Senandung RASA Ketika hati dan otak mulai tak mampu lagi menampung rasa dan lisan tertahan untuk menyenandungkannya, maka tulisan mengambil alih untuk menyampaikannya. Menyenandungkan semua tentang Rasa...

Sabtu, 05 Juli 2014

Senandung "Rasa" - Bulan, Bintang, Matahari, Awan Biru

Pernah mengharapkan keadaan menjadi baik-baik saja...
Benar-benar baik-baik saja...
Iya, semua memang baik-baik saja. Setidaknya untuk sebagian orang, atau mungkin malah banyak orang....

Menahan luka, menumpuk sesak, meredam perih. Demi untuk melihat Matahari terus bersinar dan selalu bersinar. Bulan pernah meminta untuk menjadi awan, agar ia bisa selalu berada di tempat dan langit yang sama dengan Mataharinya. Namun Bulan, tetaplah Bulan. Ia diciptakan untuk menemani malam bersama Bintang. Bukan bersama Matahari yang selalu terlelap saat Dewi Malam mulai menjelang.

Pernah berharap Tuhan mengijinkan Bulan berada di satu langit yang sama tanpa terpisah waktu dengan Matahari, namun Tuhan tak mengijinkan. Bumi akan menggelap dan membutakan seisinya, jika Matahari dan Bulan terus bersama.Karena Bumi tak mungkin terus menyaksikan gerhana yang tercipta dari pertemuan itu.

Ya, gerhana memang indah. Sering ditunggu oleh penghuni Bumi yang selalu tertarik dengan fenomena semesta yang jarang-jarang terjadi itu. Namun gerhana tak selamanya menyenangkan. Bumi menggelap. Karena itu Tuhan hanya mengijinkan keduanya bertemu selama beberapa menit yang singkat. Cukup beberapa menit, jika tidak, Bumi akan kiamat.

Lalu Bulan berharap ada awan yang cukup dekat untuk bisa merangkul Matahari dalam kedamaian yang indah. Ya, ada awan cerah. Awan berwarna biru yang indah, tak pucat seperti Bulan. Walau samar, semburat Matahari mulai berangsur cerah. Awan itu menggantikan gelap yang ditinggalkan dari hasil pertemuannya bersama Bulan. Bergandeng dan bertumpuk bersama Awan Biru yang tak pernah meninggalkannya. Tak seperti Bulan yang memilih berlari... menjauh dan menghilang dalam pekatnya langit malam. Awan Biru itu tetap ada bersama Matahari. Entah ia tahu atau tidak, tentang duka yang ditingggalkan Bulan kepada Matahari, karena Matahari pandai menyembunyikan luka dibalik sinar cerahnya.

Ya, harusnya Bulan tak pernah mengharap Matahari. Bulan tercipta bersama Bintang. Untungnya Bintang selalu mampu membuat Bulan tersenyum. Dengan sinarnya yang tak seberapa terang, Bintang merangkul Bulan untuk selalu bersinar. Ada cahaya yang saling mereka pancarkan untuk tetap menghias malam yang kelam.

Tapi Bulan tetap merindukan Matahari. Tapi juga Tuhan, mungkin memiliki kehendak dan rencana yang lain. Tuhan ingin semestanya seimbang. Dan keseimbangan itu tak mungkin terjadi jika Bulan terus memaksa untuk bersama Matahari... Bumi menggelap dan semesta menghilang.

Tuhan tak ingin membuat semestanya berduka. Mungkin karena itulah Tuhan mengirimkan satu Bintangnya yang paling terang untuk merangkul Ratu malamnya yangselalu dipeluk duka. Juga mengirimkan Awan Biru untuk mendekap Raja siangnya yang telah digoreskan duka.
Tak setinggi Matahari yang menjadi Raja. Tak setinggi Bulan yang menjadi Ratu. Namun Pangeran Bintang lebih dari cukup untuk menemani cahaya Bulan yang mulai meredup, dan juga Putri Awan yang lebih dari cukup untuk menemani Matahari yang mulai menggelap.
Karena Bintang tak akan pergi dari malam Bulan. Karena Bulan tak akan pernah bercahaya tanpa Bintangnya. Mungkin itu juga alasan Tuhan mengirimkan Awan Biru untuk Matahari.

Tuhan ingin menyelamatkan semestanya...
Tuhan ingin menyelamatkan alamnya...
Tapi Tuhan selalu adil dan tak akan membiarkan dunianya meredup dalam kesendirian yang kelam...



Einca, 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Airalaks, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena