Senandung RASA Ketika hati dan otak mulai tak mampu lagi menampung rasa dan lisan tertahan untuk menyenandungkannya, maka tulisan mengambil alih untuk menyampaikannya. Menyenandungkan semua tentang Rasa...

Minggu, 29 Juni 2014

Jika Bisa...

Satu minggu sudah aku tinggal bersama gadis ini. Seorang gadis cantik yang selalu tampak anggun dengan balutan kerudungnya, seorang gadis cantik yang selalu memperlakukan aku dengan lembut dan penuh perhatian. Ia sangat menyayangiku. Kemanapun ia pergi, ia selalu membawaku dan selalu menceritakan peristiwa apapun yang terjadi dengannya sepanjang hari.

Aku masih ingat saat pertama kali ia menyentuhku dan memilihku di antara jenis-jenisku yang lain. Tanpa melihat ataupun memilih yang lainnya, ia langsung meraihku dan membawaku pulang. Menimang-nimangku, seolah aku adalah benda paling berharga yang pernah ia miliki.

Aku juga masih ingat saat ia pertama kali bercerita kepadaku. Cerita gembira karena sekarang telah memilikiku, dan cerita-cerita bahagia lainnya. Ia bercerita dengan lembut. Lembut tanpa menyakitiku sedikitpun. Aku bahagia bisa dimiliki oleh gadis cantik seperti dia. Namun, kebahagiaanku perlahan memudar. Tiga hari berlalu, aku mulai mendengarkan ia bercerita dengan air mata yang sering kali menetes. Aku sedih melihatnya. Tangisnya mulai mewarnai setiap kalimat yang ia ceritakan padaku. Dan hal itu berlangsung hingga sekarang ini.

***

Hari ini, ia kembali bercerita. Ia menunjukkan selembar foto, bergambarkan sosok laki-laki yang tersenyum manis, dengan lesung pipi yang menghiasi kedua pipinya. Aku, seperti biasa, selalu menyimak ceritanya dengan sabar. Namun hari ini, kesedihan yang terpancar dalam setiap rangkaian kalimat yang ia ceritakan, membuatku juga ingin meneteskan air mata. Jika saja aku bisa menangis. Aku pasti sudah menangis bersamanya. Bukan hanya menampung tangisannya, tapi juga ikut berbagi tangis dengannya.

***

Lagi, hari ini ia kembali membelai hatiku dengan guratan kalimat penuh kesedihan. Kenapa goresan kata-kata ini semakin lama semakin menyayat? Kenapa ia tak lagi membubuhkan senyum saat ia membelai hatiku? Aku rindu dengan celoteh riangnya. Aku rindu dengan senyum manisnya. Jika saja bisa, aku ingin berteriak dan memarahinya. Aku sedih melihat setiap tetes bening yang selalu membasahi kedua pipinya dan ikut membasahi badanku juga.

Ah, apa yang harus aku lakukan? Kesedihan itu semakin lama semakin memuncak. Untuk hari ini, bahkan aku merasakan tetes lain selain air matanya. Tetes berwarna merah pekat dan kental. Tetes yang ikut menetes saat bening air itu menetes. Harus bagaimana aku membantunya? Aku melihat kesedihannya, aku melihat kesakitannya, tapi yang bisa aku lakukan hanyalah menatap dan menampung satu persatu rangkaian kata dalam cerita-cerita sedihnya.

Ya, hanya cerita sedih, tanpa ada emosi lain selain sedih dan kesakitan. Ah, aku benar-benar benci menampung cerita sedih seperti itu. Badanku harus basah oleh tetesan air mata, atau malah ingus yang tak mampu tertahankan karena isak yang semakin lama semakin meninggi. Dan sekarang, ada tetesan lain yang ikut mewarnai. Ya, tubuhku sudah seperti kanvas yang bercampur cairan-cairan alami yang keluar dari tubuh manusia.

***

Sudah empat hari gadis itu tak lagi bercerita padaku. Apakah ia mengerti bahwa aku tak suka menampung cerita sedihnya? Entahlah, tapi aku merindukannya. Kemana ia? Ah, jika saja aku bisa mencarinya. Tak hanya berdiam di atas meja kayu ini. Diam dalam kesunyian kamar ini. Diam dalam cemas karena tak melihat gadis itu beberapa hari ini.

Jgrek. Pintu kayu berwarna coklat itu terbuka perlahan. Aku langsung bersorak riang. Berharap kalau yang muncul itu adalah si gadis manis pemilikku. Namun harapanku kandas seketika. Bukan, bukan gadis itu yang datang, tapi gadis lain dengan rambut dikuncir ekor kuda. Gadis ekor kuda itu langsung meraihku. Membuka gembok yang selalu terpasang guna menjaga kerahasiaan yang setiap hari aku tampung dari gadis manis pemilikku. Gadis ekor kuda itu membuka rahasiaku dan pemilikku. Menatap setiap rangkai kata yang ditumpahkan pemilikku. Lalu aku melihat bening yang menetes dari kedua mata gadis ekor kuda itu.

Ya, ya, ya. Gadis itu pasti ikut merasakan sedih dan sakit dari setiap guratan kata yang ada di bagian-bagian tubuhku. Gadis itu membuka setiap lembar bagian dalam tubuhku dengan cepat. Hingga akhirnya aku melihat kedua matanya terbelalak kaget. Ya, gadis ekor kuda itu akhirnya melihat juga lembaran-lembaran yang dipenuhi oleh tetes berwarna merah pekat yang telah mengering itu.

“Ini nggak mungkin....”

Aku mendengar suara lirih dari gadis ekor kuda itu. Ah, jika saja bisa, aku ingin berteriak dan menamparnya. Bagian mana yang tidak mungkin? Semua bahkan sudah terpampang jelas di lembaran tubuhku. Tetes merah yang telah mengering itu buktinya. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan saat akhirnya gadis ekor kuda itu menutup tubuhku dengan kasar dan memasukkan aku ke dalam tasnya yang gelap. Mau dibawa kemakah aku? Aku tak ingin meninggalkan kamar ini. Tidak tahukah ia, kalau aku tengah menunggu pemilikku yang manis dan lembut pulang? Oh, Tuhan... bagaimana ini?

***

Bruukk!!! 

Sialan! Gadis ekor kuda itu membantingku ke atas meja kayu yang keras ini. dia pikir dia siapa? Bahkan pemilikkupun selalu memperlakukan aku dengan lembut. Lalu kenapa ia....

“Baca ini!”

Aku mendengar gadis ekor kuda itu berkata. Suaranya terdengar terluka. Lalu sebuah tangan besar meraihku. Oh, aku mengenali wajah ini. Ini wajah lelaki yang fotonya sering diperlihatkan oleh pemilikku. Aku jadi penasaran, siapa sebenarnya laki-laki ini. sepenting apakah ia untuk pemilikku? Dan apa yang sudah ia lakukan hingga membuat pemilikku selalu menangis.

Lelaki itu tak berkata apa-apa saat mulai membuka lembar-lembar tubuhku. Namun, aku dapat melihat gurat gelisah dan bersalah yang perlahan mulai muncul di wajahnya. Ada apa sebenarnya ini. Ah, jika saja aku bisa berteriak dan bertanya langsung. Aku benci menebak-nebak dalam diam seperti ini. Tak bisakah laki-laki ini mengeluarkan suara?

“Apa maksudnya ini?”

Laki-laki itu bertanya sambil menutup kasar diriku. Lagi, lagi aku harus diperlakukan seperti ini. Aku benar-benar merindukan pemilikku yang selalu lembut. Dimanakah ia sekarang?

“Nadia sakit, kamu selama ini salah paham. Aku tunjukkan itu ke kamu, agar kamu sadar dan berfikir. Nadia bukanlah wanita jahat seperti yang selalu kamu tuduhkan. Sekarang Nadia ada di rumah sakit.”

Lalu gadis ekor kuda itu beranjak pergi. Ya, ya, pemilikku jelas bukan orang jahat. Justru laki-laki inilah yang jahat karena telah membuat pemilikku yang manis selalu menangis. Oh, apa yang harus aku lakukan? Pemilikku ternyata tengah terbaring sakit. Jika saja aku bisa, aku ingin berteriak pada laki-laki ini. berteriak agar ia bergerak dan pergi ke tempat dimana pemilikku berada. Bukan malah berdiam diri dan termenung seperti ini. Aku ingin melihat pemilikku. Aku rindu celotehnya.

Ah, jika saja aku bisa....


#NarasiSemesta



Einca, 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Airalaks, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena