liong.  Sederhana kan? Itu nggak akan bikin lo sakit.

Tapi yang mau gue bahas bukan jenis ditinggal yang itu. Yang mau gue bahas, agak berat dikit. Hoho....

Ehem! *benerin mic*

Jadi, gue punya adek ketemu gede. Baru-baru ini dia nangis bombai karena ditinggal seseorang. Seseorang yang dia anggap kakak, sahabat, pegangan dan tempat bergantung. Luar biasa banget pokoknya si kakak ini. Dia selalu kasih angin segar ke si adek ini. Segar banget. Bahkan sampai-sampai, si adek nganggep si kakak ini, manusia setengah malaikat dan setengah gorila dewa. Keren kan? Tapi itu hanya bertahan beberapa bulan aja.

Tiba-tiba, si kakak ini berubah jadi es dingin. Nggak konyol lagi. Nggak jenaka lagi. Atau tiba-tiba labil kayak abege. Kadang lucu, kadang nggak. Semenit gokil, semenit kampret. Si adek jadi galau. Puncaknya, ketika si kakak secara sepihak memutuskan untuk menjauh. Jreng! Sakitnya tuh di... *terserah lo mau nunjuk apa*

Sejuta sumpah serapah pasti berkecamuk di otak adek ini. Tapi tangis dan kejatuhan lah yang berada di deretan terdepan. Daripada misuh, doi pilih nggak tidur seharian dan nangis, seharian juga. Mungkin adek gue ini sekarang mukanya udah lebih bengep daripada orang yang habis dihajar puluhan preman.

Gue kasihan. Jelas. Gue pernah ngerasain yang dia rasaian. Beberapa waktu lalu. Tapi si adek ini, belum sekuat gue. Demi apa, gue pengen narik dia ke hutan terus ajak dia teriak kencang-kencang. Biar tangisnya hilang. Biar sesaknya ngurang. Biar sedihnya nguap bersama angin hutan yang sejuk. Heyaaah! Sayangnya gue jauh. Jadi gue cuma bisa dengerin sambil ketawa miris. Miris karena si adek juga ngalamin yang gue alamin.

Ditinggal itu nggak enak banget. Serius! Ditinggal itu bisa mematikan kalau yang ditinggal nggak kuat. Serius!

Pesan gue buat lo-lo pada yang sering seenak jidat ninggalin orang, jangan kasih angin kalau lo mau nimbulin badai. Nggak semua manusia siap dihempas badai. Nggak semua manusia kuat ditinggal dalam diam. Kalau lo-lo pada tetap lakuin itu, asli, otak lo nggak waras! Apalagi kalau orang yang lo tinggal nggak ada salah. Jangan bikin persepsi dari pihak lo semata. Pikirin pihak lain yang tersakiti. Bayangin kalau lo yang ada di posisi dia. Lo pikir enak apa ditinggal gitu aja? Udah lo sayang-sayang, lo manja-manja, tau-tau. Bam! Lo cabut kayak malaikat maut! Situ pikir situ siapa? Rangga? Yang nanti setelah bosan ngejauh, terus nongol lagi dan ngarep hubungan bisa kembali terjalin baik? Ngimpi!

Dan buat yang ditinggal. Kalau kalian ditinggal sama orang model begitu, cuekin aja! Bukan berarti gue ngharamin kalian selfie nangis. Bukan! Nangis mah nangis aja. Gue bisa paham. Tapi nggak usah lama-lama. Kalau lo nggak kuat lihat no hapenya atau namanya yang masih nongol di list chat, lo blokir aja. Buat sementara aja deh, nggak usah lama-lama. Seenggaknya sampai lo kuat. Sesudahnya, terserah lo, masih mau komunikasi atau mengenyahkan orang itu selama-lamanya dari pikiran, hati, jiwa, juga kontak WhatsApp.

Hidup ini cuma sekali, Gaes. Kasihan amat kalau dipakai untuk nangisin manusia model begitu. Mending kalau dia peduli. Ini gubris aja nggak. Jadi, kalau lo ditinggalin, cuekin aja!



Einca, 2014

Darah Kematian


“Aku membencimu. Dengan keseluruhan jiwa dan segenap embusan napas, aku bersumpah, putrimu akan merasakan sakit seperti yang kurasa. Air mata darah akan membasahi kedua matanya. Tak hanya setitik atau pun setetes. Tapi darah yang akan terus membanjiri wajah, pun luka hatinya. Hingga ia mati.”


***


“Aaakkk!!!” Linggar menutup kedua telinganya kuat-kuat. Bibirnya terkatup rapat. Kepalanya menggeleng berkali-kali. Dan ia mulai terisak.

Kutukan. Sumpah. Luka. Kesakitan.

Kata-kata itu berputar di kepala Linggar sejak ayah memberitahukannya kemungkinan lain, kenapa penyakit aneh yang ia derita tak kunjung sembuh. Semua memang berawal saat Randu pergi meninggalkannya. Randu pergi tepat di hari pertunangan mereka. Randu pergi meninggalkannya bersama wanita lain. Persis. Sama seperti apa yang telah ayahnya lakukan dulu, terhadap seorang wanita yang sangat mencintainya. Wanita yang kata ayah, mengutuk dirinya. 

Linggar menghela napas kuat-kuat. Matanya mulai terasa perih dan basah. Tapi Linggar membiarkannya. Percuma. Diusap dan dihapus berkali-kali pun, basah pekat yang menetes dari kelopak matanya itu tak akan berhenti.

Bau amis dan titik-titik yang nantinya akan mengotori piyama rumah sakit yang ia kenakan, tak lagi Linggar peduli. Tak ada gunanya. Bau amis dan warna merah pekat itu telah hampir dua tahun menemani hari-harinya. Merah pekat berbau amis itu, akan menetes berkali-kali lipat jika ia mulai merindukan Randu.

***

Gadis berambut sebahu itu selalu melakukan kegiatan yang sama setiap harinya. Menimang vas bercorak mawar yang berisi sepuluh tangkai mawar putih yang telah lama punah. Jangankan kelopaknya, benang sarinya saja sudah tak terlihat lagi. Hanya tinggal tangkai. Tangkai kering yang sebentar lagi pasti akan binasa seperti kelopak, daun dan benang sari si mawar.

Langga merenung. Gadis itu seumuran dengannya. Cantik. Tapi tak waras. Sudah satu tahun Langga menjadi dokter yang menangani penyakit gadis itu. Setelah dokter sebelumnya pindah ke rumah sakit lain di luar kota. Selama setahun ini, sudah cukup kenyang Langga membaca semua data gadis itu. Tapi Langga tetap tak habis pikir akan penyakit yang gadis itu derita.

“Sebenarnya apa yang terjadi pada gadis ini? Sumpah? Sumpah apa?” Langga bergumam di depan pintu. Kemarin, ia tak sengaja mencuri dengar percakapan Linggar dan ayahnya.

Jelas-jelas gadis itu mengidap haemolacria. Jenis penyakit langka yang belum pernah terjadi di Indonesia. Bahkan di dunia pun, baru segelintir saja yang terkena penyakit jenis ini. Tak ada tanda-tanda khusus yang terlihat sebelum penyakit ini muncul. Tiba-tiba saja sipenderita sudah mengeluarkan air mata darah dalam jumlah yang banyak. Dan itu sering, 4-5 kali dalam sehari. Bisa lebih jika pasien sedang mengalami depresi berkepanjangan.

Embusan napas keras keluar dari lubang hidung Langga. Pelan, ia berjalan memasuki kamar Linggar, lalu berdiri di samping gadis itu. Matanya menatap Linggar lekat. Kemarin, saat usai ia mencuri dengar percakapan itu, ayah Linggar datang ke ruangannya dan memohon.

“Jika memang tak ada obat yang bisa menyembuhkannya, biarkan dia dibawa pulang saja, Dok. Mungkin memang Linggar tak bisa diobati.”

Kata-kata putus asa. Tentu saja Langga menolak. Ia tak percaya kutukan. Lagi pula, penyakit Linggar bisa dideteksi medis. Dan Langga, masih berusaha agar gadis itu bisa sembuh. Tak lagi menangis darah, pun berteriak-teriak histeris tiap malam tiba, atau tiap kali suster ingin membuang bangkai mawar yang nyaris binasa itu.

“Hai, Linggar. Bagaimana kabarmu hari ini?” Langga menyapa ramah.

Gadis itu bergeming. Langga menghela napas. “Linggar....” Kali ini Langga memanggil sambil menyentuh pundak Linggar lembut.

Berhasil. Linggar menoleh. Matanya yang berlinang darah, menatap Langga kosong. Langga mengerjap. Walau pun sudah sering melihat kondisi Linggar, tetap saja ia masih terkejut. Sungguh, jika Linggar dilepas di tempat umum, pasti gadis itu sudah membuat masyarakat ketakutan.

“Hahaha....” Linggar tertawa keras. Membuat Langga mengernyit heran. “Kenapa? Aku begitu menyedihkan bukan? Sebentar lagi aku pasti mati. Tak apa. Lebih baik aku mati daripada merasakan sakit seperti ini. Mata, hati, jiwa dan seluruh ragaku kesakitan. Berdarah. Seperti ini.” Linggar mengusap tetesan darah di wajah dengan telapak tangan, lalu mengulurkan lumuran darah itu tepat di depan wajah Langga. “Darah!” katanya hampa.

Langga terdiam sesaat. Kata-kata ayah Linggar kembali menendang-nendang kotak ingatannya.

“Semua ini kesalahan saya. Hingga Linggar harus merasakan sakit seperti sekarang. Linggar tak akan bisa sembuh, Dok. Hanya wanita itu, wanita yang telah saya sakiti itu yang bisa menyembuhkan Linggar. Mencabut sumpah terkutuk itu.”

“Dokter, kapan aku mati?” Tanya itu menyadarkan Langga dari diamnya.

Langga tak langsung menjawab. Sendu, ditatapnya Linggar yang kini kembali menatap titik hujan yang mengenai jendela. Tetes-tetes darah semakin deras mengaliri kedua pipinya. “Apa yang kau dapatkan jika kau mati?” Bukannya menjawab, Langga malah bertanya.

Linggar diam. Bibirnya terkatup rapat. Dipeluknya vas mawar dengan erat. Perlahan bibirnya menyunggingkan senyum. Senyum yang lebih mirip seringaian mengerikan di mata Langga. Dengan bola mata yang sepenuhnya sudah diwarnai merah darah, Linggar menjawab, “Ketenangan. Kesakitan menghilang.”


***


Langga pulang dengan kepala sakit luar biasa. Tatapan Linggar, pun kata yang mengalir hampa dari bibir gadis itu, mengacaukan pikirannya. Jika saja Langga tak cukup kuat, ia pasti sudah ikut gila. Karena setelah mengucapkan kata-kata itu, Linggar tertawa lalu meraung histeris. Menyeramkan.

Mati. Kesakitan lenyap. Ketenangan didapat. Segampang itukah? Tanya itu terus berputar di kepala Langga.

“Hanya kematian yang bisa menghilangkan semuanya. Hanya kematian yang bisa memusnahkan semua kesakitan. Hanya kematian.”

Langga menghentikan langkah. Suara itu menahan kakinya yang sudah siap menaiki anak tangga. Pelan, Langga memutar badan, lalu menghampiri ambang pintu kamar sang mama yang terbuka lebar. Ia tajamkan telinga, pun juga mata. Suara hampa dan mengandung kata “kematian” itu mengusiknya.

“.... Hanya kematian....”

Langga terperangah. Bukan karena suara mama yang terdengar asing, tapi foto berbingkai figura berukuran 10R yang dipegang mama lah, yang menjadi sumber keterkejutannya. Ia kenal siapa pria itu. Pria yang sudah setahun ini selalu dilihatnya di rumah sakit. Ayah Linggar.


***


“Hanya kematian yang bisa menghilangkan semuanya. Hanya kematian yang bisa memusnahkan semua kesakitan. Hanya kematian.”

Linggar menggenggam erat vas mawarnya dengan tangan kanan. Darah terus mengaliri mata bulatnya. Sementara tangan kirinya terkulai lemas. Ranjang pesakitannya basah. Basah oleh tetes darah dari mata dan pergelangan tangannya yang nyaris putus.

Perlahan Linggar tersenyum kecil. Mata bulatnya yang merah, menatap kosong dalam kegelapan. “Mati. Ketenangan.”




(Diikutsertakan dalam tantangan menulis @KampusFiksi, 982 kata, #KataSebuahNapas)


© Airalaks, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena