“Mencintai itu seperti angin. Menyayangi
itu seperti udara. Kau tahu, angin hanya bisa muncul di waktu dan tempat yang
pas. Sementara udara ada di setiap saat.”
Byur!
Debur
ombak yang menghantam bagian bawah kapal, menyadarkan lamunku akan dirinya.
Ana. Gadis cantik keturunan melayu, yang sudah kupinang untuk menjadi
pendamping hidupku.
Mencintai seperti angin. Menyayangi
seperti udara.
Butuh
dua hari untukku bisa mengerti kata-kata itu. Butuh dua hari untukku bisa
menerima apa yang kau lakukan untukku. Dan butuh dua hari juga untukku bisa
melepaskanmu bersama angin. Ana, sudah senangkah dirimu bersama angin sekarang?
***
“Abang,
mengapa pernikahan kita diselenggarakan di atas kapal pesiar? Mengapa tidak di
rumahmu saja? Atau di gedung?”
Pertanyaan
itu kau ajukan di saat sore pertama kita berada di kapal besar ini. Kala itu
kita tengah menikmati langit jingga di ujung geladak kapal. Kita berdiri dengan
dua tangan yang memegang erat besi pembatas. Menikmati sihir angin laut yang
menenangkan. Aku ingat, kau mengenakan gaun berwarna jingga, selaras dengan
cakrawala senja. Rambut panjangmu terurai indah, menari-nari bersama angin
senja.
“Ingatkah
dulu waktu pertama kali kita bertemu, Ana?” Aku tak langsung menjawab
pertanyaannya. Yang aku lakukan malah mengajak Ana untuk kembali bernostalgia
pada pertemuan pertama kami, tiga bulan lalu.
Ana
mengangguk. Senyuman lebar mengembang di sudut-sudut bibirnya. “Tentu saja.
Waktu itu kau menolongku ketika aku hampir jatuh di....” Kata-kata Ana
terhenti. Matanya seketika membulat. Dan di detik berikutnya, gadis cantikku itu
tertawa geli. “Aku mengerti sekarang. Kau ingin mengenang saat pertemuan
pertama kita yang terjadi di atas kapal pesiar, bukan?” tanyanya.
Kali
ini aku yang mengangguk. “Kau pintar!” seruku sambil mengacak-acak poninya. Sayang.
Kau benar gadisku, aku ingin mengulang kejadian itu. Aku ingin meminangmu di
atas kapal pesiar, di tempat yang sama saat dulu kita pertama kali bertemu
hingga akhirnya menjadi dekat.
Ana
tersenyum, lalu matanya kembali menatap ujung horizon bumi, tempat matahari
mulai tenggelam. “Kau terlalu baik padaku, Bang,” gumamnya.
Aku
tersenyum. “Karena aku mencintaimu. Dan karena kau adalah calon bidadari
surgaku.” Lembut, kubisikkan kalimat-kalimat itu sambil melingkarkan dua
tanganku di tubuhnya.
***
Byur!
Bunyi
hantaman ombak itu membangunkanku dari tidur yang memang tak terlalu lelap. Aku
membuka mata. Mengedarkannya ke sepenjuru kabin. Indah. Kamarku benar-benar
sudah serupa dengan kamar pengantin yang selama ini kuidam-idamkan. Bunga-bunga
cantik di sudut-sudut kamar dan seprei merah muda berbahan satin bermanik yang
menutupi ranjang. Tak terlalu mewah memang, tapi cukup. Aku menyukainya. Nuansa
lembut dan sederhana ini.
Aku
menghela napas dalam. Harusnya aku bahagia kan? Pernikahan romantis di atas
kapal pesiar, dengan dihadiri oleh kerabat dan sahabat dekat. Siapa yang tak
menginginkannya. Belum lagi, aku mendapatkan calon suami seperti Bang Ammar. Lelaki
yang teramat sangat baik. Lelaki yang masih mau menerimaku, walaupun tahu aku
tak memiliki siapa-siapa lagi di muka bumi ini.
“Hhh....”
Lagi-lagi aku menghela napas. Mataku tertumbuk pada gaun pengantin berwarna
putih yang tergantung tepat di depan ranjang. Cantik. Sesuai dengan keinginanku.
Tapi hatiku malah merasa sakit melihatnya. Bodoh. Memang. Kuakui itu.
“Ammar,
apakah kau tahu siapa gadis itu? Siapa Ana?”
Keningku
mengerut. Itu suara calon ibu mertuaku. Suaranya terdengar nyaring dan marah. Belum
pernah kudengar calon ibu mertuaku bersuara sekencang itu. Beliau adalah wanita
paling lembut yang kukenal, setelah almarhumah ibuku.
“Ammar,
dia adalah gadis yang keluarganya telah Ayahmu hancurkan dulu!”
Aku
terhenyak. Dari mana ibu mengetahuinya? Rahasia itu kusimpan rapat. Aku bahkan
pergi dari kampung halamanku dan mengganti namaku. Buru-buru aku turun dari
ranjang, dan langsung berjingkat menuju pintu kabin. Kutempelkan kupingku, dan
kucoba mendengar suara ibu dan Bang Ammar yang beradu dengan debur ombak.
“Ammar
tahu, Bu. Dia Nadia. Anak tunggal keluarga Burhan yang telah Ayah hancurkan
sepuluh tahun lalu.”
Tuhan....
Jantungku nyaris copot mendengarnya. Abang
tahu? Tapi kenapa dia....
“Ammar
mencintainya, Ibu. Ammar ingin menebus semua yang telah almarhum Ayah lakukan
dulu.”
“Apa?”
teriakkan ibu membuat nyawaku serasa lepas. “Tidakkah kau pikir nanti dia akan
menuntut balas pada keluarga kita? Padamu? Bagaimana kalau gadis itu nanti
membunuhmu, Ammar?” Ibu melanjutkan kata-katanya dengan suara bergetar
ketakutan.
Aku
memejamkan mata. Ibu tidak salah. Aku memang berniat menuntut balas. Aku ingin
menghancurkan keluarga Bang Ammar. Tapi itu dulu. Sebelum akhirnya aku mulai
menyayangi dia. Menyayangi ibu.
“Tidak
Ibu. Ana baik. Belum tentu juga kan, Ana tahu tentang keluarga kita. Sekarang
tolong, janganlah Ibu berteriak seperti ini. Ibu bukan hanya akan membangunkan
Ana, Ibu juga bisa membangunkan kerabat yang lain.”
Tuhan....
Mataku seketika menghangat. Bulir bening mengalir tanpa aku bisa menahannya.
Bukan kata-kata itu yang membuatku menangis, tapi nada penuh percaya yang
terdapat di dalam suara itu. Itu yang membuatku menangis.
***
Angin.... Dengarkah kau
panggilanku? Aku membutuhkan hadirmu.
Senja
itu, hatiku berbisik sendu. Aku berdiri di ujung geladak, tempat kemarin sore
aku dan Bang Ammar berdiri menikmati senja. Kukenakan gaun pengantin pemberian abang dan
ibu. Sebentar lagi, pernikahanku akan segera digelar. Harusnya aku menunggu
dengan manis di dalam kabin, hingga ibu datang dan membawaku ke geladak ini. Tapi aku memang keras kepala. Aku malah turun sendiri, dan mengusir orang-orang
yang tengah merapikan dekorasi.
Angin.... Aku ingin memelukmu....
“Ana,
sedang apa kau di sini?”
Suara
Bang Ammar membuat mataku membuka. Aku membalikkan badan. Di belakangku, abang
sudah berdiri dengan mengenakan stelan jas berwarna putih. Tampan.
Aku
tersenyum, “Abang, maafkan aku.” Kuucapkan kata-kata. Tulus.
“Maaf?
Untuk apa, Sayang? Kau tak melakukan kesalahan apapun.”
Aku
menahan perih melihat senyum lembutnya. Tuhan....
“Aku menipumu. Aku membohongimu. Namaku Nadia.” Aku tersenyum sendu melihat
gurat terkejut di wajahmu. Hatiku sakit. Aku tahu abang kecewa.
“Mencintai
itu seperti angin, Menyayangi itu seperti udara. Kau tahu, angin hanya bisa
muncul di waktu dan tempat yang pas. Sementara udara ada di setiap saat.”
Aku ingin menjadi angin sekaligus udara
untukmu. Mencintaimu di waktu dan tempat yang pas, menyayangimu di setiap saat.
Tapi aku tak bisa. Aku hanya membawa udara tak baik untukmu, dan aku membawa
angin badai di keluargamu. Jadi, maafkan aku jika aku memilih untuk memeluk
angin.
Aku
memberikan senyuman paling manis untuknya. Kusentuh pipi kanannya dengan ujung
jemariku. Bisa kulihat tatap bingung di wajahnya. “Abang meminta penjelasan,
bukan?” tanyaku lembut. Abang mengangguk. Tapi yang kulakukan malah berbalik,
melompat, dan memeluk angin.
“ANA!!!”
Aku mencintaimu....
Diikut sertakan dalam tantangan menulis @KampusFiksi
999 kata.
Einca,
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar