Senandung RASA Ketika hati dan otak mulai tak mampu lagi menampung rasa dan lisan tertahan untuk menyenandungkannya, maka tulisan mengambil alih untuk menyampaikannya. Menyenandungkan semua tentang Rasa...

Senin, 22 Desember 2014

Mati....


“Berhentilah memikirkannya, dia sudah dipinang orang lain.”

Kata-kata itu terus menggema di kepalaku. Menerjang jaringan otakku. Hingga nyaris mematikan syaraf-syarafku. Aku tahu! Bahkan kertas undangannya masih kupegang erat di tanganku. Sangat erat. Hingga kertas undangan itu remuk.

Demi Tuhan, aku benci setiap kali Ranu—teman baikku—mengulang-ulang kalimat tersebut. Kadang malah terselip tawa mengejek yang membuat kesalku semakin memuncak. Seperti sekarang misalnya. Ranu asyik tertwa dan merebut undangan yang kupegang.

“Lihat ini. Lia dan Doni. Yang akad nikah akan diselenggarakan pada tanggal 26 Desember, 2014.” Ranu menatapku dengan tawa mengejek. “Tiga hari lagi, Rio. Kamu sudah tak memiliki kesempatan lagi. Dia akan menjadi istri orang. Sepupumu sendiri.” Ranu menekankan kata istri dan sepupu, tajam.

Bah! Aku tahu itu. Tapi kesempatanku masih terbuka sebelum ijab qobul itu berlangsung kan? Tiga hari. Aku rasa aku masih bisa mengubah dunia. Aku tahu, bukan kemauan Lia untuk menerima pinangan Doni. Gadis itu menyukaiku. Aku yakin itu. Dan Doni, dia hanyalah sepupu tak tahu diri yang tega merebut kekasih hati sepupu kandungnya sendiri.

“Aku pergi dulu,” kuucapkan kalimat itu sambil beranjak meninggalkan Ranu dan kamarku. Tak kuhiraukan teriakan Ranu yang berusaha menahan langkahku. Ada yang harus kuurus. Dan aku, harus bergegas.


***


“Maaf.”

Hanya kata-kata itu yang keluar dari bibir mungil Lia, saat aku menuntut penjelasan tentang kabar pernikahannya.

Maaf? Bukan maaf yang sekarang kubutuhkan! Aku butuh penjelasan. Dan gadis ini, sama sekali tak memberi apa yang aku inginkan. Selain kata maaf, yang itu tak menjawab apapun.

“Kenapa Doni?” tanyaku kemudian.

“Dia pilihan orang tuaku,” jawabnya lirih.

“Lalu bagaimana dengan aku?” tuntutku lagi. “Tidakkah kamu memikirkan aku, saat kamu menerima pinangan itu?”

“Bukan aku yang menerimanya, Kak. Bukan aku. Tapi kedua orang tuaku.” Untuk pertama kalinya sejak percakapan itu berlangsung, Lia menatap mataku. Hingga aku bisa melihat jelas matanya yang kini mulai memerah. “Orang tuaku lebih menyukai Kak Doni, daripada kamu,” lanjutnya.

Aku terdiam. Kuatur napasku yang mulai memburu lantaran sesak yang kini merajam. “Batalkan pernikahan itu!” pintaku tanpa tedeng aling-aling.

Lia terperanjat. Matanya membulat. Bening yang sejak tadi ditahannya, kini perlahan turun dan membanjiri kedua belah pipinya. Pelan, Lia menggelengkan kepala, lalu berjalan mundur hingga jarak semakin tercipta antara aku dan gadis berkerudung cokelat itu.

“Aku tidak bisa. Maaf.” Dan dengan dua kalimat singkat itu, Lia berlalu dan benar-benar berlari meninggalkanku dalam kemarahan yang membuncah.

Demi Tuhan! Aku tak akan pernah mengizinkan dirimu bahagia dengan lelaki lain, Lia. Aku tak akan pernah membiarkanmu menikah dengan lelaki lain. Tidak ada yang boleh memilikimu selain aku. Dan jika aku tak bisa memilikimu, maka semua yang ada di bawah langit itu, juga tak boleh memilikimu.

Aku tak tahu setan apa yang kini menguasai otakku, yang aku tahu, aku menginginkan sebuah kebinasaan. Kebinasaan atas raga yang tak mungkin kurengkuh.


***


Mati.

Aku benci kata itu. Satu kata itu bergaung di kepalaku. Nyaring. Lantang. Sungguh, aku menyesal telah mengucapkan kata itu. Aku menyesal karena satu kata itu, aku benar-benar kehilangan Lia untuk selamanya.

Tak kusangka, pertemuan dengan Lia siang itu, adalah pertemuan terakhirku dengannya. Berita yang kudengar saat sore harinya, benar-benar bagai rangkaian mimpi buruk yang semakin mencekikku.

Bukan ini yang kuinginkan. Bukan. Aku bahkan tak sanggup untuk datang dan melihat jasad terakhir Lia, sebelum gadis itu dikebumikan di dalam rumah abadinya. Pun hingga seminggu kematiannya, aku tetap tak berani mengunjungi pusaranya. Aku terlalu takut dan aku merasa bersalah.

“Yo, kamu dengar tidak desas desus yang beredar di desa ini sekarang?” tanya Ranu, saat sore itu dia datang bertandang ke rumahku.

Aku menggeleng. Bukan hobiku mendengarkan desas desus yang beredar di masyarakat.

“Kamu mau dengar nggak?” tanyanya lagi, kali ini dengan wajah yang sangat serius.

Aku menggeleng lagi. Tapi Ranu tetap melanjutkan ceritanya, tanpa peduli aku mau mendengar atau tidak.

“Warga bilang, Lia jadi arwah penasaran. Sering terdengar tangisan Lia di kamarnya,” ucap Ranu. “Bahkan, Pak Nardi pernah mendengar tangis Lia, saat dia lewat di depan makam Lia,” lanjutnya.

Aku tertawa sinis. Lia menjadi arwah penasaran? Gadis alim dan rajin beribadah seperti itu, mana mungkin jadi hantu. Sungguh bodoh warga desa ini.

“Adiknya Lia, Eka, pernah dengar tangisan Lia yang menyebut namamu, waktu dia mau merapikan kamar almarhumah Lia.” Ranu kembali bercerita. Dan kali ini, dia berhasil membuatku terperanjat.

“Jangan menyebar gosip murahan!” sentakku kesal. Aku tak suka gadis yang kucintai menjadi gunjingan.

Ranu mengangkat bahu, “Kamu boleh tak percaya. Tapi begitulah kabar yang kudengar,” ucapnya. “Lagian, kenapa kamu tidak juga mengunjungi makam Lia? Mungkin dia....”

Kata-kata Ranu tak lagi kudengar. Aku sudah mengayunkan langkah cepat bahkan sebelum kalimat mengunjungi makam Lia, keluar dari mulutnya. Aku tak tahan mendengar desas desus murahan itu. Dan aku harus mencari tahu sendiri


***


Hantu? Arwah penasaran?

Aku ingin menendang orang berani mati yang menyebarkan desas desus murahan itu. Sudah satu jam lebih aku duduk di depan makam Lia, tapi tak sekalipun kudengar tangis seperti yang Ranu ceritakan. Yang ada hanyalah desau angin yang bertiup cukup kencang, dan bunyi kodok-kodok yang bermain di rawa-rawa yang letaknya tak jauh dari pusara Lia.

“Lia,” lirih nama itu kusebutkan. Tanganku terulur menyentuh gundukan tanah kuning yang masih menyisakan taburan bunga kering di atasnya. Pilu. Harusnya aku mengunjungi makam ini lebih cepat. “Maaf,” hanya kata itu yang sanggup kuucap.

Bening hangat air mataku, perlahan turun. Aku tahu aku bersalah. Aku menginginkan kematian gadis yang kucintai. Aku terlalu egois. Dan aku terlalu penakut untuk datang dan menghaturkan doa untuknya. Aku benar-benar bersalah. Sangat bersalah.

“Maafkan aku,” ucapku lagi. “Maafkan aku yang baru datang sekarang. Aku menyesal.” Tergugu, aku mulai terisak dengan tangan yang menggenggam erat tanah pusara Lia. “Maafkan aku Lia.” Dan aku tak bisa mengucapkan apa-apa lagi. Lidahku kelu. Hanya isakku yang kini terdengar memenuhi area makam yang sunyi dan mulai menggelap.

Syuutt....

Angin kencang tiba-tiba bertiup sendu tepat di depan wajahku. Isakku terhenti. Sebuah bunga kamboja jatuh tepat di pangkuanku. Apa ini? Pikirku bingung. Kupungut bunga itu. lama aku terdiam dan hanya memandanginya, namun sesaat kemudian aku tersadar. Lia telah memafkanku. Aku yakin itu.

Perlahan, isakku benar-benar menghilang. Senyum lebar kini tersungging sebagai gantinya. “Terima kasih,” ucapku lembut sambil meletakan bunga kamboja itu, di dekat papan nisan yang bertuliskan namanya. Kemudian, kuputuskan untuk memanjatkan doa yang kutahu. Aku ingin kekasihku bahagia di taman nirwana. Bersama cahaya Tuhan yang kuyakin menyertainya. Seperti bidadari.


Setelah tinggal beberapa saat di bawah langit lembut sambil memandang ngengat mengepak-ngepakkan sayap di antara rawa-rawa dan bunga harebells berwarna biru, kupasang telingaku untuk mendengarkan angin sepoi yang berembus di antara rerumputan. Sementara benakku berpikir, bagaimana mungkin orang-orang dapat membayangkan bahwa mereka yang terbaring di kedalaman tanah yang tenang ini berkeliaran sebagai roh-roh yang gelisah.

***


(1.081 kata. Kalimat penutup diambil dari novel  berjudul Wuthering Height karya Emily Bronte. #ImajinasiPenutup @KampusFiksi)


Kamis, 18 Desember 2014

Harap Rindu Padamu


Dalam keheningan hati, aku tertegun dalam sebuah lamunan. Menikmati sebuah nama. Menikmati segunung rindu. Rindu. Iya, rindu dalam sepi. Aku takut. Sepi itu makin menyata. Mereguk sukma, timbulkan lara. Aku juga takut, rindu itu tidak lagi dapat kunikmati, tapi malah mulai menyesaki. Membunuh dalam diam.

Bisakah kamu hadir dan memeluk erat ragaku? Bukan sekadar igau dalam keping mimpi. Bukan sekadar lamun dalam keping khayal. Kamu tahu, gerimis tangisku mulai menghasilkan lara. Hening hati dalam sunyi rindu merajam telak. Menusuk kalbu, menyesap lara. Kamu tahu, semua lambat laun mulai menyeretku dalam lautan sunyi tanpa tepi. Kamu tahu, rindu akanmu memaksa langkahku menempuh sebuah perjalanan indah, namun luluh-lantak. Kamu tahu, kaki-kakiku mulai kelu. Lututku mulai tak mampu bertahan. Jemariku mulai kuyu. Bahkan tubuhku pun, mulai menyusut.

Apakah kamu mendengar? Mendengar jerit lara rindu yang hatiku teriakan?

Pernahkah kamu mendengar kisah lara Romeo dan Juliet yang mati sesak karena menahan rindu dan cinta yang terpisah? Atau, pernahkah kamu mendengar kisah Chatrine yang tersandung luka, karena membiarkan Heathcliff menumpuk rindu sekian lama? Kamu tahu, aku nyaris menggila. Dalam balutan rindu yang tak bertepi. Dalam kungkungan cinta yang sepi.

Haruskah aku menjadi Juliet, yang memutuskan mati suri demi kehadiran ragamu? Atau aku harus menjadi Chatrine, yang harus meninggalkan rindu juga cinta, jauh di belakang. Meninggalkan keduanya dan menghapus namamu. Kalau aku begitu, akankah kamu menjadi Heathcliff yang nantinya akan membunuh jiwaku, dan menghancurkan raga nyatamu?

Tuhan, bisakah Engkau pecahkan kerangkeng rasa ini? Bisakan Engkau hadirkan dia, nyata di hadapanku? Aku tak ingin menjadi Juliet. Akupun tak ingin menjadi Chatrine. Aku hanya ingin menjadi Putri Salju, yang tertidur lelap, tanpa merasa sakitnya merindu. Putri Salju yang tanpa harus meneriakan apapun, bisa mendapatkan Pangerannya. Putri Salju, yang tanpa harus terkungkung rindu dalam kesakitan, bisa kedatangan Pangerannya.

Aku ingin. Ingin seperti itu. Mendapatkanmu tanpa harus melalui kesakitan yang membuatku nyaris mati.

Kamu. Iya, kepada kamu. Aku percayakan rindu ini. Aku percayakan hening hati ini. Kepadamu. Berharap kamu mendengar jerit dalam tangisku. Berharap kamu mendengar denting lonceng rindu, yang telah kukirimkan. Dan berharap kamu, meretas semua, dan hadir dalam nyata. Di hadapanku, Tuan.

NIKAH!!!


Jreng!!!

Kali ini gue mau bahas tentang nikah ah. Iya, nikah. NIKAH!!!

Menurut beberapa hadits di agama gue (jangan tanya haditsnya. Gue nggak hapal), nikah itu sumber segala rezeki. Nikah itu membuka segala pintu rezeki yang selama ini tertutup menjadi terbuka lebar. lebar banget. Nikah juga kenikmatan tiada tara. Luar biasa dan spektakuler. Terpenting lagi, nikah itu menyempurnakan ibadah. Nah, jadi kalau yang belum nikah, padahal udah cukup umur, cukup finansial, dan cukup semuamuanya, ibadahnya belum sempurna kalau belum nikah! Nah loh. *abaikan aja yang ini* XD

Gue nulis gini, bukan karena gue pengen nikah sekarang. Bukan kok. Tapi, ini berdasarkan request seorang adek, yang keplak-able manis banget. Dan lagi, di grup yang gue ikutin, ada seorang Kakak yang ampe sekarang belum nikah juga. Alasannya, karena belum bisa move on! Heyaahhhhh.....

Nikah. Menikah.
Well, dua kata itu, the big big disaster bagi Kakak yang itu kayaknya. Nggak cuma Kakak yang itu sih, bagi gue juga--kayaknya. Yah, bukan gimana-gimana sih, setiap ketemu keluarga, mesti banget ditanya "kapan nikah?", "calon mana?", "calonnya jauh nggak?".

Serius, gue pengen banget ngeremukin muka orang yang cetusin pertanyaan-pertanyaan kurang aja itu. Tapi kan nggak mungkin, gue anak muda soalnya. Iya, gue anak muda! Gue masih muda! Kenapa masih nanya-nanya nikah coba ke gue? Belum lagi, ada aja anggota keluarga yang nyodorin calon ini, calon itu, calon anu, berbagai macam calon. Yang itu bikin dilema!

Nggak cuma itu. Kayaknya, status single yang gue sandang tuh bikin riweh orang banyak deh. Gue yang single, kok kalian yang heboh? Gue single bukan berarti ga punya calon tahu! Ada kok! Serius! *tunjuk abang yang anu* hahahaha....

Gue ngomong gini, bukan karena gue nggak mau nikah. Mau kok. Tapi nanti. Iya nanti, Setelah gue dapet pencerahan. Kalau sekarang nggak. Tapi, gue pengen sohib gue nikah secepetnya. Iya. Hihihi *tunjuk si anu*. Nikah gih! Juga buat Kakak yang nganu. hohoho....

Buat yang hobi banget nanya, kapan nikah? kok masih jomblo aja? Nggak laku ya? Gandengannya mana? .... dll, etc, dsb, blablabla.... Ini buat kalian semua.

Gue, kami, para singlewan dan singlewati--gue ogah dibilang jomblo--pasti nanti bakalan nikah. Pasti, Insha Allah. Sabar aja. Tunggu undangan. Toh kalau kami nikah, kalian cuma nunggu makan gratisnya kan? Syukur-syukur kalau sempet doain yang nikah. Kadang malah inget sama jamuannya doang. Ya kan? Ngaku?!

Gue, kami, para singlewan dan singlewati, kami bukan jomblo. Khususnya sih gue. Terserah kalau yang lainnya mau dibilang jomblo. Kami sendiri, memang. Tapi hati kami nggak sendiri. Ada kok yang nyantol di hati. Tapi sekarang, kami, gue terutama, bukan mentingin status pacar. Status pacar kan nggan mengikat. Just status. Right? Status kosong. Tapi, bukan berarti gue nggak mencinta. Ada, tapi biarkan mengalir like a water. Halus.... aja. Cinta nggak perlu diikat dengan kata, "jadi pacar gue ya?".

Gue, kami, sendirian bukan karena nggak laku. Please. Ya, mungkin ada. Tapi gue nggak termasuk. *angkatdagusongong*. SIngle itu pilihan. Dan sekali lagi gue tegasin, gue single. Ayo sini tunjuk jari yang merasa single, bukan jomblo!

Status. Sebuah komitmen. Sebuah hubungan. Apalagi yang terikat dengan sebuah ijab qobul yang suci, nggak segampang itu dijalaninnya. Kelar ijab qobul beres. Nggak. Banyak yang dipikirin. Banyak yan dipertimbangin. Banyak banget. Jadi, nggak asal ceplos, nikah dong! Lo aje sono sama keluarga lo! Hih.

Nikah itu, komitmen yang berat. Kalau cuma mikir dangkal buat ngejar kenikmatan awal semata, rentan cerai! Mau? Gue mah ogah. Nikah itu nggak segampang beli bawang di pasar. Beli bawang aja mahal banget sekarang. Apalagi nikah. Butuh dana, butuh kesiapan, butuh kemantapan. Yang terpenting, butuh kesiapan mental lahir batin. Siap nggak jadi Ibu dan istri yang baik. Siap nggak jadi suami dan ayah yang baik. See, nikah nggak segampang kata kalau dipikirkan dengan panjang. Tapi ketika memang segalanya telah siap, nggak boleh lagi nunda-nunda nikah. Nggak baik. Huhu


Einca, 2014

© Airalaks, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena