Senandung RASA Ketika hati dan otak mulai tak mampu lagi menampung rasa dan lisan tertahan untuk menyenandungkannya, maka tulisan mengambil alih untuk menyampaikannya. Menyenandungkan semua tentang Rasa...

Minggu, 01 Juni 2014

Senja Kita

Sebelah mataku memicing saat semburat cahaya jingga itu bersinar tepat ke arahku. Semilir lembut angin pantai menerpa wajahku dan memainkan sejumput rambutku yang tak terikat. Aku terduduk di atas hamparan pasir putih halus ini, dengan mata yang menerawang jauh ke tengah laut. Tak kuhiraukan kakiku yang basah karena terkena sapuan ombak.

Senja ini, semilir angin ini, gemerisik ranting cemara yang beradu, juga bunyi deburan ombak yang menyapu pasir dan menghantam karang ini. Seolah bernyanyi. Alam ini, pantai ini, mengiringi memoriku tentang dia yang tervisualisasikan di tengah hamparan laut biru yang terbentang luas ini. Senandung alam yang indah, di senja yang penuh kenangan manis. Tentang hatiku dan hatimu yang dulu sangat bahagia. Tentang kita. Tentang senja kita.

***

"Kenapa kamu suka pantai?" Itu pertanyaan yang dia ajukan di suatu senja indah beberapa waktu lalu.

Aku tersenyum mendengar pertanyaan itu. Itu adalah pertanyaan yang sama untuk kesekian kalinya, dan selalu dia tanyakan setiap mengajakku ke pantai. "Karena..."

"Pantai itu menenangkan. Ada nyanyian mistis yang selalu bersenandung setiap kali kamu merenungi pantai. Dan karena kamu suka pasir dan pecahan karang yang ada di sekitar sini. Juga, kamu paling suka nikmatin senja dari pantai." Rama memotong kata-kata yang hendak aku ucapkan dan menuturkannya dengan nada lucu sambil menggenggam tanganku erat.

Aku tertawa. Iya, Rama tau betul kenapa aku suka pantai. Dan pria inipun memiliki alasan yang nyaris sama denganku. Alasan yang nyaris sama tentang, kenapa kami menyukai pantai. Juga senjanya.

***

Senja itu, ada yang lain saat Rama mengajakku bertemu di pantai ini. Ada yang lain saat Rama menggandengku untuk duduk di tempat biasa kita duduk memainkan ombak dan pasir. Wajahnya yang biasanya ceria tampak muram dan pucat, tak satu katapun yang keluar dari bibirnya sejak tiba disini. Seolah mengerti, senja inipun tak seindah senja-senja sebelumnya. Ada kabut dan awan gelap yang menyelubungi, seakan menyembunyikan badai di baliknya.

"Icha, aku harus pergi." 

Lirih, kata itu terucap. Aku terdiam. Otakku mencoba untuk mencerna maksud dari kata-katanya. Tapi, disekian menit diamku, disekian menit otakku mencoba untuk mencerna, aku tak menemukan maksud dari kalimat pendek itu.

"Aku harus pergi. Dari kamu. Aku nggak bisa lagi nemenin kamu. Nggak ada lagi kita, ataupun tentang kita. Aku nggak bisa jelasin alasannya apa. Tapi aku nggak bisa lagi sama-sama kamu. Nggak bisa lagi untuk wujudin mimpi-mimpi kita. Maafin aku, Cha." Dengan suara tercekat Rama menuturkan kalimat menyakitkan itu. Matanya menatapku dengan penuh sesal dan kesakitan. Perlahan, Rama memegang kedua pipiku dan mengecup lembut keningku. Dengan sayang diusapnya rambutku, seperti yang selalu dia lakukan setiap kami bersama. 

Lima menit kami berdiam dalam keheningan. Bunyi guntur dan petir yang mulai bersahutanlah yang mencairkan waktu. Perlahan Rama bangkit dari duduknya. Dilepaskannya tanganku yang masih menggenggam erat tangannya. Pelan, dia berkata, "aku pulang. Tadi, sebelum  kesini aku udah minta Mela buat nemuin kamu. Kamu tunggu sini ya, jangan kemana-mana. Maafkan aku Icha. Yang harus kamu tahu, aku selalu mencintaimu." Dan itu adalah kata-kata terakhir dari dia yang kuingat. Duniaku menggelap saat bayangannya menghilang di balik pohon-pohon cemara  itu, dan tak ada satupun suara yang sanggup keluar dari mulutku. Hanya tetes bening ini yang mengalir perlahan di kedua pipiku.

***

Aku menghela nafas pelan. Ini adalah senja ke 1.095 kalinya sejak Rama pergi. Dan di senja ke 195, aku baru tahu tentang alasan sebenarnya Rama pergi meninggalkanku. Dan walaupun sudah 1.095 senja yang aku lewati tanpa dia yang aku cinta, aku tetap tak mampu menghapus sedikitpun bayang tentangnya. 

Lagi, di senja ke 1.095 ini, langit kembali sama seperti saat senja terakhir itu. Langit yang awalnya cerah berwarna jingga, berubah menjadi mendung. Kilat, petir dan guntur sesekali mulai terdengar. Entah kenapa, tetes bening ini kembali muncul setelah sekian lama tak pernah muncul lagi. Perlahan, aku merogoh tasku, kukeluarkan batu karang berbentuk hati yang aku temukan di tempat sekarang Rama tinggal. Kutengadahkan kepalaku menatap langit yang mulai kelam itu.

"Rama, tenang di sana ya. Maafin aku yang nggak nemenin kamu di saat terakhir kamu. Karang ini, akan selalu aku bawa kemanapun aku pergi. Yang harus kamu tahu, aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Seperti ombak yang tak pernah meninggalkan pantainya, seperti pecahan karang yang tak pernah meninggalkan pasirnya, dan seperti senja yang selalu ada di setiap harinya. Seperti itu juga aku akan selalu mengingat tentang kita. Dan seperti itu juga aku tahu, bahwa kamu selalu menemaniku."



Einca, 2014




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Airalaks, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena