Senandung RASA Ketika hati dan otak mulai tak mampu lagi menampung rasa dan lisan tertahan untuk menyenandungkannya, maka tulisan mengambil alih untuk menyampaikannya. Menyenandungkan semua tentang Rasa...

Kamis, 16 Oktober 2014

Ketika Nulis yang Lain lebih Uwaw Daripada Skripsi!!!


Jengjeng!!!
Holaaa.... *keluar dari tumpukan kertas-kertas :D

Gila, gue berasa udah lama banget nggak pernah nulis sesuka hati lagi kayak gini di blog. hihihi.... I've missed you my blog... *pelukcium

Baca judul postingan gue kan? Yaph! gue lagi disibukkan sama segala tetekbengek perskripsi-tan. emang yah, gue selama ini suka ngetawain yang bikin skripsi. nah giliran gue, gue berasa dunia gue mau runtuh ke bumi dalam sekejap! Surem! Judul nggak ada yang oke perasaan. Apa gue yang kelewat banyak main perasaan ya? Entahlah. Pokoknya gue menderita karena skripsi. Yang bener kata Bang Alit. Skripsi itu Skripshit banget. Hahahaha

Yah, sebenernya nggak salah skripsinya sih. Akhir-akhir ini, gue lagi disibukkan sama kegiatan menulis yang lain. menulis yang lebih gue cintai. Bahahahaha.... Kegiatan menulis yang mampu mengalihkan gue dari skripsi. saking mengalihkannya, suatu hari waktu gue mau ujian laporan, gue nyaris melupakan ujian itu. Gue keasyikan nulis dari pagi sampai pagi lagi, Dua hari berturut-turut. Hingga pada hari H. Gue melupakan hari penting nan bersejarah yang nantinya akan menentukan kelanjutan hidup gue.

Kalau bukan karena Nyokap gue, gue rasa gue nggak akan inget ada ujian. Hahaha... dengan santainya, dua setengah jam sebelum jam ujian, gue masih golek-golek di kasur. Ngantuk karena efek kurang tidur. Dan leptop masih menampilkan layar word terakhir tulisan gue yang makin kece. Hihihi.... Tiba-tiba, Nyokap yang baru pulang kerja masuk ke kamar gue. Paha gue ditabok. Nggak kenceng-kenceng amat sih, tapi lumayan perih lah. Nyokap bilang,

Nyokap : Yuk, (panggilan gue di rumah, Ayuk. Bukan kata ajakan yah) nggak ke kampus? katanya hari ini ujian laporan.

Gue : Eh? Ujian apaan, Ma? Laporan apa? (muka bengong)

Nyokap : Ujian laporan lah. Buat persiapan skripsi itu. Katanya jam 2.

Gue : Kan hari Kamis, Ma. Besok. (gue lalu tiduran lagi dan nyuekin Emak gue)

Plak! Gue ditabok lagi sama Nyokap. Kali ini lumayan kenceng. Gue ampe melejit bangun terus mundur sejauh mungkin dari Nyokap. Gila, ogah banget ditabok lagi. Padahal gue nggak salah.

Gue : Penganiayaan. Ayuk salah apa? Kok ditabok?

Nyokap : Jelas aja ditabok! Hari ini tuh hari Kamis. Dan sekarang udah jam mau jam 12.

Gue bener-bener bengong. Masa sih? Seinget gue, ini masih hari Rabu. Kok tau-tau udah Kamis aja? Gue buru-buru ngecek Hp. Beneran aja. Sekarang udah hari Kamis. Umaaaaaakkkkkk.....

Nyokap : Buruan sana mandi. Mama mau pergi dulu. Semoga sukses yah.....

Itu pesan Nyokap gue sebelum Nyokap capcus ke acara sekolahannya. Ninggalin gue yang kelabakan. Gue bahkan belum baca satupun isi laporan yang gue buat nyaris 2 minggu lalu. Udah lama banget yakan? Guepun berniat baik buat baca-baca dikit laporan gue. Tapi sialnya, gue malah ketiduran. Bahahahah....

Untunglah, Tuhan sayang banget ama gue. Gue ketidurannya cuma 15 menitan. Terus kebangun gara-gara bunyi kucing berantem. Dan gue liat BBM, temen gue udah otw buat jemput. Ya udah. Gue mandi dan siap-siap ke kampus tanpa persiapan otak. Cuma siap pakean doang, Itu aja gue keliling nyari pakean putih buat ujian gue. Hahahah....

Dan hasilnya......

Jangan tanya gue gimana cara gue jawab semua pertanyaan penguji... Gue hari itu bener-bener bersyukur ingetan gue tentang apa yang gue tulis masih melekat kuat *tsaahh. Hahaha... Mungkin waktu nulisnya gue sambil nempelin permen karet antara ingetan dan isi laporan yang gue buat. Bahahaha.... Itulah untungnya kalau nulis laporan sendiri. Apa kabar kalau gue minta bikinin laporan ama orang lain. Beneran diare gue pas ujian.

Pokoknya hari itu gue lolos. Tapi sekarang. gue kebingungan nentuin langkah selanjutnya. Yah, judulnya udah banyak. Tapi gue galau. Hahaha.... minat gue lebih ke nulis yang lain daripada nulis skripsi. Entah kenapa tiap buka folder skripsi, otak gue kejang-kejang. mendadak muaal. Terus pengen muntah.

Oke, pesan moral tulisan gue kali ini adalaaaahhhhhh *setel musik dangdut :
        "Jangan pernah minta tulisin apapun sama orang lain. Dan yang terpenting, percayalah sama Nyokap ketika Nyokap dateng sambil ngomel lalu nabok, pasti ada apa-apa yang kita lupain. Nyokap kadang lebih peka daripada diri kita sendiri..."



Einca, 2014

Minggu, 12 Oktober 2014

GONE #3 ----- GERHANA



“Kamu tahu, kenapa gerhana itu ada?”

Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Tentu saja aku tahu. Aku menyukai semua fenomena alam yang terjadi di langit. Dan gerhana, aku suka gerhana.

“Karena, bertemunya bulan dan matahari di waktu yang bersamaan.” Kamu menjawab sendiri pertanyaanmu. Matamu tak lepas menatap ke arah langit, seolah di sana sedang terjadi gerhana.

“Kamu ngomongin gerhana matahari atau gerhana bulan?” tanyaku. Berbeda denganmu yang menatap langit senja, aku malah menatapmu. Matahariku.

Kamu tak langsung menjawab pertanyaanku. Jemarimu menelusup sela-sela jemariku. Erat. Kamu menggenggam jemariu dengan erat. Lalu kamu mengalihkan pandang ke arahku, menatap tepat ke manik mataku. Kamu tersenyum. Manis. Tentu saja manis. Tapi, aku bisa menangkap secercah kesedihan yang kamu simpan di balik senyummu itu.

“Dua-duanya. Kalau gerhana matahari terjadi karena bulan bertemu matahari secara langsung dalam satu garis sejajar...”

“Seperti kita?” sahutku langsung.

Kamu tertawa kecil. Mengacak-acak rambutku lembut. “Ya, seperti kita. Sejak aku datang ke sini, cuaca mendung teruskan?”

Aku tersenyum kecil, lalu mengangguk. Memang sejak kedatangannya, cuaca di kotaku nggak menentu. Kadang panas, lalu tiba-tiba gelap. "Nggak ada hubungannya cuaca jelek ama kedatangan kamu, tahu!" Aku menepuk lengannya pelan.

“Kalau gerhana bulan, itu terjadi jika bumi melintas di antara matahari dan bulan. Bumi.”

Aku menatapmu penuh tanya ketika mendengar kamu menekankan kata bumi itu dalam-dalam.  “Maksud kamu?”

“Ai...” duh... lagi-lagi aku meleleh mendengar suaranya yang memanggil namaku lain daripada yang lain. “Kamu pernah nanya kenapa aku menghilang, kan? Ada bumi yang menghalangi kita. Ada seseorang, yang nggak mau kita bersama. Dia yang memaksa keluargaku, menjauhkan aku dari kamu. Kalau kamu sadar, aku ngambil resiko yang gede dengan nemuin kamu di sini. Resiko terjadinya gerhana bulan yang mungkin bisa menghancurkan kita berdua.”

***

Kalau kalian bertanya kapan aku merasa paling bahagia dalam hidupku, jawabannya tepat satu minggu yang lalu. Satu minggu kebersamaanku dengan dia, Matahariku. Tujuh hari, dan nyaris 24 jam aku selalu bersamanya. Melakukan semua yang aku dan dia selalu angankan dulu, saat kami belum bertemu. Satu minggu. Hanya satu minggu. Lalu dia kembali pergi dan aku pun harus pergi.

“Matahari dan Bulan, memang tak seharusnya berada di langit yang sama,” ucapmu siang itu. Kamu tampak tampan duduk di sampingku, memainkan pasir pantai dengan jemari kakimu. Dan tak sedetikpun kamu melepaskan genggaman tanganmu padaku.

“Kalau gitu, aku nggak mau jadi bulan lagi. Aku mau jadi pantai aja,” ucapku manja.

Kamu tertawa melihat wajahku yang cemberut. “Kalau kamu pantai, aku jadi apa dong?”

Aku mengerucutkan bibir. Mencoba memikirkan apa yang cocok untuk Matahariku ini. Oh, perumpaan itu haruslah sempurna. Karena Matahariku ini sempurna. Buatku sih.

“Senja!” Aku berseru riang. “Senja nggak pernah ninggalin pantainya. Senja selalu ada bersama pantainya. Senja dan pantai kan ditakdirin bersama. Kalau nggak, duduk di pantai sore-sore nggak oke lagi dong.”

“Hahaha...” Kamu lagi-lagi tertawa. Aku mendengus kesal. Apa sih yang lucu? Bisa-bisanya kamu ketawa. Aku serius.

“Senja?” Kamu menelengkan kepala ke arahku dan menatapku lucu. “Oke juga.” Kamu melanjutkan.

“Tuh kan. Ya udah, mulai sekarang aku Pantai dan kamu Senja. Oke nggak?” Mataku menatapnya berharap.

Kamu tersenyum. Tak langsung menjawab pertanyaanku. Aku menelusuri manik hitam matamu dalam-dalam. Tuhan... apa yang barusan kulihat? Kesedihan jelas nampak di manik hitam itu.

“Kita nggak bisa mengubah takdir sesuka kita. Takdir nggak bisa kita mainin semau kita. Udah garisnya akan begini dan kita cuma bisa berdoa, berharap Tuhan mengurangi rasa sakitnya kalau takdir kita nggak berjalan dengan baik.”

Aku tertunduk mendengar penjelasanmu. Iya, aku tahu. Kita tisak akan pernah bisa mengubah takdir. Tapi tak bisakah aku berharap? Apa memang hanya seperti ini aku dengannya?

“Ai,” panggilmu. Aku menengadahkan kepala agar bisa menatapmu. Matamu menatapku lembut. pelan, tanganmu terulur dan mengusap sayang rambutku. “Aku minta maaf. Untuk semua luka. Untuk  semua kesakitan. Aku minta maaf. Aku masih ingin berusaha agar kita bisa bersama, aku masih berdoa. Aku akan mencoba dan mengusahakan kita untuk tetap bersama. Tapi nanti, kalau kita nggak bisa bersama, kamu harus hidup dengan baik. Rasa itu, nggak pernah hilang. Dan percayalah, aku begini, karena aku melindungimu.”

Tuhan... kepalaku pening mendengar rentetan kalimat itu. sebenarnya apa yang terjadi denganmu? Apa yang terjadi dengan Matahariku?

***

Sore itu, aku menunggumu dengan gelisah di kamarku. Sesekali aku melirik awan mendung yang bergelayut di luar sana.  Aku tak mengerti kenapa aku segelisah ini, mungkinkaah karena hari ini adalah hari terakhirmu di sini? Hari terakhir kita bisa bertemu. Aku tak tahu, yang aku tahu, perasaanku tak menentu. Persis seperti langit yang bisa berubah gelap dengan tiba-tiba.

“Kak,”

Aku menoleh ke arah pintu kamar. Adikku berdiri di ambang pintu. Menatapku seolah meminta izin untuk masuk. Aku menganggukkan kepala dan mencoba memasang wajah baik-baaik saja.

“Kenapa, Dek? Mama manggil?” tanyaku basa basi. Aku tahu, pasti ada hal lain yang ingin adikku sampaikan. Biasanya dia takut-takut untuk masuk kamarku, kalau dia punya masalah atau ingin menyampaikaan masalah.

“Hmm... Kakak mau pergi sama Bang Wira?” tanyanya sambil dudul di tepi kasurku.

Aku mengangguk dan menunggu.

“Kakak udah dikasih tahu kenapa Abang pergi waktu itu?” tanya adikku hati-hati.

Aku menyipitkan sebelah mata, lalu menggeleng. Bukan karena aku tak tahu, aku sudah mendengar penjelasan itu dari Matahari. Tapi, entah kenapa, selama ini aku selalu merasa bahwa Matahariku masih menyembunyikan sesuatu.

“Ada yang nggak suka kalau Kakak sama Abang bersama.” Adikku mengucapkan kaalimat itu dengan hati-hati. Matanya menatapku was-was. Aku diam. Menunggu adikku melanjutkan kalimatnya. “Orang itu, dia ngancurin apa yang Abang punya. Orang itu mempengaruhi keluarga Abang, agar menjaukan Abang dari Kakak. Dan Abang pergi, memang untuk melindungi Kakak,” jelas adikku pelan. “Kakak lihat nggak luka panjang di lengan kanan Abang?”

Luka? Luka yang mana?

“Kakak pasti nggak tahu. Luka itu ada, karena Abang berusaha melindungi Kakak. Dari orang itu,” adikku menjelaskan lagi. “Aku seneng Kakak sama Abang bisa sama-sama. tapi Kak, terlalu banyak resikonya. Kakak tahu, Abang nggak kerja lagi sekarang. Lebih tepatnya belum. Semuanya disabotase sama orang itu.”

Tuhan.... Badanku lemas mendengar setiap kata yang adikku ucapkan. Pantas kamu selama ini selalu menggunakan kemeja berlengan panjang setiap bersamaku. Pantaas kamu selalu menghindar jika aku sudah menanyakan pekerjaanmu. Pantas juga kamu menutupi semuanya dariku. Kamu sedang berusaha melindungiku. Tuhan... Matahariku lebih terluka daripada yang aku mampu lihat.

“Mungkin, Kakak sama Abang nggak bersama dulu. Aku nggak mau Kakak jatuh dan terluka parah kalau lagi-lagi Bang Wira dipaksa pergi dari Kakak. Aku juga...”

“Assalammualaikum...” Suara salam itu memotong kalimat adikku. Aku menoleh ke arah jendela. Ya, aku tahu itu kamu, Matahari. Dan, ya Tuhan... kamu begitu tampan sore ini.

“Kakak,” panggil adikku.

“Ya,” aku menjawab sambil membalikkan badan ke arah adikku.

“Jangan jatuh lagi. Aku nggak mau Kakak ataupun Abang terluka.”

Aku nyaris menangis mendengar nasehat adikku. Aku tahu adikku benar-benar peduli. Tapi, sanggupkah aku melepasnya lagi? Memikirkan dia akan pergi dari kota ini besok, itu saja sudah membuatku nyaris gila. Bagaimana aku bisa melepaskannya untuk selamanya?

“Kakak bijaksana. Aku kenal Kakak. Kakak pasti tahu yang mana yang paling baik untuk Kakak.” Adikku berkata sambil meraih tanganku. Menggenggamnya seolah memberi kekuatan, lalu dia beranjak meninggalkan kamarku.

“Assalammualaikum...”

“Waalaikum salam...” aku buru-buru menjawab salam itu. cepat aku berjalan menuju pintu rumah. Matahariku sudah menungguku. Dan, ya, aku tahu harus berbuat apa.

***

Senja itu, di pantai yang sama. Aku dan kamu menyusuri tepian ombak dengan tangan yang bergandengan erat. Mungkin kamu juga bisa merasakan suasana hatiku yang tak seceria hari-hari sebelumnya. Hari ini aku bahkan tak mau melepaskan genggaman tanganku walaupun hanya semenit saja.

“Nggak usah takut,” ucapmu lembut.  Aku tahu sekarang kamu pasti sedang menatapku. Hanya saja aku terlalu takut untuk membalas tatapan itu. “Takdir ini, pasti bisa kita lewati dengan baik. Aku mungkin masih bisa mencoba mempertahankanmu.” Kamu melanjutkan kata-katamu.

Takdir? Bersama? Dengan semua luka yang luar biasa banyaknya? Aku tak seyakin itu, Matahari.

“Aku masih bisa jelasin semua ke keluargaku. Asal kaamu bersedia ikut denganku. Tentang pengganggu itu, pasti bisa kita singkiring bareng-bareng. Asal kitaa sama-sama, pasti kita bisa.”

Aku tergugu. Kata-katamu itu mengandung berjuta harapan. Dan aku juga ingin harapan itu terwujud. Tapi, “kamu bilang, kita nggak bisa mengubah takdir. Kamu bilang, Matahari dan Bulan nggak bisa berada di satu langit yang sama.”

Aku bisa merasakan genggaman tanganmu menguat. Aku tahu, kamu mungkin mulai sadar ke arah mana aku akan membawa percakapan sore ini.

“Mungkin, kita memang nggak ditakdirin sama-sama,” tukasku. Kutarik tanganku dari genggamanmu. Kuberanikan diri untuk menatap ke arahmu. “Aku nggak bisa bareng kamu lagi. Aku juga nggak bisa ketemukeluarga kamu. Mereka pasti nyalahin aku. Aku nggak mau.”

“Ai?”

“Aku mau kita pisah di sini aja. Nggak ada kamu dan aku lagi. Nggak ada kita lagi. Aku mohon. Ikutin kata-kata orangtua kamu buat jauhin aku. Dan jangan pernah hubungi aku lagi.” Kata-kata itu mengalir begitu saja dari mulutku. Aku bahkan tak meneteskan airmata. Tapi rasa perih menusuk-nusuk dadaku.

Tuhan... bantu aku. Batu aku untuk bertahan dan melepaskan Matahariku. Membiarkan dia pergi sejauh mungkin. Aku masih ingin melihatnya bersinar. Walaupun bukan untukku dan duniaku lagi.

“Ai, kamu ngomong apa? Aku masih bisa memperbaiki semuanya. Aku masih bisa perjuangin semuanya. Aku masih ingin kita bersama. Kita...”

“Aku nggak!” Kupotong kalimat yang hendak kamu ucapkan. Maafkan aku, Matahari. Tapi aku bisa goyah kalau harus mendengarkan kelanjutan kalimat yang berisi harapan indah itu. “Aku nggak bisa. Aku nggak mau sakit lagi. Aku nggak mau jatuh lagi. Aku juga nggak mau berharap untuk orang yang bahkan nggak bisa menjanjian kepastian tentang hubungan ini. Aku udah nggak punya rasa itu untuk kamu lagi!” Aku menekankan setiap kalimatmu dalam-dalam.

Pedih. Itu yang aku tangkap dari matamu. Dan kesakitaan itu semakin terlihat jelas saat aku malah mundur ketika kamu mendekatiku. Penolakan. Ya, aku tahu. Penolakan itu membuat langkahmu terhenti.

“Ai, aku udah mikirin semaleman. Aku, kita, pasti bisa lewatin semua ini. Aku janji, aku akan ngelindungin kamu."

Aku tersenyum sinis. Entah darimana aku belajar tersenyum sesinis itu kepada Matahariku. "Melindungiku? Kamu bahkan pernah pergi tanpa kabar dariku. Melindungi dari apa?"

"Tapi aku pergi bukan karena ninggalin kamu. Aku pergi untuk jaga kamu!" Suaramu mulai terdengar frustasi. Aku tahu, kamu pasti kecewa sekarang padaku, Matahari.

"Ini!" Aku menarik lengan bajumu. Tuhan... aku nyaris memelukmu saat melihat betapa panjang luka itu menggores lenganmu. "Melindungi dengan menimbulkan luka sebesar ini?" Nada suaraku mulai bergetar. Aku tahu, aku harus cepat-cepat pergi dari sini, pertahanan diriku tak mungkin bisa lebih dari 10 menit lagi.

"Ini, aku..." kalimatmu gugup. Kamu mencoba menyembunyikan bekas luka itu dariku. Tapi percuma. Aku sudah melihatnya. 

Perlahan, aku mundur menjauhi Matahariku. Mataku menatapnya memohon. kubalikkan badanku hingga membelakanginya. “Maafin aku, Bang. Maafin. Kita nggak bisa sama-sama lagi. Seperti yang beberapa hari lalu kamu bilang. Gerhana matahari. Mungkin ini puncaknya. Gerhana nggak bisa bertahan lama. Semesta bisa binasa kalau matahari dan bulan terlalu lama bersama. Dan kita, aku dan kamu. Kita bisa menghancurkan sekeliling kita, kalau kita terus bersama.” Lirih kata-kata itu kuucapkan. 

Maafkan aku, Matahari. Gerhana ini, tak bisa berlangsung lebih lama lagi. aku berusaha melindungimu, semestamu dan juga semestaku. Tuhan... bantulah Matahariku. Aku tak akan meminta hal lain lagi. Jagalah Matahariku. Perlahan air mataku menetes. Airmata yang susah payah kutahan sejak tadi. Langkahku semakin cepat dan semakin jauh dari bibir pantai. Aku harus bergegas. Aku tahu, Matahariku tak akan terdiam dalam waktu yang lama. Dan aku tak akan bisa melepaskan lagi jika dia melihat airmataku.

***
Jika nanti terlahir kembali ke dunia...
Aku akan meminta untuk menjadi pantai...
Dan aku akan berdoa agar kamu bisa menjadi senjaku...
Tapi jika aku tetap terlahir sebagai Bulan...

Aku akan memintamu untuk menjadi bintangku... 

© Airalaks, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena