Senandung RASA Ketika hati dan otak mulai tak mampu lagi menampung rasa dan lisan tertahan untuk menyenandungkannya, maka tulisan mengambil alih untuk menyampaikannya. Menyenandungkan semua tentang Rasa...

Rabu, 24 Juni 2015

Risa....


.... Biar danau ini jadi saksi cak mano kau tenggelamkan cinto ini dan hidup ini. Di sini aku mati. Di sini jugo kelak kau nyusul aku....
***
Aku tidak pernah suka pulang ke rumah onun[1]! Tapi kali ini, aku tidak bisa menolak ketika ibu memaksaku untuk pulang ke Bengkulu dan menginap di rumah onun. Onun sedang sakit. Dan ibu mengancam akan memotong uang jajanku selama dua bulan jika aku menolak.
Jangan kalian pikir aku membenci onun. Tidak. Aku sangat menyayanginya. Tapi aku tidak suka tinggal dan berdiam di rumahnya. Jika pulang ke Bengkulu, aku lebih memilih tinggal di rumah sepupuku. Rumah onun terlalu menyeramkan. Dan aku tidak pernah bisa tidur setiap kali berada di dalam rumah itu. Tidak sama sekali.
Seperti barusan. Lagi-lagi aku kembali bermimpi aneh. Mimpi yang sama setiap kali aku tak sengaja tertidur di rumah onun. Padahal aku baru beberapa jam menginjak rumah tua ini, tapi gadis aneh yang selalu muncul sambil menangis di dalam mimpiku itu, sudah datang menyapa. Aku tak pernah melihat wajah gadis itu. Dia selalu menangis dan duduk di tepi ranjang besi, dengan sebuah buku di pangkuannya. Dia selalu membelakangiku, hingga aku hanya mampu melihat punggungnya. Tapi kuyakini gadis itu gadis yang cantik. Dengan rambut panjang lurus yang dikepang dua dan kebaya kuno yang membungkus tubuh eloknya.
Brak! Tubuhku langsung berdiri tegak saat kudengar suara gaduh di luar kamar onun. Awalnya aku lebih memilih untuk memeluk onun dan kembali tidur. Tapi suara gaduh itu kembali terdengar, hingga kuputuskan untuk melihat apa yang terjadi di luar sana. Bagaimana jika ada rampok yang memasuki rumah? Dan dengan berbekal kayu panjang, bekas tongkat almarhum datuk dulu, aku keluar dari kamar onun.
Mataku awas mengitari seisi ruang tengah. Jika kondisi normal dan rumah ini tidak memberi mimpi buruk bagiku, aku pasti akan senang tinggal di rumah onun. Rumah kuno terbuat dari kayu jati, berbentuk rumah panggung seperti rumah Rakyat Bengkulu jaman dulu. Benda-benda yang mengisi rumah ini pun, rata-rata benda lama. Seperti ranjang besi yang ada di kamar onun—dan sebuah kamar lain yang tak sengaja pernah kulihat. Lemari kayu yang sudah ada bahkan sejak onun belum lahir. Kursi-kursi kayu dengan ukiran simbol-simbol flora, seperti bunga dan daun. Ukiran yang sama seperti yang ada di beranda rumah onun dan di atas atap rumah onun. Dan yang lebih menyenangkan lagi, rumah onun berada di atas tebing yang di belakangnya terpapar langsung pemandangan Danau Dendam Tak Sudah.
Semua yang ada di rumah onun, berumur lebih dari seratus tahun. Kudengar hal itu dari ibu. Menurut cerita ibu, rumah ini memang dijaga dan diwariskan turun temurun kepada anak sulung wanita, atau anak wanita satu-satunya. Dan kebetulan onunku merupakan anak wanita poyang satu-satunya. Sementara anak perempuan onun satu-satunya adalah ibuku. Tapi untungnya onun tidak sekolot Poyang. Ibu boleh tinggal di luar kota, bersama ayah yang memang berasal dari Tanah Jawa.
Brak! Lagi, tubuhku menegang mendengar suara itu. Cuma satu suara. Tidak terlalu gaduh. Dan kali ini aku bisa jelas mendengar dari mana asalnya. Kamar yang tadi kubilang pernah tak sengaja kulihat isinya. Kamar yang selama ini tak pernah dibuka, kecuali pada tanggal 24 Juli.
Aku menghampiri pintu kamar itu. Onun pernah memberitahunya padaku dulu. Dan hanya aku yang tahu. Onun melarangku untuk menceritakan perihal kunci dari kamar terlarang itu kepada siapa pun. Termasuk ibu.
Hup! Aku melompat untuk meraih kunci yang onun letakkan di sudut ventilasi kamar itu. Sudut yang tertutup tirai. Cepat kumasukkan kunci itu ke lubangnya, dan kubuka pintu itu perlahan. Sejenak aku terdiam saat kudapati kamar itu terang benderang, rapi dan tak berdebu. Sebuah ranjang besi—bertirai putih kelabu—terdapat di sudut kamar, dengan lemari kayu yang ada di ujungnya. Di atas meja yang ada di samping ranjang, terdapat kaca kecil, sisir tua, dan sebuah lukisan yang tergantung di atasnya. Lukisan gadis muda yang cantik. Dengan rambut panjang dikepang dua dan mengenakan kebaya kuno.
Keningku mengerut. Rasanya lukisan itu tidak asing. Dan rasanya, senyum yang diperlihatkan gadis itu, juga tak asing. Perlahan kulangkahkan kakiku memasuki kamar. Kamar itu wangi. Seperti harum bunga kenanga. Tapi tiba-tiba saja, seperti ada yang menarikku. Menarik sangat kencang hingga aku terjatuh.
***
Hari baru beranjak senja saat tahu-tahu saja aku sudah berada di tepi Danau Dendam Tak Sudah. Danau yang letaknya tak jauh dari rumah onun. Telingaku menangkap bunyi serunai dan gendang yang saling bersahutan. Sama seperti dendang khas melayu yang kudengar ketika ada acara pernikahan di Bengkulu. Dan rupanya dendang itu berasal dari sebuah rumah yang ada di seberang danau.
“Ada yang menikah? Seingatku tadi nggak ada apa-apa deh,” gumamku bingung. Aku juga bingung mendapati hari masih senja. Padahal aku ingat betul tadi sudah malam. Dan aku juga bingung kenapa aku sudah berada di tepi danau. Aneh.
Mataku beredar mengamati sekitar danau. Rasanya danau ini sedikit lebih indah daripada yang biasa kulihat. Sekitarnya masih dipenuhi bunga anggrek pensil yang seingatku sudah cukup langka sekarang. Tapi tak hanya anggrek itu yang menarik perhatianku. Melainkan seorang gadis yang berdiri di tepi tebing yang tak jauh dariku. Tebing yang berada tepat di belakang rumah onun. Tebing tempat aku biasa melihat danau ini ketika senja.
“Hei, kamu sedang apa di sana? Nanti jatuh!” Aku memekik nyaring. Kulangkahkan kakiku menuju tempat gadis itu berdiri. Aku penasaran. Dan sesampainya di sana, gadis itu sudah berbalik dan menatapku tajam.
Matanya sungguh mengerikan. Dan jika bisa berlari, rasanya aku ingin berlari saja. Tapi entah apa yang menahanku. Aku hanya bisa terpaku. Terpaku menatap manik hitam gadis itu. Dan wajahnya. Oh Tuhan....
“Ngapo baru datang kini?” tanyanya kesal. Seperti aku sudah melakukaan sebuah kesalahan besar, dan membuat dia menunggu sangat lama.
“Aku—aku minta maaf. Tapi kamu siapa? Dan apa yang kamu lakukan di halaman rumah Onunku?” Aku tak tahan untuk bertanya.
Kau tengok pesta yang ado di seberang sano?” tanyanya lagi, tanpa menjawab pertanyaanku.  Jari telunjuknya teracung lurus ke arah rumah di seberang danau.
Aku mengangguk, “Pestanya meriah sekali,” kataku. “Tapi aku bingung sejak kapan pesta itu dilangsungkan. Dan kamu, kenapa nggak ke....”
Dio kekasihku. Dulu di sini dio meminangku. Tapi tigo hari lalu, dio malah menikah dengan gadis dari dusun sebelah. Dio dak dak pernah nengok aku lagi. Padahal aku selalu nunggu dio di sini.” Gadis itu menyela kalimatku dengan aksen Bengkulunya yang kental. Wajahnya terlihat sangat terluka. Seperti ada yang mati di hadapannya.
Aku tertegun. Oh, kasihan betul gadis ini. Tapi dia kan masih muda. Kupikir umurnya sama denganku. “Mungkin dia bukan jodohmu. Kamu cantik. Nanti pasti ada yang bisa menerimamu,” kataku memberi semangat.
Dia mendesis. Mata bulatnya memicing tajam ke arahku. “Kau dak tahu apo-apo! Dio cuma boleh kek aku. Bukan kek tino lain. Dio cuma boleh nikah kek aku. Kareno dio la janji kek aku! Dan dio la ngambik setengah hidup aku![2]semburnya diiringi isak menyayat.
Aku lagi-lagi hanya bisa tertegun. Gila! Itu satu-satunya kata yang terlintas di dalam kepalaku. “Ba—baiklah. Tapi, sekarang dia sudah meminang orang lain. Kamu nggak bisa menghentikannya.” Aku masih mencoba membujuk. Entahlah, biasanya aku akan langsung meninggalkan orang-orang yang berpikiran sempit seperti gadis ini. Tapi kali ini, aku seperti sangat peduli padanya. Aku benar-benar iba melihat tangisnya. Sungguh, rasanya seperti diriku ikut terluka karena tangisnya itu.
Gadis itu tak menyahut. Dia diam dan hanya menatapku. Lebih dari semenit dia menghujamku dengan tatapan yang sangat dingin. Namun sesaat kemudian, wajahnya berubah sendu. Tak ada lagi tatap dingin yang menyeramkan. Yang terpancar darinya hanyalah kesedihan dan kesakitan.
“Ini,” Dia menyodorkan sebuah buku padaku. Gegas aku meraihnya walau masih diliputi bingung. “Sampaikan ini kek Kani. Dan kau jugo harus baco buku ini. Kelak kalian akan ngerti ngapo aku milih lakukan ini.”
Aku terdiam. Barusan dia menyebut nama onun, tanpa embel-embel di depannya. Langsung nama. Dan itu membuatku sungguh terkejut. Onun di hormati di lingkungan ini, dan dia, dia berani memanggil onun hanya dengan nama.
Gadis itu tersenyum kecil, seolah tahu apa yang ada di dalam pikiranku. “Namoku Risa. Aku senang kau datang ke sini. Kuharap kelak kau akan bernasib lebih baik dariku, Risa.” Dan usai mengucapkan kata-kata itu, tanpa sempat kucegah, gadis itu berlari ke tepi tebing dan melompat. Meninggalkanku yang hanya bisa menjerit sekencang-kencangnya.
***
24 Juli, 1895....
.... Rasonyo aku dak kuat lagi. Harus kusembunyikan ke mano janin yang kini kukandung? Dio la nikah kek tino lain. Cak bungo nan lah abis maso kembangnyo. Cak kaco nan lah ancur dan dak bisa disatu lagi. Cak itulah hatiku kini. Janji tu la abis. La kau buang kek tino lain. Kalau cak ini, eloklah mati bae. Biar danau ini jadi saksi cak mano kau tenggelamkan cinto ini. Dan seluruh hidup ini.  Di sini aku mati. Di sini jugo kelak kau nyusul aku....[3]

Aku menutup lembar terakhir dari buku harian yang Risa berikan padaku. Entah sudah berapa banyak air mataku tumpah lantaran membaca kisah di dalam buku itu. Kau tahu, kupikir awalnya aku bermimpi. Tapi tidak. Setelah kulihat Risa melompat, aku berlari ke rumah onun, memasuki rumah itu tanpa permisi, dan langsung berlari menuju kamar terlarang onun. Aku hanya memejamkan mata sejenak. Lalu tahu-tahu aku sudah melihat onun yang menangis di atas ranjang besi tua kamar itu. Dan yang paling mengejutkan lagi, di tanganku masih tergenggam buku pemberian Risa. Onun juga bilang kalau aku menghilang hampir dua hari dari rumah. Pantas saja onun menangis.
Aku menyampaikan semua yang terjadi kepada onun. Awalnya onun tak percaya. Tapi begitu dia membaca buku itu, akhirnya onun mulai bercerita. Tentang Risa, yang ternyata adalah nenek buyutku. Dan tentang Risa yang ternyata sangat mirip denganku, jika aku memiliki rambut panjang.
“Onun memang sengaja memberimu nama yang sama seperti Onun Risa. Ketika kau lahir, Onun langsung melihat kemiripan di wajah kalian. Onun pikir, dengan begitu Onun Risa akan berhenti menghantui rumah ini. Tapi ternyata tidak. Onun rasa itulah alasan kenapa kau tidak pernah bisa tidur di rumah Onun. Onun Risa selalu menghantuimu, karena kau sangat mirip dengannya.”
“Sejak Onun Risa meninggal, namanya tidak pernah disebut-sebut lagi. Bagi keluarga, Onun Risa pembawa aib. Jaman dulu, meninggal bunuh diri sangatlah menjadi cercaan di sini. Tidak ada keluarga yang memaafkan apa yang Onun Risa lakukan. Karena sejak saat itu juga, keluarga kita mulai dipandang rendah.”
“Tapi seiring berubahnya jaman, tidak ada lagi yang memandang rendah keluarga kita. Tapi, nama Onun Risa tetap terlupa, dan beliau tetap dianggap pembuat aib di dalam keluarga. Tidak ada yang mengetahui tentang Onun Risa. Hanya yang mewarisi rumah ini yang tahu. Dan itu hanya Onun dan almarhumah Poyang.”
Aku mengingat kembali kata-kata onun tadi malam. Kasihan Onun Risa. Makamnya tidak pernah dikunjungi sejak seratus dua puluh tahun lalu. Bahkan kini letak makamnya sudah tidak tahu di mana. Padahal keluargaku memiliki makam khusus keluarga.
“Dulu waktu kau masih berambut panjang, Onun sangat membencinya. Karena kau sangat mirip dengan Onun Risa. Onun takut. Makanya Onun meminta kau memotong rambutmu. Dan ketika kau menghilang kemarin, Onun pikir Onun Risa membawamu pergi. Onun pikir kau tidak akan kembali, Sayang.”
Aku menghela napas panjang. Kata-kata onun masih menari-nari di dalam kepalaku. Dan itu semakin membuatku merasa sedih. Harusnya Onun Risa bisa tenang walaupun caranya mati sungguh salah. Tapi setidaknya Onun Risa telah menyelamatkan keluarga dari aib yang lebih besar.
Senja itu, aku duduk di tepi tebing tempat Onun Risa melompat. Kutaburkan bunga kenanga yang baru kupetik dari halaman depan rumah Onun. Onun Risa pasti suka bunga kenanga. Dan sekarang, kukirimkan dia bunga kesukaannya sekaligus doa untuknya. Kuharap Onun Risa bisa tenang mulai saat ini. Walaupun makamnya sudah tak tahu di mana, tapi setidaknya, kini Onun Risa bisa dianggap ada. Dan aku akan menjaga agar nama Onun Risa tidak lagi dilupakan.
Onun, ah, apa seharusnya aku memanggilmu Poyang Risa? Apa pun itu, maafkan keterlambatanku. Dan berbahagialah di sana.


Einca, 2014



[1] Nenek dalam bahasa Bengkulu Asli.
[2] Kau tidak tahu apa-apa! Dia Cuma boleh bersamaku. Bukan dengan wanita lain. Dia Cuma boleh menikah denganku. Karena dia sudah berjanji padaku! Dan dia sudah mengambil setengah hidupku.”
[3] Rasanya aku tak kuat lagi. Harus kusembunikan ke mana janin yang kini kukandung? Dia sudah menikah dengan wanita lain. Seperti bunga yang sudah habis masa kembangnya. Seperti kaca yang sudah hancur dan tak bisa disatu lagi. Seperti itulah hatiku kini. Janji itu sudah habis. Sudah kau buang dengan wanita lain. Kalau seperti ini, lebih baik mati saja. Biar danau ini jadi saksi bagaimana kau tenggelamkan cinta ini. Dan seluruh hidup ini. Di sini aku mati. DI sini juga nanti kau menyusulku.

© Airalaks, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena