Jika nanti waktunya tiba, akan ada sakit
yang tercipta. Akan ada kebohongan yang terungkap. Mungkin akan ada kematian
yang datang. Jika nanti bibirku tak sanggup untuk menyampaikan semuanya,
mungkin lewat lembaran buku ini kamu bisa mengetahuinya.
Mengetahui tentang semua tanya yang tak
pernah sempat kujawab....
Aku terpaku
menatap deretan terakhir dari semua tulisan yang tergores di dalam lembaran
diary biru itu. Tepat di hari ke sepuluh –sejak ia mulai tak sadarkan diri- aku mengetahui semuanya. Sayang, aku
mengetahui semua itu bukan langsung dari bibirnya. Aku mengetahuinya dari
sebuah diary yang diberikan oleh
kakaknya.
Kebohongan.
Semua ia
sembunyikan dariku. Dengan rapi dan tertata cantik. Sempurna. Aku benar-benar
tertipu. Harusnya aku menyelidiki semuanya dulu sebelum aku jatuh ke dalam
perangkap cintanya. Tapi terlambat. Gadis cantik itu memang telah berhasil
menghancurkanku. Dan sekarang, ia terbaring tak sadarkan diri dengan berbagai
macam selang yang memenuhi tubuhnya. Sementara aku, hanya bisa menyaksikan dari
lorong, tepat di depan ruangan tempat ia dirawat.
“Maafin Dinda,
Dika. Aku mohon....”
Aku menghela
napas mendengar kata-kata yang keluar dari bibir Kara. Aku ingin memaafkannya,
tapi kebohongan yang ia buat, hampir membuatku mati.
“Aku nggak tahu
Kar. Aku...”
“Tapi Dinda
begitu karena kamu!” Kara menyela tajam.
Aku mengerjap. Karenaku?
Bagaimana bisa? Tak ada satupun kalimat yang tertulis di diary itu, tentang kesalahan yang kubuat. Gadis yang kucintai dengan
segenap jiwa dan sekarang terbaring tak sadarkan diri itu, hanyalah gadis pshyco yang ingin menghancurkanku dengan
sebuah kebohongan berkedok cinta!
“Kamu nggak
tahu kan kenapa Dinda melakukan semua kebohongan itu?” Kara menatapku
tajam. Bibirnya bergetar saat berkata, “empat tahun lalu, kamu pernah menyakitinya.
Ingat? perlakuanmu yang membuat Dinda pergi mendendam. Perlakuanmu juga membuat
Dinda hampir mati bunuh diri.”
Aku terhenyak. “Maksudmu
apa?” tukasku kesal. Suaraku menggema di
lorong yang tak seberapa ramai itu.
Kara tertawa
sinis. Mata cokelatnya sekilas menatapku miris. Kara lalu mengalihkan pandang
ke arah Dinda. Matanya menerawang jauh. Lalu aku melihat bening cokelat itu
meneteskan airmata. “Empat tahun lalu, di lorong rumah sakit. Di Bandung.
Harusnya kamu ingat. Waktu itu....”
Dan mengalirlah
kisah yang sama sekali tak kuingat. Otakku memanas. Aku mencoba mencerna cerita
yang Kara sampaikan. Perlahan ingatan itu mulai datang. Semua kilas balik
berputar di kepalaku. Semuanya.
***
Malam belumlah
larut saat aku tiba di rumah sakit itu. Mataku liar mencari-cari di sepanjang lorong
yang sepi. Hingga akhirnya aku menemukan gadis itu –Dinda- adik tingkatku di
kampus, yang juga pacar dari sahabat baikku. Aku melihat ia duduk dengan tubuh
gemetar. Rambut pendeknya basah. Bajunya kotor. Bahkan aku melihat ada beberapa
bagian yang robek dari kaos biru yang ia kenakan.
“Apa yang
terjadi? Kamu apain, Rian?” tuntutku begitu aku tiba di depan gadis itu. kedua
tanganku mencengkeram erat kedua pundak Dinda.
Dinda tergugu. Bibirnya
bergetar. “A... ku... dia... bukan aku yang bikin dia jatuh ke jembatan. Bukan aku.”
Gadis itu menjawab terbata. Matanya menatapku memohon.
“Bukan kamu? Kamu
dorong dia! Iyakan?” Emosiku meluap. Aku bahkan mengguncang tubuh mungil itu
dengan keras.
“Tapi dia...”
“Pergi kamu
dari sini! Kamu itu cuma cewek pembawa petaka! Kalau Rian mati, aku
nggak akan biarin kamu hidup bebas!”
“Bang...”
Aku memalingkan
wajah. Kudorong Dinda sekeras mungkin hingga gadis itu terjatuh. Aku sempat
melihat matanya menatapku memohon. Tapi aku mematikan hati. Kutinggalkan ia
sendiri di lorong dan aku bergegas masuk ke dalam ruangan tempat Rian
terbarin lemah.
***
“Dinda
diperkosa. Oleh sahabatmu! Dan kamu malah mengusirnya. Harusnya kamu dengar
penjelasan dia! Wajar nggak kalau Dinda mendendam?”
Sinis. Tajam. Kalimat
Kara menusukku telak. Dalam hati aku mengutuk Rian yang telah menipuku
mentah-mentah! Andai saja waktu itu aku mau membuka mataku lebar-lebar. Kalau saja
waktu itu aku mendengarkan penjelasan Dinda. Kalau saja....
“Dinda memang
salah. Dia mendendam bertahun-tahun. Mencari celah untuk mendekatimu. Tujuan utamanya
memang untuk membuatmu merasakan sakit yang sama seperti yang ia rasakan dulu.”
Kara kembali berkata. “Tapi, satu kesalahan Dinda. Dia benar-benar jatuh cinta padamu.
Kalau saja kamu ingat, sering Dinda mencoba mengingatkanmu tentang peristiwa
empat tahun lalu.”
Aku terpaku. Otakku
kembali mencoba mengingat. Dan aku terduduk lemas di lorong dengan tubuh
bergetar hebat. Ya Tuhan. Betapa bodohnya aku.
“Aku, minta
maaf...” lirih kata itu kuucapkan.
Kara terisak. “Dinda
sudah lama memaafkanmu. Jauh sebelum kamu meminta maaf. Yang Dinda butuhkan
sekarang, adalah maafmu, Dika.”
Ya Tuhan....
Aku menatap Dinda yang terbaring di dalam ICU, nanar. Aku ingin masuk ke dalam,
sayangnya dokter tak mengijinkan.
Ara..., aku udah maafin kamu. Aku mohon,
bangunlah. Aku harus mendapatkan maafmu juga. Aku mencintaimu.... Lirih
hatiku berucap. Itu adalah sebuah permohonan. Aku bahkan memanggilnya dengan
nama yang ia gunakan saat ia bilang ia mencintaiku. Nama yang ia gunakan untuk membohongiku.
Kukerahkan segenap tenaga yang kupunya, kubisikkan barisan-barisan doa yang
kubisa, dan berharap Tuhan mengabulkannya.
Tapi Tuhan
berkehendak lain. Tepat saat aku selesai berdoa, bunyi panjang dari alat
penyambung nyawa yang ia pakai, menghentak seluruh persendianku. Jantungku
mencelos. Aku mendengar Kara mulai berteriak panik. Beberapa orang berseragam
serba putih masukd an mengelilingi tubuhnya.
Mataku terpaku
menatap dokter yang berusaha membuat jantungnya kembali berdetak. Aku
menghitung setiap menitnya. Dan di menit kelima, aku melihat dokter menggeleng
lemah, bersamaan dengan seorang suster yang menutupi tubuhnya dengan selimut
putih.
Ara.... Ingatanku kemali memutar
kalimat-kalimat yang sering ia ucapkan dulu.
“Surga
dan neraka itu batasannya tipis. Keduanya berdekatan. Menurutmu, untuk orang
yang pernah berbohong, setelah mati nanti, di mana ia akan
diletakkan? Surga atau neraka? Menurutmu, seorang pembohong, berhak mati
dengan tenang atau tidak? Kalau suatu
saat nanti aku berbohong padamu, kamu mau memaafkanku? Apa kamu malah akan
membiarkanku mati dalam kebohongan itu?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar