Senandung RASA Ketika hati dan otak mulai tak mampu lagi menampung rasa dan lisan tertahan untuk menyenandungkannya, maka tulisan mengambil alih untuk menyampaikannya. Menyenandungkan semua tentang Rasa...

Senin, 22 September 2014

GONE 2# ----- NELANGSA...



Dua ratus sembilan hari....

Tepat di pagi hari ke dua ratus sembilan ini, aku melihatmu, Matahari. Melihatmu di antara puluhan penumpang lain yang keluar dari gate kedatangan itu. Kamu tersenyum. Aku tahu, wajahku sekarang pasti sudah memerah hanya karena senyummu itu. Ya, hanya kamu yang bisa membuatku tersenyum dengan wajah memerah seperti ini.  Lalu, dengan kedua tangan terbuka lebar, kamu berjalan cepat ke arahku dan memelukku erat.

“Apa kabar, Ai,” 

Tuhan... itu suara Matahariku. Suara yang masih sama seperti beberapa bulan lalu. Suara yang ternyata masih mampu membuat jantungku berdegup cepat. 

 I’ve missed you, Aira...” 

Tuhan... nyaris melompat aku mendengar kalimat itu. Ya, I’ve missed you to. Aku benar-benar merindukanmu, Matahari. Aku benar-benar merindukanmu.

***

Siang itu, lagi-lagi namamu terdengar di rumahku. Namamu yang sudah berbulan-bulan tak pernah disebutkan lagi. Namamu yang ikut menghilang seiring dengan kembalinya aku di tengah-tengah keluargaku.

Kamu tahu, Matahari, adikku mendengar kabar tentangmu. Lega rasanya mendengar kamu baik-baik saja. Tapi satu tanyaku, kenapa kamu masih membisu dariku? Dan ternyata tanya itu bukan hanya datang dariku. Adikku, sahabatku, bahkan kedua orang tuaku, menanyakan kebisuanmu.

“Kak, nggak usah ingat Abang lagi. Anggap dia nggak pernah ada. Anggap dia udah mati!” Kalimat itu keluar dari mulut Ayahku dan menjadi keputusan Ayah, Ibu dan adikku. 

Tuhan... apa yang harus aku lakukan? Benarkah tak ada celah bagiku untuk bertemu dengan Matahariku? Tak bisakah Engkau membiarkan kami bertemu? Tak bisakah Engkau membiarkan terjadinya gerhana? Gerhana bahkan tak berlangsung lebih dari dua menit. 

“Insya Allah,” lirih kalimat itu kuucapkan. Aku tak bisa menjanjikan lebih dari kalimat itu. Dan aku berharap Tuhan masih berkenan mendengar doa-doaku. Doa-doaku yang sesungguhnya.

***

“Mau sampai kapan nunggu Wira?” tanya Adis, setelah memperhatikanku cukup lama. 

“Aku nggak nunggu, kok,” jawabku berusaha cuek.

“Oh ya?” Adis menatapku sarkartis. “Nggak nunggu? Nggak usah bohong sama gue, Ra. Kamu bahkan belum mau dengerin lagu sampai sekarang. Kamu masih suka beberapa kali buka emailmu yang terkhusus untuk Wira doang. Foto-foto Wira juga masih kamu simpan. Iyakan? Kamu nolak untuk kenal dengan cowok lain. Kamu masih suka nungguin matahari terbit dan tenggelam. See? Nggak nunggu kamu bilang? Aku sahabatan sama kamu dari kecil, Ra.” 

Aku menghela napas panjang. Ya, Adis tak salah. Aku memang masih menunggu. Aku masih mengharap.

“Lupain Wira, Ra.” Adis mengucapkan kalimat itu dengan penuh penekanan. Seolah aku adalah anak SD yang harus ditekankan dulu, baru bisa mengerti.

Lupain? Kalau aja bisa segampang itu. Aku ingin melupakan. Sungguh. 

“Ra,”

“Aku mau ke Yogya,” ujarku cepat, sebelum Adis sempat melanjutkan kata-katanya yang pasti akan berujung ceramah panjang.

“Hah?” Adis menatapku tak percaya. “Yogya? Ngapain? Nggak boleh!”

“Aku harus ke Yogya! Tolong Dis,” pintaku keras kepala.  “Please, Dis. Aku Cuma mau tahu keadaannya. Hanya itu. Satu kali aja, dan aku janji nggak akan nunggu dia lagi.” Aku benar-benar memohon kali ini. Satu kali Tuhan, perlancarlah jalanku.

Adis terdiam cukup lama. Terlihat jelas bahwa sahabatku itu tak menyetujui permintaanku. “Tolong, Dis...” pintaku lagi. Kali ini aku mengeluarkan suara super menyayat yang aku tahu, pasti mampu meluluhkan hati sahabatku ini.

“Kamu udah gila, Ra!” tukas Adis kesal. Tapi aku malah tersenyum senang. Aku tahu, Adis menyetujui permintaanku, aku juga tahu kalau Adis siap membantuku untuk meloloskan diri.

How long?” tanyanya kemudian.

“Dua.”

“Satu!”

“Dua, Dis,” aku mulai merengek.

“Satu! Atau nggak sama sekali,” tegas Adis. “Satu hari aja aku udah kesusahan untuk cari alasan, Ra. Apalagi dua.”

Aku menghela napas kesal. Ya, aku tahu. Adis yang paling kesusahan. Tapi...

“Satu atau tidak!” Adis kembali menegaskan.

“Oke. Satu.” Aku cepat mengambil keputusan sebelum Adis mengubah pikirannya. Ini kesempatanku satu-satunya. Dan, Tuhan... untuk kali ini, tolong kabulkan doaku.

***

Lega. Itu yang kurasakan. Lega saat melihat kamu ternyata baik-baik saja. Kamu tahu, Matahari? Cahayamu ternyata masih sama. Walaupun senyummu seperti menyimpan luka. Salahkah kalau aku berpikir bahwa hatimu belum melupakanku? Salahkah kalau aku berpikir bahwa hatimu juga merindukanku?

Sepertinya tidak, Matahari. Aku masih mampu merasa tentangmu. Tapi, untuk kali ini, maafkan aku. Aku harus menepati  janjiku pada sahabatku. Aku tak akan lagi menunggumu. Kalau memang cahaya untuk semestaku tak akan pernah muncul lagi, biarlah. Aku mulai terbiasa dengan gelap. Aku mulai terbiasa dengan temaram bintang yang walaupun tak seterang sinarmu, tapi cukup untuk membantuku menyinari langit malam. Aku mulai terbiasa tanpamu, Matahari. Dan aku sadar, bulan memang tak harus menyinari dengan bantuan matahari. 

***

Hai, Ra. Apa kabar?

Praanggg!!! Satu pesan singkat itu membuat piring buah yang kupegang terlepas bersama dengan ponselku. Jantungku berdebar hebat. Kepalaku mendadak pening. Adikku dan Adis yang tengah nonton TeVe di ruang keluarga, langsung berlari menghampiriku di dapur.

“Ada apa, Kak?”

“Kamu kenapa, Ra?”

Pertanyaan mereka berdua tak langsung kujawab. Yang aku lakukan malah menunjuk ponselku yang tergeletak di antara pecahan piring. 

“Dia, kembali...” ujarku lirih. 

Aku bisa mendengar napas tertahan adikku juga Adis. Aku tahu mereka berdua sama terkejutnya denganku. Matahariku kembali. Walaupun kini dia memanggilku dengan sapaan berbeda. 

Tuhan... apalagi ini? Yang telah hilang dan coba aku lupakan, kini engkau hadirkan kembali. Apalagi ini, Tuhan? Kini, harus bagaimana aku menanggapinya? Akankah Matahariku kembali untuk selamanya? Atau hanya sejenak?

“Kak, nggak usah dibalas,” tegas adikku.

“Iya, Ra, nggak usah ditanggepin.” Adis menimpali.

Aku terdiam. Aku tahu, mereka berdua tak ingin aku terluka lagi. Tapi, aku belum menemukan jawaban dari segala tanya yang menggumpal di kepalaku. Mungkinkah kali ini adalah kesempatanku untuk menemukan jawab itu? Atau ini hanya akan menjadi jembatan untuk menuju kehancuran yang lebih parah lagi? Entahlah. Aku bahkan tak bisa memikirkan apapun. Yang aku tahu, lima menit kemudian, jariku sudah bergerak lincah di layar handphone.

Baik, alhamdulillah. Bang Wira?

***

Aku nggak tahu. Sekarang, aku nggak bisa janjiin apa-apa lagi ke kamu. Tapi aku akan usahain untuk datang ke tempatmu dalam waktu dekat ini. Maaf, Ra...

Aku manatap barisan huruf yang terangkai di layar ponselku dengan senyum pahit. Pedih. Sakit, saat kata ‘tak bisa’ itu terbaca mata. 

Tahukah kamu, Matahari? Harusnya kamu tak pernah kembali. Harusnya kamu tak pernah datang lagi. Harusnya kamu tetap diam di sana dan tak muncul lagi. Harusnya kamu tak datang lagi dengan rasa menyesal dan maafmu. 

Tahukah kamu, Matahari? Airmata ini bahkan diam-diam masih sering mengalir di setiap malam dalam tidurku. Seharusnya biarlah aku menganggaap semua ini tetap semu. 

Tapi kini kamu kembali. Setelah pergi dan memaksaku ikut pergi. Kini kamu kembali dengan membawa lagi kenangan manis yang coba kulupakan dari ingatan dan hatiku. Kamu datang dan membuat usahaku untuk membencimu seketika musnah. Harus bagaimana aku, Matahari? Rasa ingin mempertahankanmu kembali muncul.

Nelangsa.

Kamu tahu kalau aku tak akan pernah bisa membencimu. Kamu tahu kalau aku tak akan pernah sanggup menahanmu. Kamu juga tahu di jauh dan dekatmu, aku tak bisa benar-benar melepaskanmu dari hatiku.

Tuhan... tak sekuat itu hati ini mampu menahan. Tak sekuat itu juga hati ini sanggup merelakan. Harus bagaimana aku? 

Drrrttt.... Drrrrttt....  Ponselku kembali bergetar. Cepat aku membuka pesan singkat yang tentu saja dari kamu.

Aku datang lusa. Tunggu aku, Aira. Aku akan menjelaskan semuanya. Tunggu aku...

Ya Tuhan....

Sekarang harus seperti apa? Berlari dan menghindar? Mematikan hati dan menutupnya? Atau malah mematikan diri dan menghilang bersama bumi? Mampukah? Bisakah? Mungkin. Tapi, aku masih ingin mendengar penjelasannya. Ada banyak tanya yang ingin kulemparkan kepadanya. 

Tuhan, untuk satu kali ini, izinkan aku bertemu dengannya. Bukan bertemu yang hanya aku yang tahu, tapi kami berdua tahu. Bertemu untuk menjelaskan segala yang tersembunyi 6 bulan ini. Dari dia dan dariku. Izinkanlah kami bertemu, tanpa adanya gerhana. 

Ok. Aku jemput di bandara, lusa. See you Sun...

***

Tentang bulan yang masih merindukan mataharinya...
Tentang matahari yang masih berusaha untuk memeluk bulannya...
Tentang semesta yang mecoba menyatukan keduanya di bawah langit yang sama... 





Einca, 2014


Senin, 15 September 2014

Gone...



    “Mungkinkah kita bisa menikah?” 

       Kamu tertawa geli saat lagi-lagi kutanyakan hal yang sama. Aku tertunduk gelisah sambil mencoret-coret agenda kecilku. Apa sih yang kamu tertawakan? Pertanyaanku itu bukan lelucon. Apa kamu tidak tahu bahwa saat ini hatiku benar-benar gelisah?
 
                “Kenapa kamu nanya gitu?” Tanyamu setelah tawa itu mereda. 

          “Mungkin nggak kita bisa menikah?” Bukannya menjawab aku malah melontarkan kembali pertanyaan yang sama. Dan kali ini, kamu tidak tertawa. Mungkin kamu mulai memahami kegelisahan yang aku rasakan saat ini. Ya, kamu pasti tahu. 

                “Kamu harusnya nggak usah nanyain itu lagi,” ucapmu lembut,” kamu nggak percaya sama aku?”

                Aku menggeleng cepat, padahal tahu kamu tak bisa melihat gelenganku. Bukan, bukan aku tidak percaya. Aku selalu mempercayaimu. Hanya saja, saat ini hatiku kembali dilanda keraguan. 

                “Kita pasti menikah,” katamu meyakinkan. “Kita pasti akan bersama.” 

                Pasti? Entah kenapa untuk malam ini, aku tak bisa mengikuti keyakinanmu. Entah kenapa, rasa gelisah itu malah semakin menguasai hatiku. Aku ragu. Ya, aku mulai meragukan hubungan ini. Bukan ragu padamu. Tapi aku meragu pada takdir. 

***
              “Abang pergi, Kak.” Kabar itu kudengar dari adikmu, pagi  setelah malamnya kamu meyakinkanku tentang kebersamaan kita. 

“Abang pergi, mungkin karena Kakak. Sadar nggak, Kakak yang terlalu lama menunda, sampai akhirnya semua prahara buruk itu kejadian. Mungkin Abang udah gila, makanya Abang mutusin pergi dari rumah.  Kakak puas sekarang?”

Kalimat-kalimat itu menghantamku. Aku? Aku yang menjadi penyebab kepergianmu? Benarkah? 

“Mama mana, Ran? Kakak bisa ngomong sama Mama nggak?” Tanyaku berharap.

“Mama nggak mau tahu apa-apa lagi tentang Kakak. Mama nggak mau ngomong sama Kakak lagi. Mama minta Kakak pergi juga dari keluarga kami.”

Tuhan.... Apa yang harus kulakukan? Sebesar itukah salahku? 

“Ran, siang ini Kakak udah rencana buat ajak kalian ketemu keluarga Kakak,” ucapku pelan. Aku tahu, ucapanku barusan mungkin tak akan merubah apapun lagi.

“Udah telat Kak. Abang juga udah pergi. Ini juga terakhir Rando jawab telpon Kakak. Assalammualaikum.” 

“Waalaikumsalam...” aku hanya bisa menjawab salam itu lirih. Apalagi yang bisa kulakukan selain itu? Aku bahkan tak tahu lagi harus berbuat apa. Duniaku runtuh dalam sekejap.

Kita pasti menikah. Kita pasti bersama. Kata-katamu semalam terputar lagi di otakku. Pasti? Tidak. Sekarang kamu malah pergi meninggalkanku, dengan seluruh salah yang harus kutanggung. Harus ke mana aku mencarimu? 

Tuhan... inikah jawabmu atas gelisah yang beberapa hari ini aku rasakan? Inikah jawabmu, atas tanyaku tentang matahari dan bulan yang beberapa hari ini tak tampak?

***

   Aku baru tahu, ternyata ada nyanyian cahaya yang hilang saat matahari membisu.  Aku juga baru tahu, ternyata ada sunyi yang gelap, saat matahari menghilang. Dulu, aku selalu percaya bahwa matahari tak akan pernah pergi meninggalkan langit. Dulu aku juga percaya bahwa matahari itu tercipta untuk bersama bulan. Dan keyakinan dari mataharilah, yang membuat bulan ikut percaya bahwa langit bercahaya lebih terang jika keduanya bersatu, langit akan menggelap bila mereka berpisah, dan keduanya akan binasa bila tak bersama.

                Mungkin kamu benar, Matahari. Sekarang bulan nyaris binasa. Langit yang menjadi tempat bulan bergantung , gelap gulita. Dan perlahan kepercayaan bulan terhadap matahari mulai memudar.

            Kamu tahu, Matahari? Alam di sekelilingku berdengung memintaku melupakanmu. Memintaku menghapus jejak dan bayangmu dari semestaku. Memintaku tak lagi menunggu hadirmu yang kini semakin semu. 

                Bodoh! Itu yang selalu mereka katakan setiap kali melihatku termenung menunggu hadirmu. 

              Kamu tahu, Matahari? Aku sekarang berusaha meminta Tuhan untuk mempertemukan kita di langit yang sama. Mungkinkah? Mereka bilang, tidak. Matahari dan bulan tak bisa berada di langit yang sama, karena pertemuan mereka dapat mencipta gerhana, dan tak semua penghuni bumi menyukai gerhana.

            “Kak, udah. Nggak ada gunanya Kakak terus nunggu Abang seperti ini. Kalaupun dia udah kembali, keluarganya juga udah nutup diri dari kita.”

            Untuk kesekian kalinya dalam tiga bulan ini, adikku mengucapkan hal yang nyaris sama. Melupakan? Aku ingin melupakan. Melupakan kamu, yang empat bulan sebelumnya selalu menemani hari-hariku, siang dan malam. Melupakan kamu, lelaki yang walau baru kutemui satu kali, tapi mampu membuatku terpikat.

          Ku akui, aku mulai lelah mencari. Ini sudah ujung terjauh yang sanggup kutempuh. Tahukah kamu, sekeliling manatapku seperti orang tak waras. Mungkin mereka benar. Dan tahukah kamu, aku mulai tak bisa lagi berlari dari keluargaku. Entah bagaimana, mereka mulai menemukanku padahal aku belum menemukanmu.

              “Kak...”

              “Dia pasti kembali,” ucapku yakin. Lebih tepatnya aku mencoba meyakinkan diriku sendiri. 

             “Kalau dia kembali, dia pasti udah muncul. Tiga bulan, Kak. Tiga bulan nggak ada kabar,” tukas adikku kesal. “Bang Wira, nggak mungkin kembali lagi ke kita Kak.” Adikku melanjutkan dengan suara pelan, terselip kesedihan yang dalam pada kalimat terakhirnya.

          Tahukah kamu, Matahari? Adikku adalah orang kedua yang nyaris gila karena kepergianmu. Dia adalah orang kedua setelah aku yang benar-benar menyayangimu. Dan dia juga sekarang orang yang paling membencimu. 

            “Bang Wira nggak akan kembali lagi Kak,” isak adikku pelan. Wajahnya tertunduk dalam di bahuku, bisa kurasakan rembesan air matanya yang mengenai bajuku. 

         Tuhan... jawablah doa-doaku. Aku hanya ingin tahu di mana dia. Aku hanya ingin tahu bagaimana keadaannya. Tak ada yang lain yang dapat kupinta. Aku hanya ingin melihatnya, walaupun hanya satu kali.

            Bulan dan matahari itu tercipta untuk bersama, karena mereka sama-sama menguasai langit. Bersama, kita pasti bersama. Lagi, kata-katamu berputar di kepalaku.

            Benarkah Tuhan? Sesungguhnya aku sudah sangat lelah. Pencarian ini bahkan tak berbuah apa-apa. Aku malah menyakiti orang-orang yang masih sangat memperdulikanku. Tuhan... aku lelah. Tak bisakah Engkau memberikanku satu kesempatan untuk dapat bertemu dengannya?

           “Kakak mau nunggu sampai kapan? Kakak bahkan nggak bisa bangun lagi sekarang,” kata adikku.  

             Ya, aku bahkan sudah tak sanggup lagi berjalan. Hanya diam dan berdoa. 

            “Mungkin, Abang emang bukan buat Kakak. Nggak selamanya apa yang sama dengan kita itu, bisa menjadi jodoh kita Kak. Mungkin Tuhan nunjukin sebelum Kakak sama Abang melangkah lebih jauh lagi.”

          Benarkah Tuhan? Kalimat adikku itu menohokku. Ya, selama ini kita selalu merasa bahwa jodoh tergaris di takdir kita. Banyaknya persamaan yang ada, sejak kecil hingga sekarang. Bagaimana kita mampu saling memahami tanpa harus berbicara. Bagaimana kita mampu saling jatuh cinta walaupun pertemuan baru terjadi satu kali.
        Gila. Itu yang selalu kita ucapkan saat kita menemukan, lagi-lagi hal yang sama. Kita bahkan sama-sama bertanya pada dunia tentang banyaknya persamaan itu. Dari mulai tanggal lahir, tragedi sebelum lahir, dan masih banyak lagi.

 Tuhan... benarkah dia bukan untukku? Jika memang bukan, kenapa rasa ini harus Kau munculkan? 

             “Kak...”

       “Abang pasti kembali,” ucapku lirih. “Entah lewat cara apa, dia pasti akan kembali.” Dan aku mendengar adikku menghela napas kesal. 

             “Kakak udah gila!” cetusnya.
 
          Ya, mungkin aku sudah gila. Tapi entahlah. Aku memang lelah mencari, mencari nyata di tengah semu yang tercipta. Tapi aku masih sanggup menunggu, setidaknya untuk satu atau dua kalimat penjelasan darimu. Menunggu semu yang semoga saja masih bisa menjadi nyata. Walaupun mungkin memang bulan tak bisa bersama matahari, tapi setidaknya Tuhan masih mampu mempertemukan mereka lewat gerhana.

***

Cinta itu mampu menunggu...
Walau tak jelas sekalipun, cinta tetap mampu menunggu...
Cinta tak akan berteriak lelah untuk menunggu satu jawab akan tanya yang tersimpan...
Cintapun selalu tahu, yang ditunggu masih layak atau tidak untuk selalu ditunggu..


Einca, 2014

Minggu, 07 September 2014

For Urha

Sumber gambar : Einca's photo


Tak ada yang bisa kuberikan kecuali ucapan
Selamat Ulang Tahun...
Di hari ulang tahunmu ini,
Semoga Allah senantiasa memberikan Rahmat dan karuniaNya padamu...

Hari ini adalah hari terindah untukmu..
Sebuah kebahagiaan terindah karena telah terlahir di dunia ini..
Hal terindah saat tangismu memecah sunyi...
Hal terindah bagi kedua orang tuamu yang telah menunggu dan membesarkanmu hingga sekarang..

Happy birthday...
Semoga Allah senantiasa melindungimu..


Tak ada manusia yang tak ingin bahagia..
Setiap manusia pasti memiliki harap dan asa yang ingin digapai...
Adakalanya kita lupa dan kita terjatuh ketika asa dan harap itu tak tergapai...

Namun, di hari ulang tahunnu ini..
Semoga segala harapmu dikabulkan Allah..

Hidup ini tidak selamanya indah
Kadang cobaan datang..
Kadang tantangan menghadang
Jangan kau ragu...
Jangan kau takut..

Percayalah...
Ada bahagia yang Allah selipkan untukmu...

Selamat ulang tahun Urha...
Selamat hari lahir...
Wish you all the best...
And hope Allah blessing you... everyday.. everymoment... everywhere...

Selamat ulang tahun lovely another sistaaa.......
Nurhadijah Saleh


Einca, 2014

Untitle

Pengungkitan masa lalu itu... bukan karena pengen bikin sakit... bukan karena pengen luka lama dia yg diungkit kebuka lagi... tapi lebih karena, pengen ngeliat gimana dia yang diungkit itu sekarang...

Semua orang punya masa lalukan? Gue juga. Ada bagian yang menarik untuk diungkit ada yang gak...

Kadang, yang sengaja mengungkit bukan karena ingin membuat sakit...
Tapi mungkin kadang yang mengungkit kesusahan untuk mrngembalikan mod dia yang bete karena diungkit. Bukan karena ga mau. Tapi mungkin sedang tidak mampu....

Masih ada bayang dia yang menjadi penyebab yang diungkit jadi marah-marah... mungkin itu juga yang membuat si pengungkit lupa bagaimana cara untuk menenangkan yang diungkit. ...

Bisakah lo liat rasa tentang si pengungkit yang udah buat lo kesal?
Bisakah lo buka mata untuk dia?
Mungkin lo ga sadar. Atau terlalu ga peka. Tapi... ada luka juga yang nancep di hati si pengungkit ketika tau ternyata yang diungkit masih menyimpan dia yang menjadi objek kesakitannya..

Jangan berasumsi apa-apa ketika lo ga tau tentang apa yang bahkan harusnya terasa jelas. Mungkin lo benar untuk beberapa hal. Tapi lo ga nyadar tentang salah lo juga..

Jangan salahkan kalau nanti si pengungkit perlahan ambil jarak sama lo. Mungkin jarak itu tercipta tanpa elo sendiri sadari. Padahal lo yang lempar pager....

Selasa, 02 September 2014

Berubah!!!

Berubah!!

Apa yang berubah?

Gue juga ga tau apaan. Hahaha... tapi, tadi pagi ada temen gue yang curhat. Doi bilang, "Ca, sohib gue napa ya? Kalo ngobrol ga asik lagi. Berasa garing gitu. Kaya lagi makan kerupuk gue saking garingnya"

Hahahahahaha.....

Gini Fit, gue jawab disini juga ya. Hihihi
Di dunia yang fana panas ini, apa sih yang ga bisa berubah? Semuanya berubah. Dari yang paling lumrah aja deh, berubahnya postur tubuh dari bayi ke dewasa. Berubahnya suasana hati orang dari hepi ke ga hepi. Berubahnya bayi kucing jadi singa. Eh itu ga ya? Hohoo... gagal fokus!

Oke oke. Bukan perubahan kaya gitu yang mau gue omongin. Tapi perubahan sifat seseorang ato sikap ato tingkah laku.

Pernah punya sohib kampret deket ga? Kaya temen gue tadi? Yang sebelumnya apa-apa ke elo. Dikit-dikit cerita ke elo. Apapun diomongin. Terus tau-tau dia jadi dingin. Jarang ngontak. Kalopun ngontak, garing. Ga kaya dulu. Pernah? Terus nanti lo ngamuk-ngamuk ke sohib lo. Nuduh aneh-aneh. Hingga akhirnya hubungan kalian berakhir kandas di persimpangan jalan lalu turun hujan kaya di FTV. Hahahaha

Kenapa gue ambil contoh sahabat, bukan pacar. selain karena yang ditanyain tadi 'sohib', bagi gue pribadi, memang justru lebih deket sahabat daripada pacar. Sahabat itu yang tau baik buruk kampret jeleknya kita. Yang bisa jadi tempat berteduh dikala hujan panas dunia menghantam. Kalau pacar, lah ya status ga jelas. Cuma pacar loh! Terus banyak larang-larangnya. Dan kadang pacar itu, lebih mirip pager tahanan daripada seseorang yang sepesial!. Iya ga? Iya dong! Rata-rata gitu! ~^O^~

Terkadang, tanpa disadari justru rasa dalam persahabatan itulah yang lebih kuat. Lebih uring-uringan mana, ditinggal sahabat baik yang luar biasa selama ini, atau ditinggal pacar yang hobi nglarang-nglarang? Buat gue, mending ditinggal pacar dan nunggu jodoh yang lebih istimewa.

Maka dari itu, setiap kali perubahan sikap dan sifat pada sahabat, lebih mengganggu pikiran. Yang biasanya riang mendadak garing. Yang biasanya hangat, mendadak dingin. Itu nantinya bakal nimbulin pertanyaan. "Sohib gue kenapa sih? Gue kangen sama dia yang dulu!"

Kenapa sahabat lo berubah????
Gue juga ga tau kenapa. Hahaha. Tapi, gue bisa ngasih sedikit saran. Jadi, ketika sohib lo berubah. Mendadak ga kampret lagi, ya lo tanyain. Klo kata dia ga ada apa-apa, mungkin dia belum mau cerita. Atau mungkin lo punya salah, tapi ga nyadar. Jadi mending merenung dulu. Jangan langsung marah-marahin sohib lo. Nuduh yang ga, ga. Ga ad orang yang suka dituduh-tuduh, sekalipun dia salah!

Berubah itu hak setiap orang. Jangan dituduh. Mungkin dia yang berubah itu sedang terkena masalah yang dia ga pengen orang lain tau. Setiap orang berhak punya rahasia kan? Jangan memaksa untuk diceritakan. Ya kalau otak sama hati lagi kusut, yang ada malah emosi yang keluar. Kan berabe tuh. Bukannya dapet titik terang, malah jadi gelap gulita nanti. Hohoho...

Ga usah galau kalau orang terdekat lo berubah. Tanyain aja. Kalau dia bilang ga ada apa-apa, ya udah. Diem. Kecuali kalau itu suami/istri lo. Ya beda urusan lagi braiii sis.. hahahaha




Einca, 2014


© Airalaks, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena