Senandung RASA Ketika hati dan otak mulai tak mampu lagi menampung rasa dan lisan tertahan untuk menyenandungkannya, maka tulisan mengambil alih untuk menyampaikannya. Menyenandungkan semua tentang Rasa...

Senin, 14 April 2014

Selendang Biru


Aku tersenyum dingin saat ponselku berdering dan nama Dhana muncul di layar ponselku. Sebuah nama yang sudah dua bulan ini mengisi hari-hariku. Sebuah nama yang selalu membuatku tersenyum lebar dan juga tersenyum dingin, nyaris secara bersamaan. Nama yang membuatku menyusun banyak hal untuk nantinya ditunjukkan pada sosok yang bahkan belum pernah bertatap muka langsung denganku

"Aku, suka kamu. Nggak, aku  cinta kamu. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta dan itu ke kamu." 

Aku terdiam, wajahku datar saat mendengar kalimat pengakuan yang diucapkan Dhana dengan serius via telpon itu. Tak ada satupun kalimat balasan yang keluar dari bibir mungilku. Mataku lurus menatap sebuah selendang biru yang selalu aku ikatkan pada tali tasku.

"Kana, kamu nggak jawab? Atau aku harus datang ke kotamu dulu baru kamu bisa menjawab pertanyaanku?"

Aku masih diam. Mataku terpejam untuk sesaat, sebelum akhirnya aku menjawab. "Datanglah, aku tunggu kamu besok." Dan aku menyebutkan alamat tempat yang harus didatangi Dhana besok.

***

Aku duduk di atas kasurku sambil memegangi selendang biru itu. Mataku menatap selendang biru itu dengan berbagai emosi. Tapi emosi kemarahanlah yang paling mendominasi. Kemarahan yang sudah kupendam bertahun-tahun. Kemarahan yang membuatku berlari dari nyata dan memuja semu, kemarahan yang membuatku mengubur diri dan hidup dalam kegelapan.

Ini ujungnya, Kana. Ini yang kamu tunggu selama ini. Kamu harus keluar dari gelap ini.  Sekarang.

***

Bugh! Sebuah tinju yang berbalut sebuah selendang biru, kulayangkan di wajah Dhana. Dhana tersungkur di atas tanah yang becek lantaran tersiram hujan sepanjang hari ini. Setetes darah muncul di sudut bibir pria itu. Matanya menatapku dan juga sekelilingku, bingung. Terlihat jelas kagetnya bahkan belum hilang saat ternyata tempat yang aku sebutkan adalah sebuah area pemakaman.

"Apa maksudnya ini? Ini makam siapa?" Tanya Dhana. Matanya menatap bongkahan tanah berlapis rumput halus dengan nisan kayu yang tertancap di kedua sisinya.

Aku tertawa sinis. Wajahku pasti diliputi dendam menyala yang telah aku pendam selama empat tahun ini. "Ini," aku melepaskan selendang biru yang meliliti tangganku sejak tadi dan melemparkan selendang itu di hadapan Dhana.

Dhana terdiam. Matanya kini menatapku bingung. Pasti dia berfikir bahwa wajah cantik wanita yang telah dikenalnya dan sering dilihatnya di layar laptop selama dua bulan ini, benar-benar telah berubah. Wajah manis yang selalu tersenyum manja, suara manis yang selalu memanggilnya manja, benar-benar telah berubah. 

"Liat selendang biru itu! Kamu akan tahu jawabannya." Ucapku lirih.

Aku melihat kebingungan yang nyata saat Dhana meraih selendang biru itu. Dan matanya langsung menangkap sebuah sulaman berwarna emas di salah satu ujung selendang.

Nia

Aku melihat tubuh laki-laki itu tersentak. Sebuah sulaman pendek yang seketika membangkitkan seluruh ingatan Dhana yang terkubur sejak beberapa tahun lalu. Ingatan yang aku yakin sama sekali tak pernah Laki-laki itu ingat kalau bukan karena sulaman berwarna emas itu.

"Dia, perempuan yang mencintai kamu dengan seluruh hidupnya. Perempuan yang kamu tinggalin dalam keadaan hamil. Perempuan yang berjuang untuk menjaga satu-satunya yang tertinggal dari kamu. Anaknya. Anak kalian." Tukasku tajam. 

"Aku nggak tahu..." ucap Dhana lirih. Wajahnya memucat seiring dengan air mata yang kini membasahi kedua pipinya. "Dimana dia sekarang? Aku ingin meminta maaf." Serunya kemudian, seranya memegang kedua tanganku erat dan berharap.

Plak! Aku melayangkan tamparan keras di wajah Dhana, hingga Dhana terjatuh tepat di dekat nisan makam yang tadi ditatapnya. 

"Kamu liat baik-baik!" Aku mengangkat wajah Dhana dengan kasar, dan mengarahkannya tepat ke nisan kayu yang sudah usang itu.

Dhana mungkin tak mengerti, matanya menelurusi tulisan yang mulai pudar di papan nisan itu dalam hati. Otaknya pasti mencoba mencerna dan meraba siapa yang bersemayam di bawah tanah ini.

Aku mendengus. Kuhempaskan kepala Dhana hingga membentur tanah. "kamu bahkan nggak tahu nama panjangnya. Yang kamu tahu cuma 'Nia'." Ujarku tajam. "Maafmu udah nggak diperlukan lagi. Percuma. Dia udah terbaring diam di dalam tanah dan nggak akan pernah kembali lagi."

"Aku..."

"Kakakku nggak akan pernah kembali lagi!" Nyaris berteriak aku mengeluarkan semua luka yang telah kupendam selama ini. Luka yang membuatku menjadi wanita dingin yang tak mengenal rasa kasihan terhadap makhluk berjenis laki-laki. Luka yang membuatku menghabiskan masa remaja seorang diri. Benar-benar seorang diri. Tanpa orang tua dan tanpa Kakak satu-satunya. Luka yang membuatku mematikan hati dan menyusun semua ini.

Dhana tergugu. Dengan penuh penyesalan laki-laki itu bersimpuh di kakiku. Memohon maaf untuk semua luka yang telah aku rasakan karena dirinya di masa lalu. Memohon maaf untuk dua orang yang seharusnya menjadi bagian dari hidupnya tapi malah dia sia-siakan. 

Aku menatap sosok berwajah pucat yang bersimpuh di hadapanku itu dengan tatapan dingin. Darah yang menetes di sudut bibir Dhana, air mata yang mengaliri kedua pipi Dhana, juga lolongan permohonan yang keluar dari mulut Dhana, tak  membuathatiku bergeming. Aku tetap diam sambil menggenggam erat salah satu sisi selendang berwarna biru langit yang sisi satunya digenggam oleh Dhana. Air mataku perlahan menetes.

Bagiku, hari ini harus jadi akhir untuk orang ini juga. Entah akhir seperti apa. Akhir tak selalu dengan membusuk di bawah tanah seperti Kakakku. Dhana harus merasakan luka yang sama seperti yang pernah  kurasakan, luka yang sama seperti yang Kakakku rasakan. Luka karena sakitnya sebuah rasa cinta.

Cinta yang ditinggal.
Cinta yang dikhianati.
Cinta yang disakiti.
Cinta yang hilang.

Seperti selendang biru itu yang menjadi saksi sebuah cinta yang pernah dirasa Kakakku.Seperti selendang biru itu yang telah menjadi saksi cintanya pada sang Kakak yang telah tiada, juga saksi seluruh lukaku. Seperti itu juga selendang biru itu nanti akan menjadi saksi semua rasa cinta dan luka yang akan dirasakan Dhana.




Einca, 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Airalaks, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena