Terkadang, apa yang kita rencanakan tak selalu berjalan
seperti apa yang kita inginkan. Kadang Tuhan tak mengijinkan rencana yang telah
kita susun itu terjadi. Kadang Alam pun, ikut serta untuk mendukung keinginan
Tuhan yang tentunya lebih berkuasa dibandingkan apapun yang ada di muka bumi
ini. Bukan karena Tuhan tak sayang, mungkin kita yang memiliki salah hingga
Tuhan tak berkenan mengijinkan rencana-rencana kita terjadi. Atau mungkin,
Tuhan menyiapkan rencana lain yang lebih indah. Dan mungkin Tuhan ingin menguji
seberapa hati hambanya mampu bertahan dalam setiap ujian yang ia berikan.
***
Dinda menatap sosok wanita muda berambut pendek yang tengah duduk di pojokan kamar bercat biru
langit itu dengan nelangsa. Ia masih ingat betul saat dulu wanita itu memiliki
rambut panjang yang indah. Dulu, wanita itu memiliki senyum manis dengan lesung
pipi yang selalu menghiasi wajah lembutnya. Dulu, wanita itu memiliki mata yang
selalu bersinar ceria. Ya, dulu Kakaknya itu selalu membuat rumah mungil yang
mereka tinggali sejak kecil, hangat dan penuh tawa. Tak dingin seperti
sekarang. Sekarang yang Dinda rasakan hanyalah kesunyian, sepi, sendirian dan
dingin.
Dulu, teman-teman Dinda selalu berdecak iri setiap kali
mereka bertandang kerumah gadis remaja itu. Namun kini, Dinda harus menahan
hati saat teman-teman bahkan kerabat dekatnya menggunjing tentang keluarga
mungilnya.
“Cepet sembuh, Kak,” ujar Dinda lirih sambil menghela nafas
panjang, lalu, tangan kanannya terulur
untuk meraih ganggang pintu kamar Kakaknya. Pelan, Dinda menutup pintu kayu
berwarna coklat itu, dan kemudian ia berbalik hendak menuju kamarnya sendiri.
“TIDAAAAAKKKKK!!!!!!! RANUUUU!!!! MAMAAA!!!! PAPAAA!!!!”
Teriakan itu membuat langkah Dinda sontak terhenti. Cepat ia
berbalik dan membuka pintu kamar Kakaknya. Dan matanya langsung disambut pemandangan
yang membuat Dinda cepat berlari dan memeluk Kakak semata wayangnya itu.
“Kak Dini, udah Kak. Jangan teriak-teriak lagi.” Pinta Dinda
sambil berusaha keras untuk menahan air matanya yang sebenarnya sudah siap
tumpah. Dipeluknya erat Kakak semata wayangnya yang masih menggigil ketakutan.
“Ranu, Ma, Pa, kalian mau kemana? Tunguin Aku...” isaknya. Bola matanya yang berwarna coklat menatap kosong ke arah jendela kamar
yang tertutup rapat. Tangan kanannya, terulur seolah ingin menggapai seseorang.
“Mereka nggak kemana-mana, Kak. Kakak tenang ya," bujuk
Dinda lembut sambil mengusap-usap punggu Kakaknya hingga tangis Dini perlahan
mereda.
Pelan, Dinda melepas pelukannya. Ditatapnya Dini yang masih
menatap ke arah jendela kamar, dengan penuh kasih. Dini adalah satu-satunya
saudara yang Dinda punya. Sejak kecil, kepada Dini lah Dinda selalu mengadu.
Kepada Dini lah Dinda selalu meminta perlindungan. Hati-hati Dinda membenarkan rambut Dini yang
tampak berantakan menutupi sebagian wajahnya yang kini mulai tirus. Ujung jemarinya
menghapus jejak tangis yang masih tersisa di wajah Kakaknya itu.
“Kak, cepet sembuh. Dinda sekarang cuma punya Kakak. Cepet
sembuh, Kak...” Dan bendungan yang coba ditahannya sejak tadi, akhirnya tumpah.
Dinda terisak sambil memeluk Kakaknya erat.
***
Malam itu, cuaca sedang tidak bersahabat. Sejak sore hujan
deras disertai petir. Namun bukan itu yang membuat Dinda mondar mandir gelisah
di depan pintu ruang tamu rumahnya. Waktu sudah menunjukan pukul 22.00 WIB dan
kedua orang tua serta Kakaknya belum juga sampai di rumah.
Berkali-kali Dinda mencoba menghubungi dan tak satupun dari
ketiga nomor ponsel yang ia hubungi, menjawab panggilannya. Cemas mulai
menguasai hatinya. Sore tadi, saat Mama, Papa dan Kakaknya berpamitan untuk
mengecek gaun pengantin yang telah dipersiapkan untuk acara pernikahan Kakaknya
yang sudah di depan mata, Dinda sudah merasa cemas. Selain karena cuaca yang
buruk, Dinda juga mendapat firasat yang entah kenapa tak begitu bagus. Namun bukan
karena itu Dinda tak ikut serta, banyak tugas kuliah yang menanti untuk segera
diselesaikan. Dan kini ia menyesal, kenapa tidak memaksa untuk ikut.
Tok, tok, tok....
Dinda nyaris melompat saat mendengar bunyi ketukan pintu. Cepat
gadis itu berlari menuju pintu dan segera membukanya. Namun yang muncul di
depan pintu bukanlah tiga orang yang tengah ia tunggu. Rasa cemas Dinda, kini
mulai berganti menjadi ketakutan.
“Po, polisi? A, ada apa, Pak?” Tanya Dinda dengan suara
terbata.
“Benar ini rumah Bapak dan Ibu Donny? Juga, saudari Dini
Andari?” tanya salah satu petugas.
Dinda mengangguk sambil menelan ludah. Hatinya dipenuhi
berbagai pertanyaan dan tak ada satupun pikiran baik yang melintas di otak dan
hatinya.
“Maaf, Dik, bisa Adik ikut dengan kami sebentar?” Tanya
petugas itu lagi.
Dinda terdiam sejenak. Gadis itu semakin bertambah bingung. “Ada
apa ya, Pak?”
“Nanti kami jelaskan di perjalanan. Sekarang, mari ikut kami
ke Rumah Sakit terlebih dahulu.”
Dinda terbelalak kaget. “Rumah Sakit?”
Petugas itu mengangguk dan mengucapkan beberapa kata. Cepat
Dinda masuk ke dalam rumah, mengambil tas dan segera mengunci pintu rumahnya.
Tak ada lagi yang ia pikirkan selain berdoa. Berharap kalau yang ia pikirkan
saat ini, salah. Berharap Tuhan berkenan mendengar doa-doanya. Dan berharap
semuanya baik-baik saja.
***
“Kecelakaan itu terjadi tepat di depan Butik Venisa. Tiga
korban tak dapat diselamatkan, sementara yang satu lagi mengalami kerusakan
parah pada otak. Menurut saksi mata yang melihat, korban laki-laki bernama Ranu
itu, sempat mendorong keluar gadis yang kami ketahui bernama Dini. Namun, ia
sendiri, juga Bapak dan Ibu Donny, tak sempat menyelamatkan diri mereka. Mobil
yang mereka tumpangi, meledak."
Dinda terpaku menatap tiga jasad bertutupkan kain putih yang
sekarang ada di hadapannya. Otaknya yang biasanya cerdas, mendadak lumpuh dan
kesulitan mencerna penjelasan dari petugas kepolisian.
Perlahan, Dinda melangkah mendekati jasad yang berada persis
di tengah. Dengan tangan gemetar, Dinda memberanikan diri untuk membuka kain
putih yang menutupi jasad itu. Seiring dengan terbukanya kain putih itu, saat
itu juga Dinda merasa dunianya runtuh.
“Mama...” Isak Dinda tertahan. Dinda tahu yang dihadapannya
itu, pasti Mamanya. Walaupun jasad itu nyaris tak bisa dikenali lagi. Kedua
lututnya terasa lemas. Dan, Dinda tak lagi mengingat apa-apa selain
gelap.
***
Hilang....
Dinda bersimpuh di antara pusara Papa dan Mamanya. Kedua
tangannya masing-masing berada di atas pusara dan memainkan taburan bunga yang
masih segar.
Hilang....
Dinda ingat saat Mama dan Papanya memeluknya erat sebelum
mereka pergi sore itu. Dinda ingat pesan terakhir dan kecupan penuh kasih dari
Papanya sore itu. Dinda ingat bagaimana raut wajah Mama saat berkata “Selamat
tinggal”, sore itu. Dan Dinda ingat senyum manis Kak Ranu yang sempat
menghadiahinya sepaket Teddy Bear mungil
yang lucu. Dinda juga ingat saat Kak Dini memeluknya dan mencubit hidungnya
pelan. Namun sekarang, Dinda benar-benar sendirian. Dinda tak pernah menyangka
kalau kata “selamat tinggal” dari Mama dan Papanya adalah kata terakhir yang ia
dengar. Dinda tak pernah tahu kalau hadiah boneka dari Ranu, adalah hadiah
terkahir yang diterimanya.
Hilang....
Tuhan mengambil orang-orang yang disayanginya. Walaupun
Tuhan masih menyisahkan Kakaknya, namun Tuhan mengambil jiwanya. Dini sama
sekali tak mengingat apapun selain Mama, Papa dan Ranu. Dini tak bisa merespon
apapun, selain diam dan terkadang berteriak histeris sendiri. Dini bahkan tak
lagi mengenali Dinda.
***
Dinda tersentak dari tidurnya. Tidurnya kembali dihantui
mimpi. Sejak kedua orang tuanya tiada, sejak Dini tak mampu lagi merespon
apapun, sejak itu juga, Dinda selalu dihantui mimpi buruk. Namun kali ini,
mimpi itu sedikit berbeda. Ada wajah
Dini di dalam mimpinya. Bukan wajah tirus dan sayu seperti satu tahun terakhir
ini. Namun wajah manis, seperti yang terakhir kali Dinda ingat.
Cepat Dinda bangkit dari tidurnya, dan bergegas berlari
menuju kamar Dini. Hatinya kembali dipenuhi rasa yang sama seperti satu tahun
yang lalu. Dan kembali, Dinda melantunkan doa-doa yang sama seperti saat dulu
ia berdoa dan berharap supaya apa yang ia pikirkan, salah.
Klik. Dinda menghidupkan lampu kamar Dini saat ia sudah
berada di dalam kamar. Dinda langsung menghela nafas lega saat dilihatnya Dini
yang tengah tertidur tenang di atas ranjang. Namun sesaat kemudian kelegaan
Dinda berubah menjadi kekhawatiran. Tak biasanya Dini tidur tenang dan di atas
Ranjang. Dinda selalu mendapati Kakaknya ini tidur dengan posisi duduk sambil
memeluk kedua kakinya, di sudut ranjang.
Segera Dinda menghampiri Dini. Pelan, Dinda
menggoncang-goncang bahu Dini. Berharap Kakaknya itu segera terbangun. Namun,
Dini tetap bergeming. Tubuh Kakaknya itu tak merespon apapun. Cemas, Dini
segera berlari ke kamarnya dan mencari ponselnya. Lalu, sambil berlari kembali
menuju kamar Dini, sambil menekan-nekan ponselnya. Sesaat kemudian, ponsel itu
sudah tertempel di telinganya. Dan Dinda langsung berkata dengan suara terbata
dan ketakutan.
"Ha, halo. Dokter Nina? Dok, Kak Dini...."
***
Hilang....
Seakan dejavu. Dinda kembali berada di tempat yang sama
seperti setahun yang lalu. Tempat dimana ia harus menaburkan banyak bunga. Tempat
dimana, satu tahun belakangan ini, ia habiskan jika ia merindukan kedua orang
tuanya, juga Ranu. Kini, tempat itu manjadi tempat yang sama jika ia merindukan
Kakaknya nanti.
Hilang....
"Kakak bahagia? Ketemu Mama sama Papa, belum? Ketemu Kak Ranu, belum? Sampaikan salam Dinda untuk mereka semua ya. Dinda sayang kalian semua...."
***
Walaupun saat ini Tuhan mengambil seluruh bahagiamu....
Walaupun saat ini, semua bahagiamu hilang...
Bersabar dan percayalah, suatu saat nanti Tuhan akan mengganti bahagiamu
dan menghadirkan kembali apa yang telah hilang dari hidupmu...
Jika bahagia untukmu tak juga datang, mungkin saat ini Tuhan tengah memberi bahagia untuk yang hilang dari hidupmu....
Einca, 2014