Senandung RASA Ketika hati dan otak mulai tak mampu lagi menampung rasa dan lisan tertahan untuk menyenandungkannya, maka tulisan mengambil alih untuk menyampaikannya. Menyenandungkan semua tentang Rasa...

Minggu, 08 Juni 2014

Seratus Mawar Putih

Rian menatap rangkaian mawar putih yang ada di tangannya. Seratus tangkai mawar putih. Bunga favorit dia yang telah jauh disana. Bunga terakhir yang menjadi permintaan dia yang telah tenang disana. Seratus tangkai mawar putih yang dulu pernah menjadi awal sebuah kisah singkat yang manis. Kisah yang mengajarkan Rian tentang arti memiliki dan kehilangan, arti melindungi dan menjaga, arti sebuah keikhlasan dan arti sesungguhnya sebuah rasa yang disebut cinta

***

"Aku nggak mau pergi kemana-mana, aku mau disini aja. Sama kamu," ucap Kinan lirih. Matanya menatap Rian lembut, berharap lelaki yang duduk di sampingnya ini mau mengerti permintaannya.

"Tapi kamu sakit, Nan. Pergi berobat kesana itu, adalah pilihan yang baik untuk kamu. Kamu harus sembuh." Rian berkata sambil menggenggam lembut tangan Kinan.

Kinan menggeleng pelan, "aku tahu, tapi aku juga tahu mana yang paling baik untuk aku. Aku lebih pilih hidup hanya satu jam, tapi bisa sama-sama kamu dan Mama Papaku, daripada harus pergi ke tempat yang jauh dan aku harus terkurung di dalam ruangan yang aku nggak suka."

Rian terdiam mendengar kata-kata panjang dari Kinan. Sejujurnya, jauh di dalam hatinya, ia juga ingin Kinan selalu disisinya. Selalu dalam jangkauan matanya. Tapi, pergi ke Singapure ini, adalah satu-satunya kesempatan gadis yang dicintainya ini bisa sembuh.

Kinan tersenyum lemah melihat Rian yang diam termenung di sampingnya. "Hei," Kinan memegang lembut wajah Rian dan mengarahkan wajah yang diliputi mendung gelap itu kepadanya. "Aku, tahu apa yang aku mau. Kalau Tuhan memang masih memberikan aku kesempatan untuk sembuh dan baik-baik saja, mau dimanapun aku, aku pasti akan sembuh."

Rian menghela nafas panjang. Digenggamnya tangan Kinan yang masih menempel dipipi kanannya. Lembut, tangan itu begitu lembut. Rian selalu menyukai setiap kali Kinan menyentuh wajahnya seperti ini. Seberat apapun masalah yang tengah dihadapinya, seolah luruh bersama belaian lembut ini.

"Aku bener-bener nggak mau kamu kenapa-napa. Aku mau kamu sembuh." Ucap Rian pelan. Matanya menatap manik coklat mata Kinan, memohon. "Aku mau kamu sembuh, Kinan."

Lagi, Kinan tersenyum mendengar ucapan Rian. "Kamu tahu, setiap hidup ituselalu ada pilihan yang sulit pilihan. Dan ini pilihanku. Pilihan untuk tetap disini, berobat disini dan dekat sama kamu juga keluargaku. Aku nggak mau, mati sendirian tanpa kalian. Percayalah, apapun hasilnya nanti, itu kehendak Tuhan yang paling baik."

Rian terdiam. Sesaat kemudiaan ia mengangguk pelan. Dadanya serasa sesak dan pelupuk matanya mulai menghangat. Sekuat tenaga Rian berusaha untuk memasang seulas senyum untuk gadis ini dan menelan kembali bening yang menggenang di pelupuk matanya. Dia tahu, dia tak akan pernah menang berdebat dengan Kinan dan Rianpun sadar, kata-kata Kinan ada benarnya. Dan melihat senyum lebar yang menghiasi wajah gadis itu sesaat setelah ia menganggukkan kepalanya, Rian merasakan kehangatan di dadanya yang tadi sesak. Ya, senyum itu, hanya senyum itu yang ingin selalu Rian lihat di hari-harinya. 

"Terima kasih," Kinan benar-benar tersenyum senang dan ada kelegaan yang terpancar di wajahnya. "Aku pengen ada banyak mawar putih. Seratus aja. Cukup seratus. Bisa nggak?" Kinan menatap Rian, berharap.

Kening Rian berkerut. "Seratus mawar putih?" Tanyanya bingung.

Kinan mengangguk. "Seratus mawar putih. Seperti dulu, waktu pertama kita ketemu. Karena seratus mawar putih itu."

Rian tersenyum. Ia tak akan pernah lupa saat pertama kali ia dan Kinan bertemu. Semua karena seratus tangkai mawar putih. Rian mengangguk dan mengusap puncak kepala Kinan lembut, lalu membawa gadis itu dalam pelukannya.

"Terima kasih karena udah ngajarin aku banyak hal. Terima kasih karena udah ngajarin aku arti sesungguhnya sebuah cinta." 

Kinan tersenyum dalam dekapan Rian. Ini adalah tempat ternyaman yang Kinan rasakan saat ini. Dalam dekap lelaki ini. Kinan selalu merasa bersyukur karena disaat terakhir hidupnya, Tuhan mendatangkan seseorang yang mampu membuatnya merasa hidup lagi. "Cinta itu, tahu dimana dan bagaimana ia seharusnya," ucap Kinan lembut. Perlahan matanya terpejam. Damai dalam dekap dunianya. Damai dalam dekap kasihnya.

***

Rian mengusap bening yang menetes di kedua pipinya. Sesaat kemudian ia tersenyum sambil berjongkok di depan sebuah gundukan tanah yang masih basah dan bertabur kelopak-kelopak bunga yang masih segar.

"Hai, Kinan. Kamu bahagia? Aku datang, bawa permintaan terakhir kamu."  Kata Rian sambil meletakkan rangkaian seratus mawar putih yang dibawanya. "Maaf karena aku menangis. Aku menangis bukan karena menyesali yang terjadi. Aku menangis karena aku mencintaimu. Tenanglah disana. Aku baik-baik saja." Lalu Rian memejamkan matanya sejenak, melantunkan rangkaian doa untuk Kinan.

Lima menit Rian terdiam dalam doanya. Lima menit Rian mengenang semua kisah manis yang telah diberikan Kinan disela-sela perjuangan gadis itu untuk bertahan hidup. Dan akhirnya Rian tersenyum lebar saat matanya terbuka. Iya, sesuai permintaan Kinan, Rian baik-baik saja dan tetap bahagia. Baik-baik dan bahagia dengan tetap memegang dan mengingat semua kisah yang ada. Dan Rian tahu, kalau Kinan tak akan pergi kemana-mana. Selalu, gadis itu akan selalu ada bersama bayangnya.





Einca, 2014



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Airalaks, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena