Senandung RASA Ketika hati dan otak mulai tak mampu lagi menampung rasa dan lisan tertahan untuk menyenandungkannya, maka tulisan mengambil alih untuk menyampaikannya. Menyenandungkan semua tentang Rasa...

Senin, 22 Desember 2014

Mati....


“Berhentilah memikirkannya, dia sudah dipinang orang lain.”

Kata-kata itu terus menggema di kepalaku. Menerjang jaringan otakku. Hingga nyaris mematikan syaraf-syarafku. Aku tahu! Bahkan kertas undangannya masih kupegang erat di tanganku. Sangat erat. Hingga kertas undangan itu remuk.

Demi Tuhan, aku benci setiap kali Ranu—teman baikku—mengulang-ulang kalimat tersebut. Kadang malah terselip tawa mengejek yang membuat kesalku semakin memuncak. Seperti sekarang misalnya. Ranu asyik tertwa dan merebut undangan yang kupegang.

“Lihat ini. Lia dan Doni. Yang akad nikah akan diselenggarakan pada tanggal 26 Desember, 2014.” Ranu menatapku dengan tawa mengejek. “Tiga hari lagi, Rio. Kamu sudah tak memiliki kesempatan lagi. Dia akan menjadi istri orang. Sepupumu sendiri.” Ranu menekankan kata istri dan sepupu, tajam.

Bah! Aku tahu itu. Tapi kesempatanku masih terbuka sebelum ijab qobul itu berlangsung kan? Tiga hari. Aku rasa aku masih bisa mengubah dunia. Aku tahu, bukan kemauan Lia untuk menerima pinangan Doni. Gadis itu menyukaiku. Aku yakin itu. Dan Doni, dia hanyalah sepupu tak tahu diri yang tega merebut kekasih hati sepupu kandungnya sendiri.

“Aku pergi dulu,” kuucapkan kalimat itu sambil beranjak meninggalkan Ranu dan kamarku. Tak kuhiraukan teriakan Ranu yang berusaha menahan langkahku. Ada yang harus kuurus. Dan aku, harus bergegas.


***


“Maaf.”

Hanya kata-kata itu yang keluar dari bibir mungil Lia, saat aku menuntut penjelasan tentang kabar pernikahannya.

Maaf? Bukan maaf yang sekarang kubutuhkan! Aku butuh penjelasan. Dan gadis ini, sama sekali tak memberi apa yang aku inginkan. Selain kata maaf, yang itu tak menjawab apapun.

“Kenapa Doni?” tanyaku kemudian.

“Dia pilihan orang tuaku,” jawabnya lirih.

“Lalu bagaimana dengan aku?” tuntutku lagi. “Tidakkah kamu memikirkan aku, saat kamu menerima pinangan itu?”

“Bukan aku yang menerimanya, Kak. Bukan aku. Tapi kedua orang tuaku.” Untuk pertama kalinya sejak percakapan itu berlangsung, Lia menatap mataku. Hingga aku bisa melihat jelas matanya yang kini mulai memerah. “Orang tuaku lebih menyukai Kak Doni, daripada kamu,” lanjutnya.

Aku terdiam. Kuatur napasku yang mulai memburu lantaran sesak yang kini merajam. “Batalkan pernikahan itu!” pintaku tanpa tedeng aling-aling.

Lia terperanjat. Matanya membulat. Bening yang sejak tadi ditahannya, kini perlahan turun dan membanjiri kedua belah pipinya. Pelan, Lia menggelengkan kepala, lalu berjalan mundur hingga jarak semakin tercipta antara aku dan gadis berkerudung cokelat itu.

“Aku tidak bisa. Maaf.” Dan dengan dua kalimat singkat itu, Lia berlalu dan benar-benar berlari meninggalkanku dalam kemarahan yang membuncah.

Demi Tuhan! Aku tak akan pernah mengizinkan dirimu bahagia dengan lelaki lain, Lia. Aku tak akan pernah membiarkanmu menikah dengan lelaki lain. Tidak ada yang boleh memilikimu selain aku. Dan jika aku tak bisa memilikimu, maka semua yang ada di bawah langit itu, juga tak boleh memilikimu.

Aku tak tahu setan apa yang kini menguasai otakku, yang aku tahu, aku menginginkan sebuah kebinasaan. Kebinasaan atas raga yang tak mungkin kurengkuh.


***


Mati.

Aku benci kata itu. Satu kata itu bergaung di kepalaku. Nyaring. Lantang. Sungguh, aku menyesal telah mengucapkan kata itu. Aku menyesal karena satu kata itu, aku benar-benar kehilangan Lia untuk selamanya.

Tak kusangka, pertemuan dengan Lia siang itu, adalah pertemuan terakhirku dengannya. Berita yang kudengar saat sore harinya, benar-benar bagai rangkaian mimpi buruk yang semakin mencekikku.

Bukan ini yang kuinginkan. Bukan. Aku bahkan tak sanggup untuk datang dan melihat jasad terakhir Lia, sebelum gadis itu dikebumikan di dalam rumah abadinya. Pun hingga seminggu kematiannya, aku tetap tak berani mengunjungi pusaranya. Aku terlalu takut dan aku merasa bersalah.

“Yo, kamu dengar tidak desas desus yang beredar di desa ini sekarang?” tanya Ranu, saat sore itu dia datang bertandang ke rumahku.

Aku menggeleng. Bukan hobiku mendengarkan desas desus yang beredar di masyarakat.

“Kamu mau dengar nggak?” tanyanya lagi, kali ini dengan wajah yang sangat serius.

Aku menggeleng lagi. Tapi Ranu tetap melanjutkan ceritanya, tanpa peduli aku mau mendengar atau tidak.

“Warga bilang, Lia jadi arwah penasaran. Sering terdengar tangisan Lia di kamarnya,” ucap Ranu. “Bahkan, Pak Nardi pernah mendengar tangis Lia, saat dia lewat di depan makam Lia,” lanjutnya.

Aku tertawa sinis. Lia menjadi arwah penasaran? Gadis alim dan rajin beribadah seperti itu, mana mungkin jadi hantu. Sungguh bodoh warga desa ini.

“Adiknya Lia, Eka, pernah dengar tangisan Lia yang menyebut namamu, waktu dia mau merapikan kamar almarhumah Lia.” Ranu kembali bercerita. Dan kali ini, dia berhasil membuatku terperanjat.

“Jangan menyebar gosip murahan!” sentakku kesal. Aku tak suka gadis yang kucintai menjadi gunjingan.

Ranu mengangkat bahu, “Kamu boleh tak percaya. Tapi begitulah kabar yang kudengar,” ucapnya. “Lagian, kenapa kamu tidak juga mengunjungi makam Lia? Mungkin dia....”

Kata-kata Ranu tak lagi kudengar. Aku sudah mengayunkan langkah cepat bahkan sebelum kalimat mengunjungi makam Lia, keluar dari mulutnya. Aku tak tahan mendengar desas desus murahan itu. Dan aku harus mencari tahu sendiri


***


Hantu? Arwah penasaran?

Aku ingin menendang orang berani mati yang menyebarkan desas desus murahan itu. Sudah satu jam lebih aku duduk di depan makam Lia, tapi tak sekalipun kudengar tangis seperti yang Ranu ceritakan. Yang ada hanyalah desau angin yang bertiup cukup kencang, dan bunyi kodok-kodok yang bermain di rawa-rawa yang letaknya tak jauh dari pusara Lia.

“Lia,” lirih nama itu kusebutkan. Tanganku terulur menyentuh gundukan tanah kuning yang masih menyisakan taburan bunga kering di atasnya. Pilu. Harusnya aku mengunjungi makam ini lebih cepat. “Maaf,” hanya kata itu yang sanggup kuucap.

Bening hangat air mataku, perlahan turun. Aku tahu aku bersalah. Aku menginginkan kematian gadis yang kucintai. Aku terlalu egois. Dan aku terlalu penakut untuk datang dan menghaturkan doa untuknya. Aku benar-benar bersalah. Sangat bersalah.

“Maafkan aku,” ucapku lagi. “Maafkan aku yang baru datang sekarang. Aku menyesal.” Tergugu, aku mulai terisak dengan tangan yang menggenggam erat tanah pusara Lia. “Maafkan aku Lia.” Dan aku tak bisa mengucapkan apa-apa lagi. Lidahku kelu. Hanya isakku yang kini terdengar memenuhi area makam yang sunyi dan mulai menggelap.

Syuutt....

Angin kencang tiba-tiba bertiup sendu tepat di depan wajahku. Isakku terhenti. Sebuah bunga kamboja jatuh tepat di pangkuanku. Apa ini? Pikirku bingung. Kupungut bunga itu. lama aku terdiam dan hanya memandanginya, namun sesaat kemudian aku tersadar. Lia telah memafkanku. Aku yakin itu.

Perlahan, isakku benar-benar menghilang. Senyum lebar kini tersungging sebagai gantinya. “Terima kasih,” ucapku lembut sambil meletakan bunga kamboja itu, di dekat papan nisan yang bertuliskan namanya. Kemudian, kuputuskan untuk memanjatkan doa yang kutahu. Aku ingin kekasihku bahagia di taman nirwana. Bersama cahaya Tuhan yang kuyakin menyertainya. Seperti bidadari.


Setelah tinggal beberapa saat di bawah langit lembut sambil memandang ngengat mengepak-ngepakkan sayap di antara rawa-rawa dan bunga harebells berwarna biru, kupasang telingaku untuk mendengarkan angin sepoi yang berembus di antara rerumputan. Sementara benakku berpikir, bagaimana mungkin orang-orang dapat membayangkan bahwa mereka yang terbaring di kedalaman tanah yang tenang ini berkeliaran sebagai roh-roh yang gelisah.

***


(1.081 kata. Kalimat penutup diambil dari novel  berjudul Wuthering Height karya Emily Bronte. #ImajinasiPenutup @KampusFiksi)


Kamis, 18 Desember 2014

Harap Rindu Padamu


Dalam keheningan hati, aku tertegun dalam sebuah lamunan. Menikmati sebuah nama. Menikmati segunung rindu. Rindu. Iya, rindu dalam sepi. Aku takut. Sepi itu makin menyata. Mereguk sukma, timbulkan lara. Aku juga takut, rindu itu tidak lagi dapat kunikmati, tapi malah mulai menyesaki. Membunuh dalam diam.

Bisakah kamu hadir dan memeluk erat ragaku? Bukan sekadar igau dalam keping mimpi. Bukan sekadar lamun dalam keping khayal. Kamu tahu, gerimis tangisku mulai menghasilkan lara. Hening hati dalam sunyi rindu merajam telak. Menusuk kalbu, menyesap lara. Kamu tahu, semua lambat laun mulai menyeretku dalam lautan sunyi tanpa tepi. Kamu tahu, rindu akanmu memaksa langkahku menempuh sebuah perjalanan indah, namun luluh-lantak. Kamu tahu, kaki-kakiku mulai kelu. Lututku mulai tak mampu bertahan. Jemariku mulai kuyu. Bahkan tubuhku pun, mulai menyusut.

Apakah kamu mendengar? Mendengar jerit lara rindu yang hatiku teriakan?

Pernahkah kamu mendengar kisah lara Romeo dan Juliet yang mati sesak karena menahan rindu dan cinta yang terpisah? Atau, pernahkah kamu mendengar kisah Chatrine yang tersandung luka, karena membiarkan Heathcliff menumpuk rindu sekian lama? Kamu tahu, aku nyaris menggila. Dalam balutan rindu yang tak bertepi. Dalam kungkungan cinta yang sepi.

Haruskah aku menjadi Juliet, yang memutuskan mati suri demi kehadiran ragamu? Atau aku harus menjadi Chatrine, yang harus meninggalkan rindu juga cinta, jauh di belakang. Meninggalkan keduanya dan menghapus namamu. Kalau aku begitu, akankah kamu menjadi Heathcliff yang nantinya akan membunuh jiwaku, dan menghancurkan raga nyatamu?

Tuhan, bisakah Engkau pecahkan kerangkeng rasa ini? Bisakan Engkau hadirkan dia, nyata di hadapanku? Aku tak ingin menjadi Juliet. Akupun tak ingin menjadi Chatrine. Aku hanya ingin menjadi Putri Salju, yang tertidur lelap, tanpa merasa sakitnya merindu. Putri Salju yang tanpa harus meneriakan apapun, bisa mendapatkan Pangerannya. Putri Salju, yang tanpa harus terkungkung rindu dalam kesakitan, bisa kedatangan Pangerannya.

Aku ingin. Ingin seperti itu. Mendapatkanmu tanpa harus melalui kesakitan yang membuatku nyaris mati.

Kamu. Iya, kepada kamu. Aku percayakan rindu ini. Aku percayakan hening hati ini. Kepadamu. Berharap kamu mendengar jerit dalam tangisku. Berharap kamu mendengar denting lonceng rindu, yang telah kukirimkan. Dan berharap kamu, meretas semua, dan hadir dalam nyata. Di hadapanku, Tuan.

NIKAH!!!


Jreng!!!

Kali ini gue mau bahas tentang nikah ah. Iya, nikah. NIKAH!!!

Menurut beberapa hadits di agama gue (jangan tanya haditsnya. Gue nggak hapal), nikah itu sumber segala rezeki. Nikah itu membuka segala pintu rezeki yang selama ini tertutup menjadi terbuka lebar. lebar banget. Nikah juga kenikmatan tiada tara. Luar biasa dan spektakuler. Terpenting lagi, nikah itu menyempurnakan ibadah. Nah, jadi kalau yang belum nikah, padahal udah cukup umur, cukup finansial, dan cukup semuamuanya, ibadahnya belum sempurna kalau belum nikah! Nah loh. *abaikan aja yang ini* XD

Gue nulis gini, bukan karena gue pengen nikah sekarang. Bukan kok. Tapi, ini berdasarkan request seorang adek, yang keplak-able manis banget. Dan lagi, di grup yang gue ikutin, ada seorang Kakak yang ampe sekarang belum nikah juga. Alasannya, karena belum bisa move on! Heyaahhhhh.....

Nikah. Menikah.
Well, dua kata itu, the big big disaster bagi Kakak yang itu kayaknya. Nggak cuma Kakak yang itu sih, bagi gue juga--kayaknya. Yah, bukan gimana-gimana sih, setiap ketemu keluarga, mesti banget ditanya "kapan nikah?", "calon mana?", "calonnya jauh nggak?".

Serius, gue pengen banget ngeremukin muka orang yang cetusin pertanyaan-pertanyaan kurang aja itu. Tapi kan nggak mungkin, gue anak muda soalnya. Iya, gue anak muda! Gue masih muda! Kenapa masih nanya-nanya nikah coba ke gue? Belum lagi, ada aja anggota keluarga yang nyodorin calon ini, calon itu, calon anu, berbagai macam calon. Yang itu bikin dilema!

Nggak cuma itu. Kayaknya, status single yang gue sandang tuh bikin riweh orang banyak deh. Gue yang single, kok kalian yang heboh? Gue single bukan berarti ga punya calon tahu! Ada kok! Serius! *tunjuk abang yang anu* hahahaha....

Gue ngomong gini, bukan karena gue nggak mau nikah. Mau kok. Tapi nanti. Iya nanti, Setelah gue dapet pencerahan. Kalau sekarang nggak. Tapi, gue pengen sohib gue nikah secepetnya. Iya. Hihihi *tunjuk si anu*. Nikah gih! Juga buat Kakak yang nganu. hohoho....

Buat yang hobi banget nanya, kapan nikah? kok masih jomblo aja? Nggak laku ya? Gandengannya mana? .... dll, etc, dsb, blablabla.... Ini buat kalian semua.

Gue, kami, para singlewan dan singlewati--gue ogah dibilang jomblo--pasti nanti bakalan nikah. Pasti, Insha Allah. Sabar aja. Tunggu undangan. Toh kalau kami nikah, kalian cuma nunggu makan gratisnya kan? Syukur-syukur kalau sempet doain yang nikah. Kadang malah inget sama jamuannya doang. Ya kan? Ngaku?!

Gue, kami, para singlewan dan singlewati, kami bukan jomblo. Khususnya sih gue. Terserah kalau yang lainnya mau dibilang jomblo. Kami sendiri, memang. Tapi hati kami nggak sendiri. Ada kok yang nyantol di hati. Tapi sekarang, kami, gue terutama, bukan mentingin status pacar. Status pacar kan nggan mengikat. Just status. Right? Status kosong. Tapi, bukan berarti gue nggak mencinta. Ada, tapi biarkan mengalir like a water. Halus.... aja. Cinta nggak perlu diikat dengan kata, "jadi pacar gue ya?".

Gue, kami, sendirian bukan karena nggak laku. Please. Ya, mungkin ada. Tapi gue nggak termasuk. *angkatdagusongong*. SIngle itu pilihan. Dan sekali lagi gue tegasin, gue single. Ayo sini tunjuk jari yang merasa single, bukan jomblo!

Status. Sebuah komitmen. Sebuah hubungan. Apalagi yang terikat dengan sebuah ijab qobul yang suci, nggak segampang itu dijalaninnya. Kelar ijab qobul beres. Nggak. Banyak yang dipikirin. Banyak yan dipertimbangin. Banyak banget. Jadi, nggak asal ceplos, nikah dong! Lo aje sono sama keluarga lo! Hih.

Nikah itu, komitmen yang berat. Kalau cuma mikir dangkal buat ngejar kenikmatan awal semata, rentan cerai! Mau? Gue mah ogah. Nikah itu nggak segampang beli bawang di pasar. Beli bawang aja mahal banget sekarang. Apalagi nikah. Butuh dana, butuh kesiapan, butuh kemantapan. Yang terpenting, butuh kesiapan mental lahir batin. Siap nggak jadi Ibu dan istri yang baik. Siap nggak jadi suami dan ayah yang baik. See, nikah nggak segampang kata kalau dipikirkan dengan panjang. Tapi ketika memang segalanya telah siap, nggak boleh lagi nunda-nunda nikah. Nggak baik. Huhu


Einca, 2014

Minggu, 16 November 2014

Tentang Dusta....


Jika nanti waktunya tiba, akan ada sakit yang tercipta. Akan ada kebohongan yang terungkap. Mungkin akan ada kematian yang datang. Jika nanti bibirku tak sanggup untuk menyampaikan semuanya, mungkin lewat lembaran buku ini kamu bisa mengetahuinya.

Mengetahui tentang semua tanya yang tak pernah sempat kujawab....

Aku terpaku menatap deretan terakhir dari semua tulisan yang tergores di dalam lembaran diary biru itu. Tepat di hari ke sepuluh –sejak ia mulai tak sadarkan diri-  aku mengetahui semuanya. Sayang, aku mengetahui semua itu bukan langsung dari bibirnya. Aku mengetahuinya dari sebuah diary yang diberikan oleh kakaknya.

Kebohongan.

Semua ia sembunyikan dariku. Dengan rapi dan tertata cantik. Sempurna. Aku benar-benar tertipu. Harusnya aku menyelidiki semuanya dulu sebelum aku jatuh ke dalam perangkap cintanya. Tapi terlambat. Gadis cantik itu memang telah berhasil menghancurkanku. Dan sekarang, ia terbaring tak sadarkan diri dengan berbagai macam selang yang memenuhi tubuhnya. Sementara aku, hanya bisa menyaksikan dari lorong, tepat di depan ruangan tempat ia dirawat.

“Maafin Dinda, Dika. Aku mohon....”

Aku menghela napas mendengar kata-kata yang keluar dari bibir Kara. Aku ingin memaafkannya, tapi kebohongan yang ia buat, hampir membuatku mati.

“Aku nggak tahu Kar. Aku...”

“Tapi Dinda begitu karena kamu!” Kara menyela tajam.

Aku mengerjap. Karenaku? Bagaimana bisa? Tak ada satupun kalimat yang tertulis di diary itu, tentang kesalahan yang kubuat. Gadis yang kucintai dengan segenap jiwa dan sekarang terbaring tak sadarkan diri itu, hanyalah gadis pshyco yang ingin menghancurkanku dengan sebuah kebohongan berkedok cinta!

“Kamu nggak tahu kan kenapa Dinda melakukan semua kebohongan itu?” Kara menatapku tajam. Bibirnya bergetar saat berkata, “empat tahun lalu, kamu pernah menyakitinya. Ingat? perlakuanmu yang membuat Dinda pergi mendendam. Perlakuanmu juga membuat Dinda hampir mati bunuh diri.”

Aku terhenyak. “Maksudmu apa?” tukasku kesal.  Suaraku menggema di lorong yang tak seberapa ramai itu.

Kara tertawa sinis. Mata cokelatnya sekilas menatapku miris. Kara lalu mengalihkan pandang ke arah Dinda. Matanya menerawang jauh. Lalu aku melihat bening cokelat itu meneteskan airmata. “Empat tahun lalu, di lorong rumah sakit. Di Bandung. Harusnya kamu ingat. Waktu itu....”

Dan mengalirlah kisah yang sama sekali tak kuingat. Otakku memanas. Aku mencoba mencerna cerita yang Kara sampaikan. Perlahan ingatan itu mulai datang. Semua kilas balik berputar di kepalaku. Semuanya.

***

Malam belumlah larut saat aku tiba di rumah sakit itu. Mataku liar mencari-cari di sepanjang lorong yang sepi. Hingga akhirnya aku menemukan gadis itu –Dinda- adik tingkatku di kampus, yang juga pacar dari sahabat baikku. Aku melihat ia duduk dengan tubuh gemetar. Rambut pendeknya basah. Bajunya kotor. Bahkan aku melihat ada beberapa bagian yang robek dari kaos biru yang ia kenakan.

“Apa yang terjadi? Kamu apain, Rian?” tuntutku begitu aku tiba di depan gadis itu. kedua tanganku mencengkeram erat kedua pundak Dinda.

Dinda tergugu. Bibirnya bergetar. “A... ku... dia... bukan aku yang bikin dia jatuh ke jembatan. Bukan aku.” Gadis itu menjawab terbata. Matanya menatapku memohon.

“Bukan kamu? Kamu dorong dia! Iyakan?” Emosiku meluap. Aku bahkan mengguncang tubuh mungil itu dengan keras.

“Tapi dia...”

“Pergi kamu dari sini! Kamu itu cuma cewek pembawa petaka! Kalau Rian mati, aku nggak akan biarin kamu hidup bebas!”

“Bang...”

Aku memalingkan wajah. Kudorong Dinda sekeras mungkin hingga gadis itu terjatuh. Aku sempat melihat matanya menatapku memohon. Tapi aku mematikan hati. Kutinggalkan ia sendiri di lorong dan aku bergegas masuk ke dalam ruangan tempat Rian terbarin lemah.

***

“Dinda diperkosa. Oleh sahabatmu! Dan kamu malah mengusirnya. Harusnya kamu dengar penjelasan dia! Wajar nggak kalau Dinda mendendam?”

Sinis. Tajam. Kalimat Kara menusukku telak. Dalam hati aku mengutuk Rian yang telah menipuku mentah-mentah! Andai saja waktu itu aku mau membuka mataku lebar-lebar. Kalau saja waktu itu aku mendengarkan penjelasan Dinda. Kalau saja....

“Dinda memang salah. Dia mendendam bertahun-tahun. Mencari celah untuk mendekatimu. Tujuan utamanya memang untuk membuatmu merasakan sakit yang sama seperti yang ia rasakan dulu.” Kara kembali berkata. “Tapi, satu kesalahan Dinda. Dia benar-benar jatuh cinta padamu. Kalau saja kamu ingat, sering Dinda mencoba mengingatkanmu tentang peristiwa empat tahun lalu.”

Aku terpaku. Otakku kembali mencoba mengingat. Dan aku terduduk lemas di lorong dengan tubuh bergetar hebat. Ya Tuhan. Betapa bodohnya aku.

“Aku, minta maaf...” lirih kata itu kuucapkan.

Kara terisak. “Dinda sudah lama memaafkanmu. Jauh sebelum kamu meminta maaf. Yang Dinda butuhkan sekarang, adalah maafmu, Dika.”

Ya Tuhan.... Aku menatap Dinda yang terbaring di dalam ICU, nanar. Aku ingin masuk ke dalam, sayangnya dokter tak mengijinkan.

Ara..., aku udah maafin kamu. Aku mohon, bangunlah. Aku harus mendapatkan maafmu juga. Aku mencintaimu.... Lirih hatiku berucap. Itu adalah sebuah permohonan. Aku bahkan memanggilnya dengan nama yang ia gunakan saat ia bilang ia mencintaiku. Nama yang ia gunakan untuk membohongiku. Kukerahkan segenap tenaga yang kupunya, kubisikkan barisan-barisan doa yang kubisa, dan berharap Tuhan mengabulkannya.

Tapi Tuhan berkehendak lain. Tepat saat aku selesai berdoa, bunyi panjang dari alat penyambung nyawa yang ia pakai, menghentak seluruh persendianku. Jantungku mencelos. Aku mendengar Kara mulai berteriak panik. Beberapa orang berseragam serba putih masukd an mengelilingi tubuhnya.

Mataku terpaku menatap dokter yang berusaha membuat jantungnya kembali berdetak. Aku menghitung setiap menitnya. Dan di menit kelima, aku melihat dokter menggeleng lemah, bersamaan dengan seorang suster yang menutupi tubuhnya dengan selimut putih.

Ara.... Ingatanku kemali memutar kalimat-kalimat yang sering ia ucapkan dulu.

 “Surga dan neraka itu batasannya tipis. Keduanya berdekatan. Menurutmu, untuk orang yang pernah berbohong, setelah mati nanti, di mana ia akan diletakkan? Surga atau neraka? Menurutmu, seorang pembohong, berhak mati dengan tenang atau tidak?  Kalau suatu saat nanti aku berbohong padamu, kamu mau memaafkanku? Apa kamu malah akan membiarkanku mati dalam kebohongan itu?”




Selasa, 11 November 2014

Ini Tuh Bokap Gue...!!!

Cek... Cek...
1, 2, 3...
Ehemm...

HAPPY FATHER'S DAY......!!!!

Hiyaaak!
Selamat hari ayah seeeeeduniaaaa... *pelukciumbuatBokap*

Jadi, hari ini gue bakal cerita sikit-sikit tentang Bokap gue. Ehem. Ini pertama kalinya gue melankolis gini nulis tentang seseorang yang gue panggil, Papa.

Papa ini adalah pacar pertama gue. Pacar gue satu-satunya dan seumur hidup. Doi manja luar biasa. Sama Mama doang sih, tapi juga berwibawa yang luar biasa binggo! Lucu. Selalu bikin ketawa, walaupun kalau lagi marah, itu nyereminnya bisa ngalahin raksasa ngamuk.

Iyap! Papa gue gendut. Tapi tampan. ini serius. Idolanya banyak cuuyy... Menurut kabar dan cerita yang gue dengar -dan itu nggak hanya dari Mama- Papa ini dari jaman muda ampe sekarang yang naksir banyak. Playboy ih, Pap. Hahaha....

Tapi, walaupun gitu, cintanya ke Mama tuh luar biasa banget. Juga ke anak-anaknya. Perhatian nggak pernah ngurang, walaupun kadang ngalay. Tapi jarang-jarang ada seorang Papa, yang walaupun sibuk binggo, sempet buat nganter-nganterin anaknya kalau anaknya nggak bisa capcus sendiri. Apalagi ke Mama. Gila, gue pengen punya laki kayak Bokap, Emak gue, ngampus dianter, ditunguin, kalau ujian dibantuin. akakakakak.... gue kan nggak bakal capek-capek mikir, tinggal ngadu ke laki, "Yank, aku nggak ngerti nih soal-soalnya bikin pusing, cariin ya, aku tunggu jadi." Hohohoho...

Nggak hanya itu. Ketika gue terkena masalah. Masalah paling berat, paling jelek, paling suram dan paling-paling-paling banget. Papa adalah orang pertama yang tahu -walaupun bukan lewat gue langsung- tapi beliau nggak marah. Kecewa mungkin. Tapi nggak marah. Dengan suara yang ditegar-tegarin, gue inget banget waktu itu Papa bilang, "yang sehat, Nak. Papa kecewa mungkin. Tapi Papa nggak marah, dan kita simpen ini berdua aja. Cuma berdua."

Iyap. Itu jadi rahasia gue berdua sama Papa. Mungkin sampai sekarang, itu masih jadi rahasia kami berdua. Entah kalau ternyata Bokap udah bocorin ke Nyokap. *senggolPapa*

Lalu.... waktu baru-baru ini gue harus merelakan dia yang nggak bisa gue miliki. Ke Papa juga gue ngadunya. Dengan berderai air mata. Padahal udah susah payah sih nahan nangis. Tapi tetep aja. Papa nggak larang. Papa juga nggak cegah gue. Papa cuma bilang, "pikirin lagi. Dia baik..."

Selain itu... waktu gue nyeletuk bilang, "Pa, Ayuk nggak mau nikah!"
Harusnya kalau ayah-ayah yang lain, udah ngamuk anak sulung, anak cewek, nggak mau nikah. tapi Papa nggak. waktu gue ngomong gitu dulu, Papa cuma diem, lalu senyum. Gue tahu beliau kecewa. Maka dari itu gue ubah kalimat gue yang nggak mau nikah itu menjadi, "Ayuk nikah kalau udah kebeli mobil impian satu!" Dan Papa ngakak. Hahahaha... Papa gue emang lucu!

Oh iya, Papa juga orangnya nggak mau kalah. Ke cowok-cowok yang nggebetin ataupun yang udah dapet status pacar anaknya. Papa tuh bakalan selalu bilang gini, "Gila, gantengan Papa coba. Jelek banget tuh cowok!"
Mau kata yang dateng ke rumah seganteng Mario Maurer, gue yakin Papa bakalan bilang gitu juga. Well, Bokap gue emang narsis tiada tara... XD

Banyak dari Papa yan nggak bisa gue tulis semua di sini. Walaupun Papa bukanlah sosok laki-laki yang sempurna dan dulu pernah ngelakuin kesalahan-kesalahan. Tapi kalau memang nanti gue dapet hidayah buat nikah, gue pengen punya suami kayak beliau. Minus overprotective-nya tapi. Sorry Dad... huhuhu...

Dan yang terakhir, yang selalu gue inget banget dari Papa.
Di umur gue yang udah segede ini, kalau gue pergi dari rumah lebih dari empat jam -kecuali kuliah- Papa pasti bakal ng-BBM yang isinya gini, "Dimana, Yuk? Baliklah...."

See? Perhatian banget kan Bokap gue.
Dan gue akui, gue manja luar biasa banget sama Papa. dan Gue ini Daddy's little girl. Selamanya bakal jadi anak manja Bokap gue. Dan selamanya Bokap gue bakal jadi hero buat gue.... *loncatloncat*

And last.... This for you Dad...

Senyummu tak pernah lekang...
Tawamu tak pernah hilang...
Wajahmu selalu ada di manapun mataku memandang...
Engkau tervisualisasikan dalam setiap embusan napas...

Pa,..
mungkin aku pernah membuatmu kecewa...
Aku juga pernah membuat airmatamu menetes...
Dan aku juga pernah membuatmu harus berbohong demi rahasia kita...

Mungkin meminta maaf tak akan cukup...
Mungkin juga hadirku yang kadang masih suka membantah,
tak akan mengganti semua....

Tapi aku menyayangimu...
Bersama setiap deru napasku, 
Engkau adalah satu dari dua yang berarti dalam jiwaku...

Terima kasih untuk ada...
Terima kasih untuk selalu memeluk dalam doa...

Tetaplah seperti ini...
Tetap menjadi laki-laki yang akan selalu kukagumi...

Love you, Pa...


-pelukcium, Ayuk-


Einca, 2014

Senin, 03 November 2014

Tentang Mereka... Kami...

Jengjeng....
Ehem...

Holaaaa semuaaahhh.... 
Kepada #JamaahTyphobia yang dirahmati Allah SWT... sehat nggak? sehat dong yah... :D
Ngak tahu deh ini apaan. Ikutan si Juju, Anggi sama Mey... Dan mereka bertiga ini semena-mena ngatain aku (untuk pertama kalinya nulis beginian pake aku-biar sopan) dengan err~~ banget... bisa-bisanya mereka gosip... ckckck..

Dan sekarang, gantian yak... Aku yang bakalan gosipin kalian semua. Yeay!!
Btw sebelumnya, mereka ini adalah kakak, mbak, adek, saudara, keluarga baru yang mmm... ada kali 3 bulanan kenalnya. Berawal dari sebuah ajang perjodohan absurd yang diadain Mimin KF (Kampus Fiksi) dan jadilah mereka, aku, kami. di dalam sebuah komunitas  jomblo doyan curhat penulis atau menulis. Yang apapun deh. Pokoknya yang ada 'lis'nya... :D
Dan ini dia mereka!!! Yang kadang tengil. Kadang bikin bete (jujur aja, iyakan?), tapi juga udah kayak saudara sendiri. Hahaha... Cekidot!

Kak Reza : 
Dedengkotnya para jamaah typhobia yang err~~ banget. Ampe sekarang aku belum di polbek ama     nih kakak. Sedih? Nggak juga (dalem hati mewek T.T) tapi ya sudahlah. mungkin beliau lagi nutup     ajang polbekpolbekan. *Aku pasrah*. Doi jarang muncul. Sekalinya muncul kadang agak "gila",         kadang juga dengan komenan yang nganunya luar biasa... huhuhu... *sungkem*

Kak Amad :
Ini orang.... Suka banget ngerendah! Itu serius. Demen banget ngrendah. Dan kalau nulis, sangat-sangat memaksakan. Padahal kalau beliau ini bawa nyantai, tulisannya ajegile dah. Kak Am ini, yang punya janji sama aku kalau aku main ke Jakarta ditraktir... Ya kan Kak? huhu... Oh iya, dia ini hobi banget ngaku mirip Ariel. Atau Ariel mirip dia (?). entahlah, hanya Tuhan yang tahu. Dan dia sama aku punya semacam mm... apa bilangnya ya? pokoknya siapa yang novelnya rampung duluan bakal dapet sekotak gede Delfie.. sekotak loh! Bukan sebungkus!

Juju :
Ini anak lucunya parah. Kalau nulis cerpen. Hahaha... Lulusan pesantren yang nganu banget. Dia juga suka banget ngrendah. Pengen aku jitak kadang-kadang! Heu

Ucup :
Dulu sih aku manggil dia Kak. Tapi dia marah :D... Dia ini suka banget pamer tempat yang bikin envy! Hiiiss... suka bete sendiri kalau wa atau bbm sama dia. Yang dikirim itu loh.... T.T

Fikry :
Nah, yang ini nih, sohib gue. Hahaha... Enak banget buat dibully. Orangnya selembut bika ambon. Ahayy... Sekarang lagi cuti melahirkan  menulis. Karena katanya banyak banget kerjaan. Doi lagi menuntu ilmu di negeri padang pasir yang... panasnya minta ampun... pantes lo item, Fik!!! Akakakak... Dia juga ndut.. huum.. buncit! *piiiss*

Fakhri :
Kenal sama dia di grup satu lagi. Bawaannya kadang serius kadang nggak. Lebih sering curhat. Sekalinya nongol di grup chatnya sepanjang kereta api. Yang itu curhatan karena nulis di kafe yang duitnya abis, sampai curhat karena nggak bisa nulis, entah karena alasan apa.

Ilham:
Ini ehemannya Vee... dia ini... kadang nyinyir. Tapi kayaknya sabar banget. Dan dia ini selalu maksa aku nikah! Entahlah, ni anak otaknya sengklek mungkin.

Farid :
Tulisannya okeh... Aku pikir dia udah kuliah. Nggak tahunya masih SMA. hahaha... Imajinasinya tentang telor dan ayam, sesuatu banget. Bacaan ni bocah berat-berat pula. Duh Dek, kasian kepalanya... :D

Kak Eka :
Ibu Guru.... *sungkem*... tempat tukar otak pas komen-komenan tulisan. Sensian. Iya, Kak Ek sensian. Tapi dia asyik banget. AKu aja suka lari curhat ke dia kok.. hoho.. Semangat menulisnya Kak Ek ini, tiada tanding! Ketjeh beud dah pokoknya...

Opi:
Ni anak 11 12 sama aku. Suka Korea. Koleksi bacaan juga nyaris sama. Dan sama-sama ada something kejebret sama Padang, dengan awalan nama yang sama pula! Hahha... Suka nyanyi (kalau nggak salah). Ngerasa Raisa. Dan kalau nulis diksinya cantik. Komen juga detail. Ketjeh pokoknya.

Mey :
Ini dia si admin grup. Anaknya susah ditebak. Lagi kena syndrom cinta terpendam. Uhuk. Ngatain aku Emak, heu. Tapi kadang dia manis kok. Sekalinya ngomong pasti keselip kata hula-hula. Entahlah, mungkin suatu saat nanti aku bakalan kurung dia di peti berisi hula-hula. Haha

Anggi :
Yang ini, males banget kalau nama lengkapnya kepublish. Padahal menurutku bagus loh. :))
Tulisannya full romance. Dengan diksi berbasis puisi. Haha... Anggi ini juga gampang banget galau. Panikan. Tapi lucu. Sasaran bullyannya di Mey.

Icha :
Icha a.k.a Nebeh. Entah siapa nama dia sebenarnya. Asal Palembang. Tetanggan kita ciinn... Hihihi.. Calon dokter gigi yang gila sama anime dan Korea. Lebih gila daripada aku dan Opi kayaknya. Entahlah. Dia jarang nongol. Sekalinya nongol suka ngelawak. Mungkin efek stres karena meriksain gigi semua orang :D

Veeza :
Ini ehemannya si Iam... Bocah banget. Berasa jadi bocah juga kalau lagi ngobrol sama dia. Galauan. Bimbangan. tapi lucu. Suka seenaknya ganti nama orang. Walaupun namaku selamat sih. Hahaha... Pencinta es krim. Dan orang Padang! Deketan pula sama kampungnya ngg... yasudahlah. 

Dan terakhir... Aku.... Tentang aku, deskripkan saja sendiri. Aku pasrah... Hahaha

Okeh.... itu aja deh. Itupun dah banyak banget kayaknya. 
Love you gaes... Semoga nanti bisa maju sama-sama. Semoga nanti kita semua Keluarga Besar #JamaahTyphobia bisa nerbitin buku sama-sama. Dan namanya terpajang cantik di deretan buku-buku laris toko buku di manapun kita berada. Yeay!!!

Pelukcium...

-Einca-
 

Kamis, 16 Oktober 2014

Ketika Nulis yang Lain lebih Uwaw Daripada Skripsi!!!


Jengjeng!!!
Holaaa.... *keluar dari tumpukan kertas-kertas :D

Gila, gue berasa udah lama banget nggak pernah nulis sesuka hati lagi kayak gini di blog. hihihi.... I've missed you my blog... *pelukcium

Baca judul postingan gue kan? Yaph! gue lagi disibukkan sama segala tetekbengek perskripsi-tan. emang yah, gue selama ini suka ngetawain yang bikin skripsi. nah giliran gue, gue berasa dunia gue mau runtuh ke bumi dalam sekejap! Surem! Judul nggak ada yang oke perasaan. Apa gue yang kelewat banyak main perasaan ya? Entahlah. Pokoknya gue menderita karena skripsi. Yang bener kata Bang Alit. Skripsi itu Skripshit banget. Hahahaha

Yah, sebenernya nggak salah skripsinya sih. Akhir-akhir ini, gue lagi disibukkan sama kegiatan menulis yang lain. menulis yang lebih gue cintai. Bahahahaha.... Kegiatan menulis yang mampu mengalihkan gue dari skripsi. saking mengalihkannya, suatu hari waktu gue mau ujian laporan, gue nyaris melupakan ujian itu. Gue keasyikan nulis dari pagi sampai pagi lagi, Dua hari berturut-turut. Hingga pada hari H. Gue melupakan hari penting nan bersejarah yang nantinya akan menentukan kelanjutan hidup gue.

Kalau bukan karena Nyokap gue, gue rasa gue nggak akan inget ada ujian. Hahaha... dengan santainya, dua setengah jam sebelum jam ujian, gue masih golek-golek di kasur. Ngantuk karena efek kurang tidur. Dan leptop masih menampilkan layar word terakhir tulisan gue yang makin kece. Hihihi.... Tiba-tiba, Nyokap yang baru pulang kerja masuk ke kamar gue. Paha gue ditabok. Nggak kenceng-kenceng amat sih, tapi lumayan perih lah. Nyokap bilang,

Nyokap : Yuk, (panggilan gue di rumah, Ayuk. Bukan kata ajakan yah) nggak ke kampus? katanya hari ini ujian laporan.

Gue : Eh? Ujian apaan, Ma? Laporan apa? (muka bengong)

Nyokap : Ujian laporan lah. Buat persiapan skripsi itu. Katanya jam 2.

Gue : Kan hari Kamis, Ma. Besok. (gue lalu tiduran lagi dan nyuekin Emak gue)

Plak! Gue ditabok lagi sama Nyokap. Kali ini lumayan kenceng. Gue ampe melejit bangun terus mundur sejauh mungkin dari Nyokap. Gila, ogah banget ditabok lagi. Padahal gue nggak salah.

Gue : Penganiayaan. Ayuk salah apa? Kok ditabok?

Nyokap : Jelas aja ditabok! Hari ini tuh hari Kamis. Dan sekarang udah jam mau jam 12.

Gue bener-bener bengong. Masa sih? Seinget gue, ini masih hari Rabu. Kok tau-tau udah Kamis aja? Gue buru-buru ngecek Hp. Beneran aja. Sekarang udah hari Kamis. Umaaaaaakkkkkk.....

Nyokap : Buruan sana mandi. Mama mau pergi dulu. Semoga sukses yah.....

Itu pesan Nyokap gue sebelum Nyokap capcus ke acara sekolahannya. Ninggalin gue yang kelabakan. Gue bahkan belum baca satupun isi laporan yang gue buat nyaris 2 minggu lalu. Udah lama banget yakan? Guepun berniat baik buat baca-baca dikit laporan gue. Tapi sialnya, gue malah ketiduran. Bahahahah....

Untunglah, Tuhan sayang banget ama gue. Gue ketidurannya cuma 15 menitan. Terus kebangun gara-gara bunyi kucing berantem. Dan gue liat BBM, temen gue udah otw buat jemput. Ya udah. Gue mandi dan siap-siap ke kampus tanpa persiapan otak. Cuma siap pakean doang, Itu aja gue keliling nyari pakean putih buat ujian gue. Hahahah....

Dan hasilnya......

Jangan tanya gue gimana cara gue jawab semua pertanyaan penguji... Gue hari itu bener-bener bersyukur ingetan gue tentang apa yang gue tulis masih melekat kuat *tsaahh. Hahaha... Mungkin waktu nulisnya gue sambil nempelin permen karet antara ingetan dan isi laporan yang gue buat. Bahahaha.... Itulah untungnya kalau nulis laporan sendiri. Apa kabar kalau gue minta bikinin laporan ama orang lain. Beneran diare gue pas ujian.

Pokoknya hari itu gue lolos. Tapi sekarang. gue kebingungan nentuin langkah selanjutnya. Yah, judulnya udah banyak. Tapi gue galau. Hahaha.... minat gue lebih ke nulis yang lain daripada nulis skripsi. Entah kenapa tiap buka folder skripsi, otak gue kejang-kejang. mendadak muaal. Terus pengen muntah.

Oke, pesan moral tulisan gue kali ini adalaaaahhhhhh *setel musik dangdut :
        "Jangan pernah minta tulisin apapun sama orang lain. Dan yang terpenting, percayalah sama Nyokap ketika Nyokap dateng sambil ngomel lalu nabok, pasti ada apa-apa yang kita lupain. Nyokap kadang lebih peka daripada diri kita sendiri..."



Einca, 2014

Minggu, 12 Oktober 2014

GONE #3 ----- GERHANA



“Kamu tahu, kenapa gerhana itu ada?”

Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Tentu saja aku tahu. Aku menyukai semua fenomena alam yang terjadi di langit. Dan gerhana, aku suka gerhana.

“Karena, bertemunya bulan dan matahari di waktu yang bersamaan.” Kamu menjawab sendiri pertanyaanmu. Matamu tak lepas menatap ke arah langit, seolah di sana sedang terjadi gerhana.

“Kamu ngomongin gerhana matahari atau gerhana bulan?” tanyaku. Berbeda denganmu yang menatap langit senja, aku malah menatapmu. Matahariku.

Kamu tak langsung menjawab pertanyaanku. Jemarimu menelusup sela-sela jemariku. Erat. Kamu menggenggam jemariu dengan erat. Lalu kamu mengalihkan pandang ke arahku, menatap tepat ke manik mataku. Kamu tersenyum. Manis. Tentu saja manis. Tapi, aku bisa menangkap secercah kesedihan yang kamu simpan di balik senyummu itu.

“Dua-duanya. Kalau gerhana matahari terjadi karena bulan bertemu matahari secara langsung dalam satu garis sejajar...”

“Seperti kita?” sahutku langsung.

Kamu tertawa kecil. Mengacak-acak rambutku lembut. “Ya, seperti kita. Sejak aku datang ke sini, cuaca mendung teruskan?”

Aku tersenyum kecil, lalu mengangguk. Memang sejak kedatangannya, cuaca di kotaku nggak menentu. Kadang panas, lalu tiba-tiba gelap. "Nggak ada hubungannya cuaca jelek ama kedatangan kamu, tahu!" Aku menepuk lengannya pelan.

“Kalau gerhana bulan, itu terjadi jika bumi melintas di antara matahari dan bulan. Bumi.”

Aku menatapmu penuh tanya ketika mendengar kamu menekankan kata bumi itu dalam-dalam.  “Maksud kamu?”

“Ai...” duh... lagi-lagi aku meleleh mendengar suaranya yang memanggil namaku lain daripada yang lain. “Kamu pernah nanya kenapa aku menghilang, kan? Ada bumi yang menghalangi kita. Ada seseorang, yang nggak mau kita bersama. Dia yang memaksa keluargaku, menjauhkan aku dari kamu. Kalau kamu sadar, aku ngambil resiko yang gede dengan nemuin kamu di sini. Resiko terjadinya gerhana bulan yang mungkin bisa menghancurkan kita berdua.”

***

Kalau kalian bertanya kapan aku merasa paling bahagia dalam hidupku, jawabannya tepat satu minggu yang lalu. Satu minggu kebersamaanku dengan dia, Matahariku. Tujuh hari, dan nyaris 24 jam aku selalu bersamanya. Melakukan semua yang aku dan dia selalu angankan dulu, saat kami belum bertemu. Satu minggu. Hanya satu minggu. Lalu dia kembali pergi dan aku pun harus pergi.

“Matahari dan Bulan, memang tak seharusnya berada di langit yang sama,” ucapmu siang itu. Kamu tampak tampan duduk di sampingku, memainkan pasir pantai dengan jemari kakimu. Dan tak sedetikpun kamu melepaskan genggaman tanganmu padaku.

“Kalau gitu, aku nggak mau jadi bulan lagi. Aku mau jadi pantai aja,” ucapku manja.

Kamu tertawa melihat wajahku yang cemberut. “Kalau kamu pantai, aku jadi apa dong?”

Aku mengerucutkan bibir. Mencoba memikirkan apa yang cocok untuk Matahariku ini. Oh, perumpaan itu haruslah sempurna. Karena Matahariku ini sempurna. Buatku sih.

“Senja!” Aku berseru riang. “Senja nggak pernah ninggalin pantainya. Senja selalu ada bersama pantainya. Senja dan pantai kan ditakdirin bersama. Kalau nggak, duduk di pantai sore-sore nggak oke lagi dong.”

“Hahaha...” Kamu lagi-lagi tertawa. Aku mendengus kesal. Apa sih yang lucu? Bisa-bisanya kamu ketawa. Aku serius.

“Senja?” Kamu menelengkan kepala ke arahku dan menatapku lucu. “Oke juga.” Kamu melanjutkan.

“Tuh kan. Ya udah, mulai sekarang aku Pantai dan kamu Senja. Oke nggak?” Mataku menatapnya berharap.

Kamu tersenyum. Tak langsung menjawab pertanyaanku. Aku menelusuri manik hitam matamu dalam-dalam. Tuhan... apa yang barusan kulihat? Kesedihan jelas nampak di manik hitam itu.

“Kita nggak bisa mengubah takdir sesuka kita. Takdir nggak bisa kita mainin semau kita. Udah garisnya akan begini dan kita cuma bisa berdoa, berharap Tuhan mengurangi rasa sakitnya kalau takdir kita nggak berjalan dengan baik.”

Aku tertunduk mendengar penjelasanmu. Iya, aku tahu. Kita tisak akan pernah bisa mengubah takdir. Tapi tak bisakah aku berharap? Apa memang hanya seperti ini aku dengannya?

“Ai,” panggilmu. Aku menengadahkan kepala agar bisa menatapmu. Matamu menatapku lembut. pelan, tanganmu terulur dan mengusap sayang rambutku. “Aku minta maaf. Untuk semua luka. Untuk  semua kesakitan. Aku minta maaf. Aku masih ingin berusaha agar kita bisa bersama, aku masih berdoa. Aku akan mencoba dan mengusahakan kita untuk tetap bersama. Tapi nanti, kalau kita nggak bisa bersama, kamu harus hidup dengan baik. Rasa itu, nggak pernah hilang. Dan percayalah, aku begini, karena aku melindungimu.”

Tuhan... kepalaku pening mendengar rentetan kalimat itu. sebenarnya apa yang terjadi denganmu? Apa yang terjadi dengan Matahariku?

***

Sore itu, aku menunggumu dengan gelisah di kamarku. Sesekali aku melirik awan mendung yang bergelayut di luar sana.  Aku tak mengerti kenapa aku segelisah ini, mungkinkaah karena hari ini adalah hari terakhirmu di sini? Hari terakhir kita bisa bertemu. Aku tak tahu, yang aku tahu, perasaanku tak menentu. Persis seperti langit yang bisa berubah gelap dengan tiba-tiba.

“Kak,”

Aku menoleh ke arah pintu kamar. Adikku berdiri di ambang pintu. Menatapku seolah meminta izin untuk masuk. Aku menganggukkan kepala dan mencoba memasang wajah baik-baaik saja.

“Kenapa, Dek? Mama manggil?” tanyaku basa basi. Aku tahu, pasti ada hal lain yang ingin adikku sampaikan. Biasanya dia takut-takut untuk masuk kamarku, kalau dia punya masalah atau ingin menyampaikaan masalah.

“Hmm... Kakak mau pergi sama Bang Wira?” tanyanya sambil dudul di tepi kasurku.

Aku mengangguk dan menunggu.

“Kakak udah dikasih tahu kenapa Abang pergi waktu itu?” tanya adikku hati-hati.

Aku menyipitkan sebelah mata, lalu menggeleng. Bukan karena aku tak tahu, aku sudah mendengar penjelasan itu dari Matahari. Tapi, entah kenapa, selama ini aku selalu merasa bahwa Matahariku masih menyembunyikan sesuatu.

“Ada yang nggak suka kalau Kakak sama Abang bersama.” Adikku mengucapkan kaalimat itu dengan hati-hati. Matanya menatapku was-was. Aku diam. Menunggu adikku melanjutkan kalimatnya. “Orang itu, dia ngancurin apa yang Abang punya. Orang itu mempengaruhi keluarga Abang, agar menjaukan Abang dari Kakak. Dan Abang pergi, memang untuk melindungi Kakak,” jelas adikku pelan. “Kakak lihat nggak luka panjang di lengan kanan Abang?”

Luka? Luka yang mana?

“Kakak pasti nggak tahu. Luka itu ada, karena Abang berusaha melindungi Kakak. Dari orang itu,” adikku menjelaskan lagi. “Aku seneng Kakak sama Abang bisa sama-sama. tapi Kak, terlalu banyak resikonya. Kakak tahu, Abang nggak kerja lagi sekarang. Lebih tepatnya belum. Semuanya disabotase sama orang itu.”

Tuhan.... Badanku lemas mendengar setiap kata yang adikku ucapkan. Pantas kamu selama ini selalu menggunakan kemeja berlengan panjang setiap bersamaku. Pantaas kamu selalu menghindar jika aku sudah menanyakan pekerjaanmu. Pantas juga kamu menutupi semuanya dariku. Kamu sedang berusaha melindungiku. Tuhan... Matahariku lebih terluka daripada yang aku mampu lihat.

“Mungkin, Kakak sama Abang nggak bersama dulu. Aku nggak mau Kakak jatuh dan terluka parah kalau lagi-lagi Bang Wira dipaksa pergi dari Kakak. Aku juga...”

“Assalammualaikum...” Suara salam itu memotong kalimat adikku. Aku menoleh ke arah jendela. Ya, aku tahu itu kamu, Matahari. Dan, ya Tuhan... kamu begitu tampan sore ini.

“Kakak,” panggil adikku.

“Ya,” aku menjawab sambil membalikkan badan ke arah adikku.

“Jangan jatuh lagi. Aku nggak mau Kakak ataupun Abang terluka.”

Aku nyaris menangis mendengar nasehat adikku. Aku tahu adikku benar-benar peduli. Tapi, sanggupkah aku melepasnya lagi? Memikirkan dia akan pergi dari kota ini besok, itu saja sudah membuatku nyaris gila. Bagaimana aku bisa melepaskannya untuk selamanya?

“Kakak bijaksana. Aku kenal Kakak. Kakak pasti tahu yang mana yang paling baik untuk Kakak.” Adikku berkata sambil meraih tanganku. Menggenggamnya seolah memberi kekuatan, lalu dia beranjak meninggalkan kamarku.

“Assalammualaikum...”

“Waalaikum salam...” aku buru-buru menjawab salam itu. cepat aku berjalan menuju pintu rumah. Matahariku sudah menungguku. Dan, ya, aku tahu harus berbuat apa.

***

Senja itu, di pantai yang sama. Aku dan kamu menyusuri tepian ombak dengan tangan yang bergandengan erat. Mungkin kamu juga bisa merasakan suasana hatiku yang tak seceria hari-hari sebelumnya. Hari ini aku bahkan tak mau melepaskan genggaman tanganku walaupun hanya semenit saja.

“Nggak usah takut,” ucapmu lembut.  Aku tahu sekarang kamu pasti sedang menatapku. Hanya saja aku terlalu takut untuk membalas tatapan itu. “Takdir ini, pasti bisa kita lewati dengan baik. Aku mungkin masih bisa mencoba mempertahankanmu.” Kamu melanjutkan kata-katamu.

Takdir? Bersama? Dengan semua luka yang luar biasa banyaknya? Aku tak seyakin itu, Matahari.

“Aku masih bisa jelasin semua ke keluargaku. Asal kaamu bersedia ikut denganku. Tentang pengganggu itu, pasti bisa kita singkiring bareng-bareng. Asal kitaa sama-sama, pasti kita bisa.”

Aku tergugu. Kata-katamu itu mengandung berjuta harapan. Dan aku juga ingin harapan itu terwujud. Tapi, “kamu bilang, kita nggak bisa mengubah takdir. Kamu bilang, Matahari dan Bulan nggak bisa berada di satu langit yang sama.”

Aku bisa merasakan genggaman tanganmu menguat. Aku tahu, kamu mungkin mulai sadar ke arah mana aku akan membawa percakapan sore ini.

“Mungkin, kita memang nggak ditakdirin sama-sama,” tukasku. Kutarik tanganku dari genggamanmu. Kuberanikan diri untuk menatap ke arahmu. “Aku nggak bisa bareng kamu lagi. Aku juga nggak bisa ketemukeluarga kamu. Mereka pasti nyalahin aku. Aku nggak mau.”

“Ai?”

“Aku mau kita pisah di sini aja. Nggak ada kamu dan aku lagi. Nggak ada kita lagi. Aku mohon. Ikutin kata-kata orangtua kamu buat jauhin aku. Dan jangan pernah hubungi aku lagi.” Kata-kata itu mengalir begitu saja dari mulutku. Aku bahkan tak meneteskan airmata. Tapi rasa perih menusuk-nusuk dadaku.

Tuhan... bantu aku. Batu aku untuk bertahan dan melepaskan Matahariku. Membiarkan dia pergi sejauh mungkin. Aku masih ingin melihatnya bersinar. Walaupun bukan untukku dan duniaku lagi.

“Ai, kamu ngomong apa? Aku masih bisa memperbaiki semuanya. Aku masih bisa perjuangin semuanya. Aku masih ingin kita bersama. Kita...”

“Aku nggak!” Kupotong kalimat yang hendak kamu ucapkan. Maafkan aku, Matahari. Tapi aku bisa goyah kalau harus mendengarkan kelanjutan kalimat yang berisi harapan indah itu. “Aku nggak bisa. Aku nggak mau sakit lagi. Aku nggak mau jatuh lagi. Aku juga nggak mau berharap untuk orang yang bahkan nggak bisa menjanjian kepastian tentang hubungan ini. Aku udah nggak punya rasa itu untuk kamu lagi!” Aku menekankan setiap kalimatmu dalam-dalam.

Pedih. Itu yang aku tangkap dari matamu. Dan kesakitaan itu semakin terlihat jelas saat aku malah mundur ketika kamu mendekatiku. Penolakan. Ya, aku tahu. Penolakan itu membuat langkahmu terhenti.

“Ai, aku udah mikirin semaleman. Aku, kita, pasti bisa lewatin semua ini. Aku janji, aku akan ngelindungin kamu."

Aku tersenyum sinis. Entah darimana aku belajar tersenyum sesinis itu kepada Matahariku. "Melindungiku? Kamu bahkan pernah pergi tanpa kabar dariku. Melindungi dari apa?"

"Tapi aku pergi bukan karena ninggalin kamu. Aku pergi untuk jaga kamu!" Suaramu mulai terdengar frustasi. Aku tahu, kamu pasti kecewa sekarang padaku, Matahari.

"Ini!" Aku menarik lengan bajumu. Tuhan... aku nyaris memelukmu saat melihat betapa panjang luka itu menggores lenganmu. "Melindungi dengan menimbulkan luka sebesar ini?" Nada suaraku mulai bergetar. Aku tahu, aku harus cepat-cepat pergi dari sini, pertahanan diriku tak mungkin bisa lebih dari 10 menit lagi.

"Ini, aku..." kalimatmu gugup. Kamu mencoba menyembunyikan bekas luka itu dariku. Tapi percuma. Aku sudah melihatnya. 

Perlahan, aku mundur menjauhi Matahariku. Mataku menatapnya memohon. kubalikkan badanku hingga membelakanginya. “Maafin aku, Bang. Maafin. Kita nggak bisa sama-sama lagi. Seperti yang beberapa hari lalu kamu bilang. Gerhana matahari. Mungkin ini puncaknya. Gerhana nggak bisa bertahan lama. Semesta bisa binasa kalau matahari dan bulan terlalu lama bersama. Dan kita, aku dan kamu. Kita bisa menghancurkan sekeliling kita, kalau kita terus bersama.” Lirih kata-kata itu kuucapkan. 

Maafkan aku, Matahari. Gerhana ini, tak bisa berlangsung lebih lama lagi. aku berusaha melindungimu, semestamu dan juga semestaku. Tuhan... bantulah Matahariku. Aku tak akan meminta hal lain lagi. Jagalah Matahariku. Perlahan air mataku menetes. Airmata yang susah payah kutahan sejak tadi. Langkahku semakin cepat dan semakin jauh dari bibir pantai. Aku harus bergegas. Aku tahu, Matahariku tak akan terdiam dalam waktu yang lama. Dan aku tak akan bisa melepaskan lagi jika dia melihat airmataku.

***
Jika nanti terlahir kembali ke dunia...
Aku akan meminta untuk menjadi pantai...
Dan aku akan berdoa agar kamu bisa menjadi senjaku...
Tapi jika aku tetap terlahir sebagai Bulan...

Aku akan memintamu untuk menjadi bintangku... 

Senin, 22 September 2014

GONE 2# ----- NELANGSA...



Dua ratus sembilan hari....

Tepat di pagi hari ke dua ratus sembilan ini, aku melihatmu, Matahari. Melihatmu di antara puluhan penumpang lain yang keluar dari gate kedatangan itu. Kamu tersenyum. Aku tahu, wajahku sekarang pasti sudah memerah hanya karena senyummu itu. Ya, hanya kamu yang bisa membuatku tersenyum dengan wajah memerah seperti ini.  Lalu, dengan kedua tangan terbuka lebar, kamu berjalan cepat ke arahku dan memelukku erat.

“Apa kabar, Ai,” 

Tuhan... itu suara Matahariku. Suara yang masih sama seperti beberapa bulan lalu. Suara yang ternyata masih mampu membuat jantungku berdegup cepat. 

 I’ve missed you, Aira...” 

Tuhan... nyaris melompat aku mendengar kalimat itu. Ya, I’ve missed you to. Aku benar-benar merindukanmu, Matahari. Aku benar-benar merindukanmu.

***

Siang itu, lagi-lagi namamu terdengar di rumahku. Namamu yang sudah berbulan-bulan tak pernah disebutkan lagi. Namamu yang ikut menghilang seiring dengan kembalinya aku di tengah-tengah keluargaku.

Kamu tahu, Matahari, adikku mendengar kabar tentangmu. Lega rasanya mendengar kamu baik-baik saja. Tapi satu tanyaku, kenapa kamu masih membisu dariku? Dan ternyata tanya itu bukan hanya datang dariku. Adikku, sahabatku, bahkan kedua orang tuaku, menanyakan kebisuanmu.

“Kak, nggak usah ingat Abang lagi. Anggap dia nggak pernah ada. Anggap dia udah mati!” Kalimat itu keluar dari mulut Ayahku dan menjadi keputusan Ayah, Ibu dan adikku. 

Tuhan... apa yang harus aku lakukan? Benarkah tak ada celah bagiku untuk bertemu dengan Matahariku? Tak bisakah Engkau membiarkan kami bertemu? Tak bisakah Engkau membiarkan terjadinya gerhana? Gerhana bahkan tak berlangsung lebih dari dua menit. 

“Insya Allah,” lirih kalimat itu kuucapkan. Aku tak bisa menjanjikan lebih dari kalimat itu. Dan aku berharap Tuhan masih berkenan mendengar doa-doaku. Doa-doaku yang sesungguhnya.

***

“Mau sampai kapan nunggu Wira?” tanya Adis, setelah memperhatikanku cukup lama. 

“Aku nggak nunggu, kok,” jawabku berusaha cuek.

“Oh ya?” Adis menatapku sarkartis. “Nggak nunggu? Nggak usah bohong sama gue, Ra. Kamu bahkan belum mau dengerin lagu sampai sekarang. Kamu masih suka beberapa kali buka emailmu yang terkhusus untuk Wira doang. Foto-foto Wira juga masih kamu simpan. Iyakan? Kamu nolak untuk kenal dengan cowok lain. Kamu masih suka nungguin matahari terbit dan tenggelam. See? Nggak nunggu kamu bilang? Aku sahabatan sama kamu dari kecil, Ra.” 

Aku menghela napas panjang. Ya, Adis tak salah. Aku memang masih menunggu. Aku masih mengharap.

“Lupain Wira, Ra.” Adis mengucapkan kalimat itu dengan penuh penekanan. Seolah aku adalah anak SD yang harus ditekankan dulu, baru bisa mengerti.

Lupain? Kalau aja bisa segampang itu. Aku ingin melupakan. Sungguh. 

“Ra,”

“Aku mau ke Yogya,” ujarku cepat, sebelum Adis sempat melanjutkan kata-katanya yang pasti akan berujung ceramah panjang.

“Hah?” Adis menatapku tak percaya. “Yogya? Ngapain? Nggak boleh!”

“Aku harus ke Yogya! Tolong Dis,” pintaku keras kepala.  “Please, Dis. Aku Cuma mau tahu keadaannya. Hanya itu. Satu kali aja, dan aku janji nggak akan nunggu dia lagi.” Aku benar-benar memohon kali ini. Satu kali Tuhan, perlancarlah jalanku.

Adis terdiam cukup lama. Terlihat jelas bahwa sahabatku itu tak menyetujui permintaanku. “Tolong, Dis...” pintaku lagi. Kali ini aku mengeluarkan suara super menyayat yang aku tahu, pasti mampu meluluhkan hati sahabatku ini.

“Kamu udah gila, Ra!” tukas Adis kesal. Tapi aku malah tersenyum senang. Aku tahu, Adis menyetujui permintaanku, aku juga tahu kalau Adis siap membantuku untuk meloloskan diri.

How long?” tanyanya kemudian.

“Dua.”

“Satu!”

“Dua, Dis,” aku mulai merengek.

“Satu! Atau nggak sama sekali,” tegas Adis. “Satu hari aja aku udah kesusahan untuk cari alasan, Ra. Apalagi dua.”

Aku menghela napas kesal. Ya, aku tahu. Adis yang paling kesusahan. Tapi...

“Satu atau tidak!” Adis kembali menegaskan.

“Oke. Satu.” Aku cepat mengambil keputusan sebelum Adis mengubah pikirannya. Ini kesempatanku satu-satunya. Dan, Tuhan... untuk kali ini, tolong kabulkan doaku.

***

Lega. Itu yang kurasakan. Lega saat melihat kamu ternyata baik-baik saja. Kamu tahu, Matahari? Cahayamu ternyata masih sama. Walaupun senyummu seperti menyimpan luka. Salahkah kalau aku berpikir bahwa hatimu belum melupakanku? Salahkah kalau aku berpikir bahwa hatimu juga merindukanku?

Sepertinya tidak, Matahari. Aku masih mampu merasa tentangmu. Tapi, untuk kali ini, maafkan aku. Aku harus menepati  janjiku pada sahabatku. Aku tak akan lagi menunggumu. Kalau memang cahaya untuk semestaku tak akan pernah muncul lagi, biarlah. Aku mulai terbiasa dengan gelap. Aku mulai terbiasa dengan temaram bintang yang walaupun tak seterang sinarmu, tapi cukup untuk membantuku menyinari langit malam. Aku mulai terbiasa tanpamu, Matahari. Dan aku sadar, bulan memang tak harus menyinari dengan bantuan matahari. 

***

Hai, Ra. Apa kabar?

Praanggg!!! Satu pesan singkat itu membuat piring buah yang kupegang terlepas bersama dengan ponselku. Jantungku berdebar hebat. Kepalaku mendadak pening. Adikku dan Adis yang tengah nonton TeVe di ruang keluarga, langsung berlari menghampiriku di dapur.

“Ada apa, Kak?”

“Kamu kenapa, Ra?”

Pertanyaan mereka berdua tak langsung kujawab. Yang aku lakukan malah menunjuk ponselku yang tergeletak di antara pecahan piring. 

“Dia, kembali...” ujarku lirih. 

Aku bisa mendengar napas tertahan adikku juga Adis. Aku tahu mereka berdua sama terkejutnya denganku. Matahariku kembali. Walaupun kini dia memanggilku dengan sapaan berbeda. 

Tuhan... apalagi ini? Yang telah hilang dan coba aku lupakan, kini engkau hadirkan kembali. Apalagi ini, Tuhan? Kini, harus bagaimana aku menanggapinya? Akankah Matahariku kembali untuk selamanya? Atau hanya sejenak?

“Kak, nggak usah dibalas,” tegas adikku.

“Iya, Ra, nggak usah ditanggepin.” Adis menimpali.

Aku terdiam. Aku tahu, mereka berdua tak ingin aku terluka lagi. Tapi, aku belum menemukan jawaban dari segala tanya yang menggumpal di kepalaku. Mungkinkah kali ini adalah kesempatanku untuk menemukan jawab itu? Atau ini hanya akan menjadi jembatan untuk menuju kehancuran yang lebih parah lagi? Entahlah. Aku bahkan tak bisa memikirkan apapun. Yang aku tahu, lima menit kemudian, jariku sudah bergerak lincah di layar handphone.

Baik, alhamdulillah. Bang Wira?

***

Aku nggak tahu. Sekarang, aku nggak bisa janjiin apa-apa lagi ke kamu. Tapi aku akan usahain untuk datang ke tempatmu dalam waktu dekat ini. Maaf, Ra...

Aku manatap barisan huruf yang terangkai di layar ponselku dengan senyum pahit. Pedih. Sakit, saat kata ‘tak bisa’ itu terbaca mata. 

Tahukah kamu, Matahari? Harusnya kamu tak pernah kembali. Harusnya kamu tak pernah datang lagi. Harusnya kamu tetap diam di sana dan tak muncul lagi. Harusnya kamu tak datang lagi dengan rasa menyesal dan maafmu. 

Tahukah kamu, Matahari? Airmata ini bahkan diam-diam masih sering mengalir di setiap malam dalam tidurku. Seharusnya biarlah aku menganggaap semua ini tetap semu. 

Tapi kini kamu kembali. Setelah pergi dan memaksaku ikut pergi. Kini kamu kembali dengan membawa lagi kenangan manis yang coba kulupakan dari ingatan dan hatiku. Kamu datang dan membuat usahaku untuk membencimu seketika musnah. Harus bagaimana aku, Matahari? Rasa ingin mempertahankanmu kembali muncul.

Nelangsa.

Kamu tahu kalau aku tak akan pernah bisa membencimu. Kamu tahu kalau aku tak akan pernah sanggup menahanmu. Kamu juga tahu di jauh dan dekatmu, aku tak bisa benar-benar melepaskanmu dari hatiku.

Tuhan... tak sekuat itu hati ini mampu menahan. Tak sekuat itu juga hati ini sanggup merelakan. Harus bagaimana aku? 

Drrrttt.... Drrrrttt....  Ponselku kembali bergetar. Cepat aku membuka pesan singkat yang tentu saja dari kamu.

Aku datang lusa. Tunggu aku, Aira. Aku akan menjelaskan semuanya. Tunggu aku...

Ya Tuhan....

Sekarang harus seperti apa? Berlari dan menghindar? Mematikan hati dan menutupnya? Atau malah mematikan diri dan menghilang bersama bumi? Mampukah? Bisakah? Mungkin. Tapi, aku masih ingin mendengar penjelasannya. Ada banyak tanya yang ingin kulemparkan kepadanya. 

Tuhan, untuk satu kali ini, izinkan aku bertemu dengannya. Bukan bertemu yang hanya aku yang tahu, tapi kami berdua tahu. Bertemu untuk menjelaskan segala yang tersembunyi 6 bulan ini. Dari dia dan dariku. Izinkanlah kami bertemu, tanpa adanya gerhana. 

Ok. Aku jemput di bandara, lusa. See you Sun...

***

Tentang bulan yang masih merindukan mataharinya...
Tentang matahari yang masih berusaha untuk memeluk bulannya...
Tentang semesta yang mecoba menyatukan keduanya di bawah langit yang sama... 





Einca, 2014


© Airalaks, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena