Senandung RASA Ketika hati dan otak mulai tak mampu lagi menampung rasa dan lisan tertahan untuk menyenandungkannya, maka tulisan mengambil alih untuk menyampaikannya. Menyenandungkan semua tentang Rasa...

Minggu, 11 Januari 2015

Memeluk Angin



“Mencintai itu seperti angin. Menyayangi itu seperti udara. Kau tahu, angin hanya bisa muncul di waktu dan tempat yang pas. Sementara udara ada di setiap saat.”

Byur!

Debur ombak yang menghantam bagian bawah kapal, menyadarkan lamunku akan dirinya. Ana. Gadis cantik keturunan melayu, yang sudah kupinang untuk menjadi pendamping hidupku.

Mencintai seperti angin. Menyayangi seperti udara.

Butuh dua hari untukku bisa mengerti kata-kata itu. Butuh dua hari untukku bisa menerima apa yang kau lakukan untukku. Dan butuh dua hari juga untukku bisa melepaskanmu bersama angin. Ana, sudah senangkah dirimu bersama angin sekarang?


***


“Abang, mengapa pernikahan kita diselenggarakan di atas kapal pesiar? Mengapa tidak di rumahmu saja? Atau di gedung?”

Pertanyaan itu kau ajukan di saat sore pertama kita berada di kapal besar ini. Kala itu kita tengah menikmati langit jingga di ujung geladak kapal. Kita berdiri dengan dua tangan yang memegang erat besi pembatas. Menikmati sihir angin laut yang menenangkan. Aku ingat, kau mengenakan gaun berwarna jingga, selaras dengan cakrawala senja. Rambut panjangmu terurai indah, menari-nari bersama angin senja.

“Ingatkah dulu waktu pertama kali kita bertemu, Ana?” Aku tak langsung menjawab pertanyaannya. Yang aku lakukan malah mengajak Ana untuk kembali bernostalgia pada pertemuan pertama kami, tiga bulan lalu.

Ana mengangguk. Senyuman lebar mengembang di sudut-sudut bibirnya. “Tentu saja. Waktu itu kau menolongku ketika aku hampir jatuh di....” Kata-kata Ana terhenti. Matanya seketika membulat. Dan di detik berikutnya, gadis cantikku itu tertawa geli. “Aku mengerti sekarang. Kau ingin mengenang saat pertemuan pertama kita yang terjadi di atas kapal pesiar, bukan?” tanyanya.

Kali ini aku yang mengangguk. “Kau pintar!” seruku sambil mengacak-acak poninya. Sayang. Kau benar gadisku, aku ingin mengulang kejadian itu. Aku ingin meminangmu di atas kapal pesiar, di tempat yang sama saat dulu kita pertama kali bertemu hingga akhirnya menjadi dekat.

Ana tersenyum, lalu matanya kembali menatap ujung horizon bumi, tempat matahari mulai tenggelam. “Kau terlalu baik padaku, Bang,” gumamnya.

Aku tersenyum. “Karena aku mencintaimu. Dan karena kau adalah calon bidadari surgaku.” Lembut, kubisikkan kalimat-kalimat itu sambil melingkarkan dua tanganku di tubuhnya.


***


Byur!

Bunyi hantaman ombak itu membangunkanku dari tidur yang memang tak terlalu lelap. Aku membuka mata. Mengedarkannya ke sepenjuru kabin. Indah. Kamarku benar-benar sudah serupa dengan kamar pengantin yang selama ini kuidam-idamkan. Bunga-bunga cantik di sudut-sudut kamar dan seprei merah muda berbahan satin bermanik yang menutupi ranjang. Tak terlalu mewah memang, tapi cukup. Aku menyukainya. Nuansa lembut dan sederhana ini.

Aku menghela napas dalam. Harusnya aku bahagia kan? Pernikahan romantis di atas kapal pesiar, dengan dihadiri oleh kerabat dan sahabat dekat. Siapa yang tak menginginkannya. Belum lagi, aku mendapatkan calon suami seperti Bang Ammar. Lelaki yang teramat sangat baik. Lelaki yang masih mau menerimaku, walaupun tahu aku tak memiliki siapa-siapa lagi di muka bumi ini.

“Hhh....” Lagi-lagi aku menghela napas. Mataku tertumbuk pada gaun pengantin berwarna putih yang tergantung tepat di depan ranjang. Cantik. Sesuai dengan keinginanku. Tapi hatiku malah merasa sakit melihatnya. Bodoh. Memang. Kuakui itu.

“Ammar, apakah kau tahu siapa gadis itu? Siapa Ana?”

Keningku mengerut. Itu suara calon ibu mertuaku. Suaranya terdengar nyaring dan marah. Belum pernah kudengar calon ibu mertuaku bersuara sekencang itu. Beliau adalah wanita paling lembut yang kukenal, setelah almarhumah ibuku.

“Ammar, dia adalah gadis yang keluarganya telah Ayahmu hancurkan dulu!”

Aku terhenyak. Dari mana ibu mengetahuinya? Rahasia itu kusimpan rapat. Aku bahkan pergi dari kampung halamanku dan mengganti namaku. Buru-buru aku turun dari ranjang, dan langsung berjingkat menuju pintu kabin. Kutempelkan kupingku, dan kucoba mendengar suara ibu dan Bang Ammar yang beradu dengan debur ombak.

“Ammar tahu, Bu. Dia Nadia. Anak tunggal keluarga Burhan yang telah Ayah hancurkan sepuluh tahun lalu.”

Tuhan.... Jantungku nyaris copot mendengarnya. Abang tahu? Tapi kenapa dia....

“Ammar mencintainya, Ibu. Ammar ingin menebus semua yang telah almarhum Ayah lakukan dulu.”

“Apa?” teriakkan ibu membuat nyawaku serasa lepas. “Tidakkah kau pikir nanti dia akan menuntut balas pada keluarga kita? Padamu? Bagaimana kalau gadis itu nanti membunuhmu, Ammar?” Ibu melanjutkan kata-katanya dengan suara bergetar ketakutan.

Aku memejamkan mata. Ibu tidak salah. Aku memang berniat menuntut balas. Aku ingin menghancurkan keluarga Bang Ammar. Tapi itu dulu. Sebelum akhirnya aku mulai menyayangi dia. Menyayangi ibu.

“Tidak Ibu. Ana baik. Belum tentu juga kan, Ana tahu tentang keluarga kita. Sekarang tolong, janganlah Ibu berteriak seperti ini. Ibu bukan hanya akan membangunkan Ana, Ibu juga bisa membangunkan kerabat yang lain.”

Tuhan.... Mataku seketika menghangat. Bulir bening mengalir tanpa aku bisa menahannya. Bukan kata-kata itu yang membuatku menangis, tapi nada penuh percaya yang terdapat di dalam suara itu. Itu yang membuatku menangis.


***


Angin.... Dengarkah kau panggilanku? Aku membutuhkan hadirmu.

Senja itu, hatiku berbisik sendu. Aku berdiri di ujung geladak, tempat kemarin sore aku dan Bang Ammar berdiri menikmati senja.  Kukenakan gaun pengantin pemberian abang dan ibu. Sebentar lagi, pernikahanku akan segera digelar. Harusnya aku menunggu dengan manis di dalam kabin, hingga ibu datang dan membawaku ke geladak ini. Tapi aku memang keras kepala. Aku malah turun sendiri, dan mengusir orang-orang yang tengah merapikan dekorasi.

Angin....  Aku ingin memelukmu....

“Ana, sedang apa kau di sini?”

Suara Bang Ammar membuat mataku membuka. Aku membalikkan badan. Di belakangku, abang sudah berdiri dengan mengenakan stelan jas berwarna putih. Tampan.

Aku tersenyum, “Abang, maafkan aku.” Kuucapkan kata-kata. Tulus.

“Maaf? Untuk apa, Sayang? Kau tak melakukan kesalahan apapun.”

Aku menahan perih melihat senyum lembutnya. Tuhan.... “Aku menipumu. Aku membohongimu. Namaku Nadia.” Aku tersenyum sendu melihat gurat terkejut di wajahmu. Hatiku sakit. Aku tahu abang kecewa.

“Mencintai itu seperti angin, Menyayangi itu seperti udara. Kau tahu, angin hanya bisa muncul di waktu dan tempat yang pas. Sementara udara ada di setiap saat.” Aku ingin menjadi angin sekaligus udara untukmu. Mencintaimu di waktu dan tempat yang pas, menyayangimu di setiap saat. Tapi aku tak bisa. Aku hanya membawa udara tak baik untukmu, dan aku membawa angin badai di keluargamu. Jadi, maafkan aku jika aku memilih untuk memeluk angin.

Aku memberikan senyuman paling manis untuknya. Kusentuh pipi kanannya dengan ujung jemariku. Bisa kulihat tatap bingung di wajahnya. “Abang meminta penjelasan, bukan?” tanyaku lembut. Abang mengangguk. Tapi yang kulakukan malah berbalik, melompat, dan memeluk angin.

“ANA!!!”

Aku mencintaimu....





Diikut sertakan dalam tantangan menulis @KampusFiksi
999 kata.

Einca, 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Airalaks, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena