“Berhentilah
memikirkannya, dia sudah dipinang orang lain.”
Kata-kata
itu terus menggema di kepalaku. Menerjang jaringan otakku. Hingga nyaris
mematikan syaraf-syarafku. Aku tahu! Bahkan kertas undangannya masih kupegang
erat di tanganku. Sangat erat. Hingga kertas undangan itu remuk.
Demi
Tuhan, aku benci setiap kali Ranu—teman baikku—mengulang-ulang kalimat tersebut.
Kadang malah terselip tawa mengejek yang membuat kesalku semakin memuncak. Seperti
sekarang misalnya. Ranu asyik tertwa dan merebut undangan yang kupegang.
“Lihat
ini. Lia dan Doni. Yang akad nikah akan diselenggarakan pada tanggal 26
Desember, 2014.” Ranu menatapku dengan tawa mengejek. “Tiga hari lagi, Rio. Kamu sudah tak memiliki kesempatan lagi. Dia akan menjadi istri orang. Sepupumu
sendiri.” Ranu menekankan kata istri dan sepupu, tajam.
Bah!
Aku tahu itu. Tapi kesempatanku masih terbuka sebelum ijab qobul itu
berlangsung kan? Tiga hari. Aku rasa aku masih bisa mengubah dunia. Aku tahu,
bukan kemauan Lia untuk menerima pinangan Doni. Gadis itu menyukaiku. Aku yakin
itu. Dan Doni, dia hanyalah sepupu tak tahu diri yang tega merebut kekasih hati
sepupu kandungnya sendiri.
“Aku
pergi dulu,” kuucapkan kalimat itu sambil beranjak meninggalkan Ranu dan
kamarku. Tak kuhiraukan teriakan Ranu yang berusaha menahan langkahku. Ada yang
harus kuurus. Dan aku, harus bergegas.
***
“Maaf.”
Hanya
kata-kata itu yang keluar dari bibir mungil Lia, saat aku menuntut penjelasan
tentang kabar pernikahannya.
Maaf?
Bukan maaf yang sekarang kubutuhkan! Aku butuh penjelasan. Dan gadis ini, sama
sekali tak memberi apa yang aku inginkan. Selain kata maaf, yang itu tak
menjawab apapun.
“Kenapa
Doni?” tanyaku kemudian.
“Dia
pilihan orang tuaku,” jawabnya lirih.
“Lalu
bagaimana dengan aku?” tuntutku lagi. “Tidakkah kamu memikirkan aku, saat kamu
menerima pinangan itu?”
“Bukan
aku yang menerimanya, Kak. Bukan aku. Tapi kedua orang tuaku.” Untuk pertama
kalinya sejak percakapan itu berlangsung, Lia menatap mataku. Hingga aku bisa
melihat jelas matanya yang kini mulai memerah. “Orang tuaku lebih menyukai Kak
Doni, daripada kamu,” lanjutnya.
Aku
terdiam. Kuatur napasku yang mulai memburu lantaran sesak yang kini merajam. “Batalkan
pernikahan itu!” pintaku tanpa tedeng aling-aling.
Lia
terperanjat. Matanya membulat. Bening yang sejak tadi ditahannya, kini perlahan
turun dan membanjiri kedua belah pipinya. Pelan, Lia menggelengkan kepala, lalu
berjalan mundur hingga jarak semakin tercipta antara aku dan gadis berkerudung
cokelat itu.
“Aku
tidak bisa. Maaf.” Dan dengan dua kalimat singkat itu, Lia berlalu dan
benar-benar berlari meninggalkanku dalam kemarahan yang membuncah.
Demi
Tuhan! Aku tak akan pernah mengizinkan dirimu bahagia dengan lelaki lain, Lia. Aku
tak akan pernah membiarkanmu menikah dengan lelaki lain. Tidak ada yang boleh
memilikimu selain aku. Dan jika aku tak bisa memilikimu, maka semua yang ada di
bawah langit itu, juga tak boleh memilikimu.
Aku
tak tahu setan apa yang kini menguasai otakku, yang aku tahu, aku menginginkan
sebuah kebinasaan. Kebinasaan atas raga yang tak mungkin kurengkuh.
***
Mati.
Aku
benci kata itu. Satu kata itu bergaung di kepalaku. Nyaring. Lantang. Sungguh,
aku menyesal telah mengucapkan kata itu. Aku menyesal karena satu kata itu, aku
benar-benar kehilangan Lia untuk selamanya.
Tak
kusangka, pertemuan dengan Lia siang itu, adalah pertemuan terakhirku dengannya.
Berita yang kudengar saat sore harinya, benar-benar bagai rangkaian mimpi buruk
yang semakin mencekikku.
Bukan
ini yang kuinginkan. Bukan. Aku bahkan tak sanggup untuk datang dan melihat
jasad terakhir Lia, sebelum gadis itu dikebumikan di dalam rumah abadinya. Pun hingga
seminggu kematiannya, aku tetap tak berani mengunjungi pusaranya. Aku terlalu
takut dan aku merasa bersalah.
“Yo,
kamu dengar tidak desas desus yang beredar di desa ini sekarang?” tanya Ranu,
saat sore itu dia datang bertandang ke rumahku.
Aku
menggeleng. Bukan hobiku mendengarkan desas desus yang beredar di masyarakat.
“Kamu
mau dengar nggak?” tanyanya lagi, kali ini dengan wajah yang sangat serius.
Aku
menggeleng lagi. Tapi Ranu tetap melanjutkan ceritanya, tanpa peduli aku mau
mendengar atau tidak.
“Warga
bilang, Lia jadi arwah penasaran. Sering terdengar tangisan Lia di kamarnya,”
ucap Ranu. “Bahkan, Pak Nardi pernah mendengar tangis Lia, saat dia lewat di
depan makam Lia,” lanjutnya.
Aku
tertawa sinis. Lia menjadi arwah penasaran? Gadis alim dan rajin beribadah
seperti itu, mana mungkin jadi hantu. Sungguh bodoh warga desa ini.
“Adiknya
Lia, Eka, pernah dengar tangisan Lia yang menyebut namamu, waktu dia mau
merapikan kamar almarhumah Lia.” Ranu kembali bercerita. Dan kali ini, dia
berhasil membuatku terperanjat.
“Jangan
menyebar gosip murahan!” sentakku kesal. Aku tak suka gadis yang kucintai
menjadi gunjingan.
Ranu
mengangkat bahu, “Kamu boleh tak percaya. Tapi begitulah kabar yang kudengar,”
ucapnya. “Lagian, kenapa kamu tidak juga mengunjungi makam Lia? Mungkin dia....”
Kata-kata
Ranu tak lagi kudengar. Aku sudah mengayunkan langkah cepat bahkan sebelum
kalimat mengunjungi makam Lia, keluar dari mulutnya. Aku tak tahan mendengar
desas desus murahan itu. Dan aku harus mencari tahu sendiri
***
Hantu?
Arwah penasaran?
Aku
ingin menendang orang berani mati yang menyebarkan desas desus murahan itu.
Sudah satu jam lebih aku duduk di depan makam Lia, tapi tak sekalipun kudengar
tangis seperti yang Ranu ceritakan. Yang ada hanyalah desau angin yang bertiup
cukup kencang, dan bunyi kodok-kodok yang bermain di rawa-rawa yang letaknya
tak jauh dari pusara Lia.
“Lia,”
lirih nama itu kusebutkan. Tanganku terulur menyentuh gundukan tanah kuning
yang masih menyisakan taburan bunga kering di atasnya. Pilu. Harusnya aku
mengunjungi makam ini lebih cepat. “Maaf,” hanya kata itu yang sanggup kuucap.
Bening
hangat air mataku, perlahan turun. Aku tahu aku bersalah. Aku menginginkan kematian
gadis yang kucintai. Aku terlalu egois. Dan aku terlalu penakut untuk datang
dan menghaturkan doa untuknya. Aku benar-benar bersalah. Sangat bersalah.
“Maafkan
aku,” ucapku lagi. “Maafkan aku yang baru datang sekarang. Aku menyesal.” Tergugu,
aku mulai terisak dengan tangan yang menggenggam erat tanah pusara Lia. “Maafkan
aku Lia.” Dan aku tak bisa mengucapkan apa-apa lagi. Lidahku kelu. Hanya isakku
yang kini terdengar memenuhi area makam yang sunyi dan mulai menggelap.
Syuutt....
Angin
kencang tiba-tiba bertiup sendu tepat di depan wajahku. Isakku terhenti. Sebuah
bunga kamboja jatuh tepat di pangkuanku. Apa ini? Pikirku bingung. Kupungut
bunga itu. lama aku terdiam dan hanya memandanginya, namun sesaat kemudian aku
tersadar. Lia telah memafkanku. Aku yakin itu.
Perlahan,
isakku benar-benar menghilang. Senyum lebar kini tersungging sebagai gantinya. “Terima
kasih,” ucapku lembut sambil meletakan bunga kamboja itu, di dekat papan nisan
yang bertuliskan namanya. Kemudian, kuputuskan untuk memanjatkan doa yang
kutahu. Aku ingin kekasihku bahagia di taman nirwana. Bersama cahaya Tuhan yang
kuyakin menyertainya. Seperti bidadari.
Setelah
tinggal beberapa saat di bawah langit lembut sambil memandang ngengat
mengepak-ngepakkan sayap di antara rawa-rawa dan bunga harebells berwarna biru, kupasang telingaku untuk mendengarkan
angin sepoi yang berembus di antara rerumputan. Sementara benakku berpikir,
bagaimana mungkin orang-orang dapat membayangkan bahwa mereka yang terbaring di
kedalaman tanah yang tenang ini berkeliaran sebagai roh-roh yang gelisah.
***
(1.081 kata. Kalimat penutup diambil dari novel berjudul Wuthering Height karya Emily Bronte. #ImajinasiPenutup @KampusFiksi)