Dua ratus sembilan hari....
Tepat di pagi
hari ke dua ratus sembilan ini, aku melihatmu, Matahari. Melihatmu di antara
puluhan penumpang lain yang keluar dari gate
kedatangan itu. Kamu tersenyum. Aku tahu, wajahku sekarang pasti sudah memerah
hanya karena senyummu itu. Ya, hanya kamu yang bisa membuatku tersenyum dengan
wajah memerah seperti ini. Lalu, dengan
kedua tangan terbuka lebar, kamu berjalan cepat ke arahku dan memelukku erat.
“Apa kabar,
Ai,”
Tuhan... itu
suara Matahariku. Suara yang masih sama seperti beberapa bulan lalu. Suara yang
ternyata masih mampu membuat jantungku berdegup cepat.
“I’ve
missed you, Aira...”
Tuhan...
nyaris melompat aku mendengar kalimat itu. Ya, I’ve missed you to. Aku benar-benar merindukanmu, Matahari. Aku
benar-benar merindukanmu.
***
Siang itu,
lagi-lagi namamu terdengar di rumahku. Namamu yang sudah berbulan-bulan tak
pernah disebutkan lagi. Namamu yang ikut menghilang seiring dengan kembalinya
aku di tengah-tengah keluargaku.
Kamu tahu,
Matahari, adikku mendengar kabar tentangmu. Lega rasanya mendengar kamu
baik-baik saja. Tapi satu tanyaku, kenapa kamu masih membisu dariku? Dan ternyata
tanya itu bukan hanya datang dariku. Adikku, sahabatku, bahkan kedua orang
tuaku, menanyakan kebisuanmu.
“Kak, nggak
usah ingat Abang lagi. Anggap dia nggak pernah ada. Anggap dia udah mati!”
Kalimat itu keluar dari mulut Ayahku dan menjadi keputusan Ayah, Ibu dan adikku.
Tuhan... apa
yang harus aku lakukan? Benarkah tak ada celah bagiku untuk bertemu dengan
Matahariku? Tak bisakah Engkau membiarkan kami bertemu? Tak bisakah Engkau
membiarkan terjadinya gerhana? Gerhana bahkan tak berlangsung lebih dari dua
menit.
“Insya Allah,”
lirih kalimat itu kuucapkan. Aku tak bisa menjanjikan lebih dari kalimat itu. Dan
aku berharap Tuhan masih berkenan mendengar doa-doaku. Doa-doaku yang
sesungguhnya.
***
“Mau sampai
kapan nunggu Wira?” tanya Adis, setelah memperhatikanku cukup lama.
“Aku nggak
nunggu, kok,” jawabku berusaha cuek.
“Oh ya?” Adis
menatapku sarkartis. “Nggak nunggu? Nggak usah bohong sama gue, Ra. Kamu bahkan
belum mau dengerin lagu sampai sekarang. Kamu masih suka beberapa kali buka
emailmu yang terkhusus untuk Wira doang. Foto-foto Wira juga masih kamu simpan.
Iyakan? Kamu nolak untuk kenal dengan cowok lain. Kamu masih suka nungguin
matahari terbit dan tenggelam. See? Nggak nunggu kamu bilang? Aku sahabatan
sama kamu dari kecil, Ra.”
Aku menghela
napas panjang. Ya, Adis tak salah. Aku memang masih menunggu. Aku masih
mengharap.
“Lupain Wira,
Ra.” Adis mengucapkan kalimat itu dengan penuh penekanan. Seolah aku adalah
anak SD yang harus ditekankan dulu, baru bisa mengerti.
Lupain? Kalau
aja bisa segampang itu. Aku ingin melupakan. Sungguh.
“Ra,”
“Aku mau ke
Yogya,” ujarku cepat, sebelum Adis sempat melanjutkan kata-katanya yang pasti akan berujung ceramah panjang.
“Hah?” Adis
menatapku tak percaya. “Yogya? Ngapain? Nggak boleh!”
“Aku harus ke
Yogya! Tolong Dis,” pintaku keras kepala. “Please, Dis. Aku Cuma mau tahu keadaannya.
Hanya itu. Satu kali aja, dan aku janji nggak akan nunggu dia lagi.” Aku
benar-benar memohon kali ini. Satu kali Tuhan, perlancarlah jalanku.
Adis terdiam
cukup lama. Terlihat jelas bahwa sahabatku itu tak menyetujui permintaanku. “Tolong,
Dis...” pintaku lagi. Kali ini aku mengeluarkan suara super menyayat yang aku
tahu, pasti mampu meluluhkan hati sahabatku ini.
“Kamu udah
gila, Ra!” tukas Adis kesal. Tapi aku malah tersenyum senang. Aku tahu, Adis
menyetujui permintaanku, aku juga tahu kalau Adis siap membantuku untuk
meloloskan diri.
“How long?”
tanyanya kemudian.
“Dua.”
“Satu!”
“Dua, Dis,”
aku mulai merengek.
“Satu! Atau
nggak sama sekali,” tegas Adis. “Satu hari aja aku udah kesusahan untuk cari
alasan, Ra. Apalagi dua.”
Aku menghela
napas kesal. Ya, aku tahu. Adis yang paling kesusahan. Tapi...
“Satu atau
tidak!” Adis kembali menegaskan.
“Oke. Satu.” Aku
cepat mengambil keputusan sebelum Adis mengubah pikirannya. Ini kesempatanku
satu-satunya. Dan, Tuhan... untuk kali ini, tolong kabulkan doaku.
***
Lega. Itu yang
kurasakan. Lega saat melihat kamu ternyata baik-baik saja. Kamu tahu, Matahari?
Cahayamu ternyata masih sama. Walaupun senyummu seperti menyimpan luka. Salahkah
kalau aku berpikir bahwa hatimu belum melupakanku? Salahkah kalau aku berpikir
bahwa hatimu juga merindukanku?
Sepertinya
tidak, Matahari. Aku masih mampu merasa tentangmu. Tapi, untuk kali ini,
maafkan aku. Aku harus menepati janjiku
pada sahabatku. Aku tak akan lagi menunggumu. Kalau memang cahaya untuk
semestaku tak akan pernah muncul lagi, biarlah. Aku mulai terbiasa dengan
gelap. Aku mulai terbiasa dengan temaram bintang yang walaupun tak seterang
sinarmu, tapi cukup untuk membantuku menyinari langit malam. Aku mulai terbiasa
tanpamu, Matahari. Dan aku sadar, bulan memang tak harus menyinari dengan
bantuan matahari.
***
Hai, Ra. Apa kabar?
Praanggg!!!
Satu pesan singkat itu membuat piring buah yang kupegang terlepas bersama
dengan ponselku. Jantungku berdebar hebat. Kepalaku mendadak pening. Adikku dan
Adis yang tengah nonton TeVe di ruang keluarga, langsung berlari menghampiriku
di dapur.
“Ada apa, Kak?”
“Kamu kenapa,
Ra?”
Pertanyaan mereka
berdua tak langsung kujawab. Yang aku lakukan malah menunjuk ponselku yang tergeletak di
antara pecahan piring.
“Dia,
kembali...” ujarku lirih.
Aku bisa
mendengar napas tertahan adikku juga Adis. Aku tahu mereka berdua sama
terkejutnya denganku. Matahariku kembali. Walaupun kini dia memanggilku dengan
sapaan berbeda.
Tuhan...
apalagi ini? Yang telah hilang dan coba aku lupakan, kini engkau hadirkan
kembali. Apalagi ini, Tuhan? Kini, harus bagaimana aku menanggapinya? Akankah
Matahariku kembali untuk selamanya? Atau hanya sejenak?
“Kak, nggak
usah dibalas,” tegas adikku.
“Iya, Ra,
nggak usah ditanggepin.” Adis menimpali.
Aku terdiam. Aku
tahu, mereka berdua tak ingin aku terluka lagi. Tapi, aku belum menemukan
jawaban dari segala tanya yang menggumpal di kepalaku. Mungkinkah kali ini
adalah kesempatanku untuk menemukan jawab itu? Atau ini hanya akan menjadi
jembatan untuk menuju kehancuran yang lebih parah lagi? Entahlah. Aku bahkan
tak bisa memikirkan apapun. Yang aku tahu, lima menit kemudian, jariku sudah
bergerak lincah di layar handphone.
Baik, alhamdulillah. Bang Wira?
***
Aku nggak tahu. Sekarang, aku nggak bisa
janjiin apa-apa lagi ke kamu. Tapi aku akan usahain untuk datang ke tempatmu
dalam waktu dekat ini. Maaf, Ra...
Aku manatap
barisan huruf yang terangkai di layar ponselku dengan senyum pahit. Pedih. Sakit,
saat kata ‘tak bisa’ itu terbaca mata.
Tahukah kamu,
Matahari? Harusnya kamu tak pernah kembali. Harusnya kamu tak pernah datang
lagi. Harusnya kamu tetap diam di sana dan tak muncul lagi. Harusnya kamu tak
datang lagi dengan rasa menyesal dan maafmu.
Tahukah kamu,
Matahari? Airmata ini bahkan diam-diam masih sering mengalir di setiap malam
dalam tidurku. Seharusnya biarlah aku menganggaap semua ini tetap semu.
Tapi kini kamu
kembali. Setelah pergi dan memaksaku ikut pergi. Kini kamu kembali dengan
membawa lagi kenangan manis yang coba kulupakan dari ingatan dan hatiku. Kamu datang
dan membuat usahaku untuk membencimu seketika musnah. Harus bagaimana aku,
Matahari? Rasa ingin mempertahankanmu kembali muncul.
Nelangsa.
Kamu tahu
kalau aku tak akan pernah bisa membencimu. Kamu tahu kalau aku tak akan pernah
sanggup menahanmu. Kamu juga tahu di jauh dan dekatmu, aku tak bisa benar-benar
melepaskanmu dari hatiku.
Tuhan... tak
sekuat itu hati ini mampu menahan. Tak sekuat itu juga hati ini sanggup
merelakan. Harus bagaimana aku?
Drrrttt....
Drrrrttt.... Ponselku kembali bergetar. Cepat
aku membuka pesan singkat yang tentu saja dari kamu.
Aku datang
lusa. Tunggu aku, Aira. Aku akan menjelaskan semuanya. Tunggu aku...
Ya Tuhan....
Sekarang harus
seperti apa? Berlari dan menghindar? Mematikan hati dan menutupnya? Atau malah
mematikan diri dan menghilang bersama bumi? Mampukah? Bisakah? Mungkin. Tapi,
aku masih ingin mendengar penjelasannya. Ada banyak tanya yang ingin
kulemparkan kepadanya.
Tuhan, untuk
satu kali ini, izinkan aku bertemu dengannya. Bukan bertemu yang hanya aku yang
tahu, tapi kami berdua tahu. Bertemu untuk menjelaskan segala yang tersembunyi
6 bulan ini. Dari dia dan dariku. Izinkanlah kami bertemu, tanpa adanya
gerhana.
Ok. Aku jemput di bandara, lusa. See you Sun...
***
Tentang bulan yang masih merindukan mataharinya...
Tentang matahari yang masih berusaha untuk memeluk bulannya...
Tentang semesta yang mecoba menyatukan keduanya di bawah langit yang sama...
Einca, 2014