Satu
minggu sudah aku tinggal bersama gadis ini. Seorang gadis cantik yang selalu
tampak anggun dengan balutan kerudungnya, seorang gadis cantik yang selalu
memperlakukan aku dengan lembut dan penuh perhatian. Ia sangat menyayangiku.
Kemanapun ia pergi, ia selalu membawaku dan selalu menceritakan peristiwa
apapun yang terjadi dengannya sepanjang hari.
Aku
masih ingat saat pertama kali ia menyentuhku dan memilihku di antara
jenis-jenisku yang lain. Tanpa melihat ataupun memilih yang lainnya, ia
langsung meraihku dan membawaku pulang. Menimang-nimangku, seolah aku adalah
benda paling berharga yang pernah ia miliki.
Aku
juga masih ingat saat ia pertama kali bercerita kepadaku. Cerita gembira karena
sekarang telah memilikiku, dan cerita-cerita bahagia lainnya. Ia bercerita
dengan lembut. Lembut tanpa menyakitiku sedikitpun. Aku bahagia bisa dimiliki
oleh gadis cantik seperti dia. Namun, kebahagiaanku perlahan memudar. Tiga hari
berlalu, aku mulai mendengarkan ia bercerita dengan air mata yang sering kali menetes.
Aku sedih melihatnya. Tangisnya mulai mewarnai setiap kalimat yang ia ceritakan
padaku. Dan hal itu berlangsung hingga sekarang ini.
***
Hari
ini, ia kembali bercerita. Ia menunjukkan selembar foto, bergambarkan sosok
laki-laki yang tersenyum manis, dengan lesung pipi yang menghiasi kedua
pipinya. Aku, seperti biasa, selalu menyimak ceritanya dengan sabar. Namun hari
ini, kesedihan yang terpancar dalam setiap rangkaian kalimat yang ia ceritakan,
membuatku juga ingin meneteskan air mata. Jika saja aku bisa menangis. Aku
pasti sudah menangis bersamanya. Bukan hanya menampung tangisannya, tapi juga
ikut berbagi tangis dengannya.
***
Lagi,
hari ini ia kembali membelai hatiku dengan guratan kalimat penuh kesedihan.
Kenapa goresan kata-kata ini semakin lama semakin menyayat? Kenapa ia tak lagi
membubuhkan senyum saat ia membelai hatiku? Aku rindu dengan celoteh riangnya.
Aku rindu dengan senyum manisnya. Jika saja bisa, aku ingin berteriak dan
memarahinya. Aku sedih melihat setiap tetes bening yang selalu membasahi kedua
pipinya dan ikut membasahi badanku juga.
Ah,
apa yang harus aku lakukan? Kesedihan itu semakin lama semakin memuncak. Untuk
hari ini, bahkan aku merasakan tetes lain selain air matanya. Tetes berwarna
merah pekat dan kental. Tetes yang ikut menetes saat bening air itu menetes.
Harus bagaimana aku membantunya? Aku melihat kesedihannya, aku melihat
kesakitannya, tapi yang bisa aku lakukan hanyalah menatap dan menampung satu
persatu rangkaian kata dalam cerita-cerita sedihnya.
Ya,
hanya cerita sedih, tanpa ada emosi lain selain sedih dan kesakitan. Ah, aku
benar-benar benci menampung cerita sedih seperti itu. Badanku harus basah oleh
tetesan air mata, atau malah ingus yang tak mampu tertahankan karena isak yang
semakin lama semakin meninggi. Dan sekarang, ada tetesan lain yang ikut
mewarnai. Ya, tubuhku sudah seperti kanvas yang bercampur cairan-cairan alami
yang keluar dari tubuh manusia.
***
Sudah empat hari gadis itu tak lagi bercerita padaku. Apakah ia mengerti bahwa aku tak
suka menampung cerita sedihnya? Entahlah, tapi aku merindukannya. Kemana ia?
Ah, jika saja aku bisa mencarinya. Tak hanya berdiam di atas meja kayu ini.
Diam dalam kesunyian kamar ini. Diam dalam cemas karena tak melihat gadis itu
beberapa hari ini.
Jgrek.
Pintu kayu berwarna coklat itu terbuka perlahan. Aku langsung bersorak riang.
Berharap kalau yang muncul itu adalah si gadis manis pemilikku. Namun harapanku
kandas seketika. Bukan, bukan gadis itu yang datang, tapi gadis lain dengan
rambut dikuncir ekor kuda. Gadis ekor kuda itu langsung meraihku. Membuka
gembok yang selalu terpasang guna menjaga kerahasiaan yang setiap hari aku
tampung dari gadis manis pemilikku. Gadis ekor kuda itu membuka rahasiaku dan
pemilikku. Menatap setiap rangkai kata yang ditumpahkan pemilikku. Lalu aku
melihat bening yang menetes dari kedua mata gadis ekor kuda itu.
Ya,
ya, ya. Gadis itu pasti ikut merasakan sedih dan sakit dari setiap guratan kata
yang ada di bagian-bagian tubuhku. Gadis itu membuka setiap lembar bagian dalam
tubuhku dengan cepat. Hingga akhirnya aku melihat kedua matanya terbelalak
kaget. Ya, gadis ekor kuda itu akhirnya melihat juga lembaran-lembaran yang
dipenuhi oleh tetes berwarna merah pekat yang telah mengering itu.
“Ini
nggak mungkin....”
Aku
mendengar suara lirih dari gadis ekor kuda itu. Ah, jika saja bisa, aku ingin
berteriak dan menamparnya. Bagian mana yang tidak mungkin? Semua bahkan sudah
terpampang jelas di lembaran tubuhku. Tetes merah yang telah mengering itu
buktinya. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan saat akhirnya gadis ekor
kuda itu menutup tubuhku dengan kasar dan memasukkan aku ke dalam tasnya yang
gelap. Mau dibawa kemakah aku? Aku tak ingin meninggalkan kamar ini. Tidak
tahukah ia, kalau aku tengah menunggu pemilikku yang manis dan lembut pulang?
Oh, Tuhan... bagaimana ini?
***
Bruukk!!!
Sialan! Gadis ekor kuda itu membantingku ke atas meja kayu yang keras ini. dia
pikir dia siapa? Bahkan pemilikkupun selalu memperlakukan aku dengan lembut.
Lalu kenapa ia....
“Baca
ini!”
Aku
mendengar gadis ekor kuda itu berkata. Suaranya terdengar terluka. Lalu sebuah
tangan besar meraihku. Oh, aku mengenali wajah ini. Ini wajah lelaki yang
fotonya sering diperlihatkan oleh pemilikku. Aku jadi penasaran, siapa
sebenarnya laki-laki ini. sepenting apakah ia untuk pemilikku? Dan apa yang
sudah ia lakukan hingga membuat pemilikku selalu menangis.
Lelaki
itu tak berkata apa-apa saat mulai membuka lembar-lembar tubuhku. Namun, aku
dapat melihat gurat gelisah dan bersalah yang perlahan mulai muncul di
wajahnya. Ada apa sebenarnya ini. Ah, jika saja aku bisa berteriak dan bertanya
langsung. Aku benci menebak-nebak dalam diam seperti ini. Tak bisakah laki-laki
ini mengeluarkan suara?
“Apa
maksudnya ini?”
Laki-laki
itu bertanya sambil menutup kasar diriku. Lagi, lagi aku harus diperlakukan
seperti ini. Aku benar-benar merindukan pemilikku yang selalu lembut. Dimanakah
ia sekarang?
“Nadia
sakit, kamu selama ini salah paham. Aku tunjukkan itu ke kamu, agar kamu sadar
dan berfikir. Nadia bukanlah wanita jahat seperti yang selalu kamu tuduhkan.
Sekarang Nadia ada di rumah sakit.”
Lalu
gadis ekor kuda itu beranjak pergi. Ya, ya, pemilikku jelas bukan orang jahat.
Justru laki-laki inilah yang jahat karena telah membuat pemilikku yang manis
selalu menangis. Oh, apa yang harus aku lakukan? Pemilikku ternyata tengah
terbaring sakit. Jika saja aku bisa, aku ingin berteriak pada laki-laki ini.
berteriak agar ia bergerak dan pergi ke tempat dimana pemilikku berada. Bukan
malah berdiam diri dan termenung seperti ini. Aku ingin melihat pemilikku. Aku
rindu celotehnya.
Ah,
jika saja aku bisa....
#NarasiSemesta
Einca,
2014