Senandung RASA Ketika hati dan otak mulai tak mampu lagi menampung rasa dan lisan tertahan untuk menyenandungkannya, maka tulisan mengambil alih untuk menyampaikannya. Menyenandungkan semua tentang Rasa...

Selasa, 22 April 2014

Rindu Bulan untuk Matahari


Saat aku mendekat, kau tak tahu
Saat aku melihat, kau tak tahu
Sapaanku, tak kau hiraukan
Bisikkanku, tak kau dengar
Senyumanku, tak kaulihat

Tahukah kamu, aku selalu ada menemanimu
Entah itu sebagai bayanganmu, ataupun yang memegangmu dari kejauhan
Sadarkah kamu, takdirlah yang membawaku padamu
Bukan aku yang memaksa takdir, tapi takdir yang berputar di antara kita
Sadarkah kamu, aku selalu ada untukmu
Merasa ataupun tidak merasanya kamu

Bulan...
Itu seharusnya aku untukmu
Matahari...
Itu seharusnya kamu untukku

Walaupun bulan dan matahari tak pernah berada di langit yang sama,
tapi bulan dan matahari bisa berada di tempat yang sama
Dengan kamu berdiri, dan membuka sedikit mata untuk menoleh ke bawah
Lihatlah aku di sana, menanti dengan cahaya sendu berharap

Diri ini perpaduan antar dirimu
Topeng dan jubah ini  mulai tak mampu melindungi sakit yang tertahan
Ingin aku teriakkan semua rasa yang tersimpan

Aku mencintaimu
Aku sakit melihat kejatuhanmu
Aku bahagia melihat senyummu 
Walaupun aku tahu, senyum dan tawamu ada untuk melindungi topeng dan jubahmu

Kini kau ada, bersamaku kembali
Mulai mencipta warna berbeda yang terkadang membuat sakit
Masih belum nyata
Tapi kamu meyakinkan akan selalu ada

Jika aku bermimpi...
Aku berharap untuk tak pernah bangun lagi
Akhir kisah ini
Harap bulan bersatu dengan matahari
Mencipta gerhana yang walau sesaat,
mampu dilihat dan dirasa setiap makhluk yang ada di bawah langit.
Mencipta gerhana yang walau sesaat,
mampu memberi tempat yang sama bagi bulan dan matahari untuk bertemu
Mencipta gerhana, menjadi satu
Kita...
Bulan yang memeluk matahari

Senin, 21 April 2014

Senandung Harap

Sumber gambar: http://bintangkejora-fafankdemuhd.blogspot.com/2011/02/.html


Dia kembali....

Membawa cerita lama yang kini sedang dicoba untuk menjadi baru....

Dia kembali....

Membawa rasa lama yang kini sedang dicoba untuk tetap dipertahankan....

Dia kembali....

Membawa keyakinan lama yang kini dicoba untuk tetap diyakini bisa bertahan....

Kamu datang lagi, aku bahagia.
Kamu kembali lagi, aku bahagia.
Kamu tetap ada, aku bahagia.

Rasa ingin berlari pergi saat rasa tak mampu untuk mempertahankan itu selalu muncul. Kamu meyakinkan dengan satu kalimat penuh tawa. Sempat merasa tak ada harapan dan tetap ingin mempertahankan kesemuan. Tapi ingin untuk nyata itu juga masih kuat di dada.

Selalu berfikir untuk membuatmu pergi. Tapi kamu selalu tak pernah pergi. Rasa yang kupunya masih sama dan kamu masih sangat mempercayai itu. Kamu menahan langkahku untuk berlari dengan keyakinanmu. Kamu membuat aku bertahan dengan percayamu. Kamu membuatku menggantungkan harapan dengan harapanmu.

Tuhan, dengarlah kali ini permintaanku. Aku tak meminta banyak. Aku tak berani berharap banyak. Namun, jika Engkau berkenan, izinkanlah kami bertemu. Membukti warna yang sempat semu. Mencipta warna yang lebih nyata.
Kini, lampion harapan telah kita gantung dan nyalakan.
Berharap Tuhan menolehkan mata untuk melihat dan memasang telinga untuk mendengar.
Berharap Tuhan berkenan untul mengabulkan.
Berharap Tuhan berkehendak untuk mempertemukan.
Berharap Tuhan membiarkan langit menyatukan matahari dan bulan di tempat yang sama.
Berharap Tuhan merelakan matahari dan bulan untuk bersama walaupun waktu itu terbatas.

Dengarlah Tuhan.... Itu permintaan kami, bukan perintah. Itu hanya senandung harap kami.
Harapan matahari yang merindukan nyata bulannya....
Harapan bulan yang merindukan nyata mataharinya....
Harapan ciptaanmu yang ingin menjadi nyata....



Einca, 2014

Selasa, 15 April 2014

Nelangsa

Sumber gambar: http://camelianov18.blogspot.com/2012/06/html


Pedih.... Saat satu kalimat itu terpampang di layar ponselku.
Sakit.... Saat sesuatu yang coba aku hapuskan terungkit kembali.
Perih.... Saat kata 'tak bisa', 'tak mungkin', itu terbaca mata.

Tahukah kamu, harusnya kamu jangan pernah datang lagi saat aku sudah merelakanmu pergi.
Tahukah kamu, harusnya kamu tetap diam di sana dan tak usah mencari.
Tahukah kamu, harusnya kamu tak muncul lagi dengan rasa menyesal dan maafmu.
Tahukah kamu, kalau air mata ini bahkan belum berhenti mengalir untukmu di setiap malamku.

Seharusnya ini tetap menjadi semu. 
Seharusnya ini tetap tertutupi.
Seharusnya ini tetap menjadi rahasia.

Tapi kini kamu datang lagi, setelah kamu pergi dan memaksaku untuk pergi. Kamu yang telah hilang, kini kembali. Membawa semua lagi kenangan manis yang telah susah payah kucoba hapus dari semua ingatan dan relung yang ada. Kamu datang dan membuat usahaku untuk membencimu seketika musnah. Harus bagaimana aku? Rasa ingin mempertahankanmu, kembali muncul. Harus bagaimana aku? 

Nelangsa jiwa.
Kamu tahu kalau aku tak akan pernah bisa membencimu.
Kamu tahu kalau aku tak akan pernah sanggup menahanmu.
Kamu juga tahu kalau aku tak akan pernah bisa melepaskanmu lagi.
Dan, jauh ataupun dekatmu,selamanya aku selalu mencintaimu.

Tak sekuat itu hati ini mampu menahan. 
Tak sekuat itu raga ini mampu bertahan.
Mencintaimu itu adalah satu-satunya yang hati ini mampu tetapkan tanpa berfikir.
Ingin memilikimu itu adalah satu-satunya yang hati ini ingin lebih dari apapun.

Sekarang, harus bagaimanakah aku?
Berlari dan menghindar? 
Mematikan hati dan menutupnya?
Atau malah mematikan diri dan menghilang bersama bumi?
Mampukah?
Bisakah?
Mungkin....




Einca 2014

Senin, 14 April 2014

Selendang Biru


Aku tersenyum dingin saat ponselku berdering dan nama Dhana muncul di layar ponselku. Sebuah nama yang sudah dua bulan ini mengisi hari-hariku. Sebuah nama yang selalu membuatku tersenyum lebar dan juga tersenyum dingin, nyaris secara bersamaan. Nama yang membuatku menyusun banyak hal untuk nantinya ditunjukkan pada sosok yang bahkan belum pernah bertatap muka langsung denganku

"Aku, suka kamu. Nggak, aku  cinta kamu. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta dan itu ke kamu." 

Aku terdiam, wajahku datar saat mendengar kalimat pengakuan yang diucapkan Dhana dengan serius via telpon itu. Tak ada satupun kalimat balasan yang keluar dari bibir mungilku. Mataku lurus menatap sebuah selendang biru yang selalu aku ikatkan pada tali tasku.

"Kana, kamu nggak jawab? Atau aku harus datang ke kotamu dulu baru kamu bisa menjawab pertanyaanku?"

Aku masih diam. Mataku terpejam untuk sesaat, sebelum akhirnya aku menjawab. "Datanglah, aku tunggu kamu besok." Dan aku menyebutkan alamat tempat yang harus didatangi Dhana besok.

***

Aku duduk di atas kasurku sambil memegangi selendang biru itu. Mataku menatap selendang biru itu dengan berbagai emosi. Tapi emosi kemarahanlah yang paling mendominasi. Kemarahan yang sudah kupendam bertahun-tahun. Kemarahan yang membuatku berlari dari nyata dan memuja semu, kemarahan yang membuatku mengubur diri dan hidup dalam kegelapan.

Ini ujungnya, Kana. Ini yang kamu tunggu selama ini. Kamu harus keluar dari gelap ini.  Sekarang.

***

Bugh! Sebuah tinju yang berbalut sebuah selendang biru, kulayangkan di wajah Dhana. Dhana tersungkur di atas tanah yang becek lantaran tersiram hujan sepanjang hari ini. Setetes darah muncul di sudut bibir pria itu. Matanya menatapku dan juga sekelilingku, bingung. Terlihat jelas kagetnya bahkan belum hilang saat ternyata tempat yang aku sebutkan adalah sebuah area pemakaman.

"Apa maksudnya ini? Ini makam siapa?" Tanya Dhana. Matanya menatap bongkahan tanah berlapis rumput halus dengan nisan kayu yang tertancap di kedua sisinya.

Aku tertawa sinis. Wajahku pasti diliputi dendam menyala yang telah aku pendam selama empat tahun ini. "Ini," aku melepaskan selendang biru yang meliliti tangganku sejak tadi dan melemparkan selendang itu di hadapan Dhana.

Dhana terdiam. Matanya kini menatapku bingung. Pasti dia berfikir bahwa wajah cantik wanita yang telah dikenalnya dan sering dilihatnya di layar laptop selama dua bulan ini, benar-benar telah berubah. Wajah manis yang selalu tersenyum manja, suara manis yang selalu memanggilnya manja, benar-benar telah berubah. 

"Liat selendang biru itu! Kamu akan tahu jawabannya." Ucapku lirih.

Aku melihat kebingungan yang nyata saat Dhana meraih selendang biru itu. Dan matanya langsung menangkap sebuah sulaman berwarna emas di salah satu ujung selendang.

Nia

Aku melihat tubuh laki-laki itu tersentak. Sebuah sulaman pendek yang seketika membangkitkan seluruh ingatan Dhana yang terkubur sejak beberapa tahun lalu. Ingatan yang aku yakin sama sekali tak pernah Laki-laki itu ingat kalau bukan karena sulaman berwarna emas itu.

"Dia, perempuan yang mencintai kamu dengan seluruh hidupnya. Perempuan yang kamu tinggalin dalam keadaan hamil. Perempuan yang berjuang untuk menjaga satu-satunya yang tertinggal dari kamu. Anaknya. Anak kalian." Tukasku tajam. 

"Aku nggak tahu..." ucap Dhana lirih. Wajahnya memucat seiring dengan air mata yang kini membasahi kedua pipinya. "Dimana dia sekarang? Aku ingin meminta maaf." Serunya kemudian, seranya memegang kedua tanganku erat dan berharap.

Plak! Aku melayangkan tamparan keras di wajah Dhana, hingga Dhana terjatuh tepat di dekat nisan makam yang tadi ditatapnya. 

"Kamu liat baik-baik!" Aku mengangkat wajah Dhana dengan kasar, dan mengarahkannya tepat ke nisan kayu yang sudah usang itu.

Dhana mungkin tak mengerti, matanya menelurusi tulisan yang mulai pudar di papan nisan itu dalam hati. Otaknya pasti mencoba mencerna dan meraba siapa yang bersemayam di bawah tanah ini.

Aku mendengus. Kuhempaskan kepala Dhana hingga membentur tanah. "kamu bahkan nggak tahu nama panjangnya. Yang kamu tahu cuma 'Nia'." Ujarku tajam. "Maafmu udah nggak diperlukan lagi. Percuma. Dia udah terbaring diam di dalam tanah dan nggak akan pernah kembali lagi."

"Aku..."

"Kakakku nggak akan pernah kembali lagi!" Nyaris berteriak aku mengeluarkan semua luka yang telah kupendam selama ini. Luka yang membuatku menjadi wanita dingin yang tak mengenal rasa kasihan terhadap makhluk berjenis laki-laki. Luka yang membuatku menghabiskan masa remaja seorang diri. Benar-benar seorang diri. Tanpa orang tua dan tanpa Kakak satu-satunya. Luka yang membuatku mematikan hati dan menyusun semua ini.

Dhana tergugu. Dengan penuh penyesalan laki-laki itu bersimpuh di kakiku. Memohon maaf untuk semua luka yang telah aku rasakan karena dirinya di masa lalu. Memohon maaf untuk dua orang yang seharusnya menjadi bagian dari hidupnya tapi malah dia sia-siakan. 

Aku menatap sosok berwajah pucat yang bersimpuh di hadapanku itu dengan tatapan dingin. Darah yang menetes di sudut bibir Dhana, air mata yang mengaliri kedua pipi Dhana, juga lolongan permohonan yang keluar dari mulut Dhana, tak  membuathatiku bergeming. Aku tetap diam sambil menggenggam erat salah satu sisi selendang berwarna biru langit yang sisi satunya digenggam oleh Dhana. Air mataku perlahan menetes.

Bagiku, hari ini harus jadi akhir untuk orang ini juga. Entah akhir seperti apa. Akhir tak selalu dengan membusuk di bawah tanah seperti Kakakku. Dhana harus merasakan luka yang sama seperti yang pernah  kurasakan, luka yang sama seperti yang Kakakku rasakan. Luka karena sakitnya sebuah rasa cinta.

Cinta yang ditinggal.
Cinta yang dikhianati.
Cinta yang disakiti.
Cinta yang hilang.

Seperti selendang biru itu yang menjadi saksi sebuah cinta yang pernah dirasa Kakakku.Seperti selendang biru itu yang telah menjadi saksi cintanya pada sang Kakak yang telah tiada, juga saksi seluruh lukaku. Seperti itu juga selendang biru itu nanti akan menjadi saksi semua rasa cinta dan luka yang akan dirasakan Dhana.




Einca, 2014


Sabtu, 12 April 2014

Senandung untuk Cahaya



Seperti menatap cermin saat aku menatapmu. Seperti melihat diri sendiri saat aku melihatmu. Sama. Benar-benar sama. Tanggal lahir yang sama, walaupun tahun lahir berbeda. Kisah lahir yang nyaris sama. Sifat yang sama. Hanya berbeda gender saja. Semua yang disuka dan tak disuka nyaris sama. 

Kamu itu seperti bayanganku, aku itu seperti bayanganmu. Dulu aku menganggapmu matahari, tapi sekarang kamu bilang kalau akulah mataharinya, sedangkan kamu adalah bulannya. Padahal matahari dan bulan itu jauh berbeda. Tapi apa yang kita miliki, yang kita rasa, yang kita lakukan,  semua nyaris sama. Walaupun tak pernah bertemu, walaupun tak pernah bersua, walaupun tak ada kata yang terucap, kita dapat saling merasa dan bahkan melakukan hal yang sama. 

Mengenal kamu, bagai mendapat setitik cahaya terang di tengah awan kegelapan yang selama ini menyelubungiku. Dengan sinar lembutmu, kamu mengulurkan seutas kabel baja  untuk menarikku. Cahayamu  membuat aku terpikat, cahayamu  membuat aku terpesona. 

Pernahkah ada di dunia ini dua orang yang hidup secara bersamaan, berpisah di lain tempat, tak mengenal satu sama lain, tapi memiliki begitu banyak persamaan. Semua nyaris sama. Ada apa dengan semesta? Siapakah kamu sebenarnya? Hadir untuk siapakah kamu?

Mencoba mencari,mencoba mengikuti alur cerita, mendengar apa yang kamu katakan, mengikuti apa yang kamu sampaikan. Berharap aku tidak tersesat dalam perjalanan menuju cahayamu. Berharap kamu benar-benar ada dan nyata bersama cahayamu.

Aku menunggu. Ada satu tanggal yang kita janjikan, yang kamu janjikan untuk datang menampakkan diri. Tanggal yang sama saat kita terlahir ke dunia  ini. Sampai tanggal itu berakhir, aku masih menunggu. Tanggal yang kulingkari dengan spidol merah, tanggal yang menjadi awal keterikatan yang sama sekali tak pernah kita rencanakan. 

Dengarlah cahaya, aku masih menanti.
Dengarlah cahaya, aku masih berharap.
Dengarlah cahaya, lantunan senandung doa untukmu yang terlahir sama.
Dengarlah cahaya, selamat ulang tahun kusampaikan dari jauh untukmu yang sampai saat ini masih tak mampu kujangkau.



Einca 2014

Selasa, 08 April 2014

Jejak Cahaya Dusta

Sumber gambar: http://fii-megumi.blogspot.com/2011/09/way-share.html


Matahari itu mulai tenggelam kembali keperaduannya. Semburat jingga itu perlahan mulai memudar dan berganti dengan gelap awan menutup bumi. Sinar putih lembut yang tak seberapa terang menggantikan tugas Raja Langit yang telah berpindah ke sisi dunia lain, ditemani kelap kelip cahaya dayang-dayang sang Ratu Malam. 

Ini sudah perjalanan terjauh yang ku tempuh. Suara seruan dari pengeras suara terdengar lantang tak jauh di depanku. Dengan langkah tertatih aku mendekati surau itu, duduk sejenak melepas lelah, lalu berjalan untuk mensucikan diri sebelum mengadu kepada penguasa jagad semesta. Untuk kesekian kalinya dalam doaku bening ini menetes.

Dusta itu terlalu indah untuk begitu saja dilupakan. Dusta itu begitu sakit untuk begitu saja dihapuskan. Dusta itu begitu misterius untuk begitu saja dilenyapkan. Iya dusta itu. Dusta yang terucap dari bibir manismu selama ini. Iya, dusta. Yang aku tahu sekarang itu dusta. Tapi aku masih mencoba mencari. Mencari setitik saja kebenaran, setitik saja cahaya untuk semua cerita yang dulunya terang, mendadak menjadi gelap. 

Jauh di relung terdalam ini, aku masih ingin mempercayaimu. Tapi telah lelah aku berjalan, telah habis tenagaku untuk mencari, telah jauh aku pergi membawa diri, tak juga satupun kutemui terang dari gelap yang telah kau cipta. Sepanjang apalagi aku harus mencari? Ingin berhenti tapi raga, hati dan otak ini tak mampu berhenti. Telah lelah mulut ini bertanya, apa yang kutanya, apa yang kucari, tak ada di tanah ini. Tanah yang kau bilang sebagai tanah lahir, tumbuh dan besarmu.


(Based from my friend's story)
Einca 2014

Minggu, 06 April 2014

Cahaya Misterius

"Kamu itu punya cahaya. Andai aja kamu sadar."

"Cahaya apa?"

"Cahaya matahari. Kamu itu punya matahari. Tapi kamu tutupin sama semua yang kamu lakukan selama ini?"

"Hah? Aku matahari? Tinggi banget itu..."

"Hahaha.... Udah saatnya kamu sadar. Kamu itu punya cahaya. Jadi tunjukkinlah."

Dhani tertawa hambar mendengar kata-kata Puput. Bingung ingin menanggapi kalimat itu dengan apa. Baginya, yang selama ini memiliki cahaya dan kekuatan matahari itu ya gadis berjilbab yang sekarang duduk di hadapannya ini. Sudah banyak bukti yang diadapatkan sejak mengenal Puput lebih sebulan lalu, gadis ini memiliki cahaya terang laksana matahari. Apapun yang ada di dekatnya bisa merasakan semangatnya yang selalu ceria dan penuh warna itu.

Lebih sebulan lalu, Dhani tak sengaja bertemu Puput yang menyapanya duluan saat dia tengah menunggu kliennya di sebuah cafe. Masih dia ingat saat gadis itu menyapanya lembut dan mengaku sebagai penggemar cerpen-cerpen yang sering Dhani posting di blog pribadinya. Awalnya Dhani bingung dan membalas sapaan itu dengan acuh. Tapi entah kenapa gadis itu mampu membuat Dhani yang dingin menjadi cepat mencair. Dan memang tak membutuhkan waktu lama, percakapan dan pertemuan berikutnya semakin sering terjadi dan semakin mendekatkan Dhani dan Puput. Gadis manis berjilbab dan berlesung pipi itu.

***

"Kamu sebenarnya darimana sih asalnya?" Tanya Dhani polos dan langsung disambut tawa geli Puput. 

Ini sudah hampir dua bulan Dhani mengenal Puput dan dia sama sekali belum mengetahui dimana gadis itu tinggal dan dimana gadis itu kuliah. Melihat dari diktat-diktat tebal yang selalu di tentengnya setiap kali mereka bertemu, Dhani yakin Puput masih berstatus mahasiswi.

Puput tersenyum manis. "Memangnya kenapa?" 

"Ya, kan pengen tahu aja gitu. Masa teman nggak tahu dimana temannya tinggal. Kita temankan?" Dhani menatap Puput meminta jawaban.

Sejenak Puput terdiam, lalu gadis itu mengangguk pelan dan berkata lirih. "Aku tinggal satu gang di belakang rumahmu. Rumah No. 22A."

"Hah?" Dhani terbelalak. Ternyata gadis ini begitu dekat dengannya. Tapi bagaimana bisa Dhani tak mengetahui tentang keberadaan Puput, sementara dia hampir mengenal semua warga yang tinggal di kompleks perumahan kontrakkannya itu. 

Puput mengangguk pelan. Senyum manisnya tersungging lagi, hingga menampakkan lesung pipinya yang dalam. "Ingat, kamu itu cahaya. Jangan sampai cahaya kamu itu menghilang lagi. Kamu pasti bisa ngeluarin cahaya itu. Aku pamit dulu. Assalammualaikum." Dan Puput berlalu meninggalkan Dhani yang masih terpaku di tempat duduknya dan masih berperang dengan apa yang mendadak berkelebat di otaknya.

***

Siang itu Dhani benar-benar memutuskan mengunjungi rumah No. 22A yang pernah Puput sebutkan. Dhani nekat mengunjungi rumah tersebut karena Puput sudah menghilang selama 3 hari. Dhani tak punya nomor ponsel gadis itu, Puput tak pernah memberikannya. Jadi yang bisa dia lakukan sekarang hanya mencari kebenaran tentang gadis misterius itu.

Tok. Tok. Tok. Dhani mengetuk pintu sambil mengucapkan salam. Tak lama, terdengar sahutan dari dalam rumah dan beberapa detik kemudian pintu rumah itu terbuka. Tampak seorang wanita paruh baya menggunakan gamis hijau dan jilbab putih muncul dari balik pintu.

"Cari siapa?" Tanya Ibu itu ramah.

Dhani langsung menjelaskan maksud kedatangannya dan siapa yang dicarinya. Ibu itu terdiam. Mata tuanya yang sudah sayu berlinang. Dan penuturan singkat dari bibir Ibu itu membuat Dhani membeku. Benarkah kenyataan ini? Benarkah yang dia dengar?

"Puput sudah meninggal sejak setahun lalu. Kecelakaan, dan Puput memang sudah menjadi penggemar cerpenmu sejak kamu pertama kali memposting tulisan-tulisanmu. Puput meninggal saat hendak menghadiri wisudamu."

***

Dhani menabur bunga di atas gundukan tanah yang telah ditumbuhi rumput-rumput jepang yang tertata rapi. Sebuat nama yang pernah dikenalnya tiga bulan lalu terpampang di sebuah papan kayu yang tertancap di atas gundukkan tanah itu. Seikat bunga mawar putih Dhani letakkan di atas pusara gadis yang telah mengajarinya banyak hal selama dua bulan lalu. Walaupun Dhani tak begitu yakin dengan apa yang dia lihat selama dua bulan lalu. Tapi Dhani yakin, memang gadis ini yang telah menemuinya dan mengingatkannya.

"Terima kasih untuk cahayamu. Terima kasih telah mengingatkanku bahwa aku memiliki cahaya itu. Terima kasih telah memberiku rasa yang selama ini tak pernah aku sangka bisa aku miliki."



Einca 2014

Sabtu, 05 April 2014

Senandung "Rasa" 1 - Akhir Pencarian

Sumber gambar: http://pixabay.com/id/abstrak-baris-jalan-warna-warni-258345/


"Masih bisa nggak kita menikah?"

"Kok kamu nanya gitu?"

"Masih bisa nggak kita menikah?"

"Iya, masih kok. Kita tetap akan menikah. Apapun  itu halangannya, apapun itu rintangannya, kita tetap akan bersama."

"Iya, kita akan bersama. Love you..."

"Karena itulah kita bisa bersama. Love you..."

Dan kamu tertawa manja. Percakapan  itu adalah percakapan terakhir kita. Suara terakhirmu yang ku dengar. Tawa terakhirmu yang ku dengar. Juga bayangan terakhirku tentang wajah merahmu yang sendu. Percakapan yang berawal luapan emosi dariku karena pertentangan keluarga. Percakapan yang berakhir dengan keyakinan untuk mempersatukan semua dalam kenyataan yang benar-benar nyata. Percakapan penuh tawa kita yang terakhir lewat sebuah ponsel. Seperti setiap malam sebelumnya.

Itu yang terakhir. Maafkan aku karena akhirnya memilih pergi. Tak hanya pergi darimu, tapi juga dari semuanya. Pencarian panjang ini benar-benar menjadi panjang. Seperti jalanan pulau Jawa yang tak berujung, dan sekalinya ini berujung itu berakhir di lautan lepas. Dan seperti inilah akhir dari pencarian yang ku jalani. Semu yang kuharap nyata memang selamanya tak akan pernah menjadi nyata. Kamu selamanya hanya menjadi maya. 

Aku masih ingin mencari, tapi sebuah kabar yang ku dengar akan ketiadaan dirimu membuat pencarianku sontak terhenti. Benarkah? Jika iya dimana tempatnya? Dimana kuburnya? Dimana jasadnya? Satupun tak ada yang kudapati. Aku mencari hingga ke tempat terjauh yang pernah kamu sebutkan. Mencari sosok tua yang selalu kamu agungkan. Namun yang kutemui hanya sosok tua lain yang tak sama.  Tak pernah ada jiwa renta lagi sakti dan terhormat yang terkubur di tanah ini.

Bohongkah semuanya? Jadi apa yang kulihat? Apa yang kurasa? Ilusikah? 

Aku tak sanggup lagi meneruskan pencarian ini. Ada selubung gelap yang menutup rapat semua semu yang terjadi selama ini, hingga nyata itu tak akan pernah terlihat. Malaikatkah kamu? Atau malah iblis yang menyesatkan? Entahlah. Tapi yang aku sadari sekarang, rupa malaikatmu telah berubah menjadi iblis keji bagiku. Semua rasa itu masih ada dan masih nyata merasuk sukmaku. Tapi kebenciaan mendadak yang muncul ini, menutupi semua rasa itu.

Aku tak pernah berharap ini akan menjadi nyata kembali. Biarlah terkubur bersama yang telah terkubur jika memang itu nyata. Walaupun airmata tak henti mengalir saat mengingat semua kenangan kita selama ini, tapi itu tak bisa lagi membawaku kembali untuk mempercayai semu-mu. Walaupun dada ini selalu sakit saat semua kenangan itu tervisualisasikan dimanapun mataku menatap, tapi itu tak bisa lagi membawaku untuk kembali pada cintamu, jika memang cinta itu memang nyata adanya.

Pencarian nyata yang tak nyata. Pencarian semu yang tak semu. Pencarian menyedihkan yang membawa semu pada nyata yang bahkan lebih semu. Pencarian menyakitkan juga menyedihkan. Pencarian penuh airmata dan luapan emosi. Pencarian yang tak akan pernah berujung karena misteri itu tertutup rapat. 

Nyata ini tak pernah nyata. Semu ini akan tetap menjadi semu. Dan senandung terakhirku untuk semu paling nyata yang juga tak nyata, untukmu yang pernah semu lalu kemudian terasa benar-benar nyata tapi ternyata lebih semu dari apapun yang pernah ku ketahui. Hanya satu yang nyata, rasa ini. Rasa ini untuk semu-mu benar-benar nyata adanya. Rindu ini untuk semu-mu juga benar-benar nyata. Layaknya matahari yang selalu merindukan bulan, layaknya aku yang selalu merindukan kamu. Semu-ku yang terindah. Semu-ku yang tersakit. Semu-ku yang terpedih. Dan inilah akhir pencarianku.

(The End....)



(Untuk yang sedang dalam pencariannya. Pulanglah. Kejar nyatamu, kembali ke nyatamu. Tak selamanya semu itu harus dijadikan nyata)

Einca 2014

© Airalaks, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena