Kau
selalu berada di tempat yang sama. Duduk di sisi yang sama dengan dia, lelaki
jangkung dengan rambut hitam lurus yang menutupi kening hingga setengah
telinga. Tapi kau tak pernah berani menegur ataupun menyapa lelaki itu. Kau
hanya memperhatikan. Dengan pura-pura sibuk terhadap buku tebal yang kau baca,
sesekali kau mencuri pandang ke arah lelaki itu. Dan langsung pura-pura sibuk
dengan bacaanmu, ketika lelaki itu menoleh ke arahmu.
Selalu
begitu. Setiap hari. Hingga pada suatu hari, kau mulai memberanikan diri untuk
menyapa lelaki itu.
“Maaf,
kalau boleh aku tahu, kau salah satu panitia OSPEK angkatan 2013 kan?”
Awalnya
lelaki itu hanya diam. Mata bulatnya yang bermanik hitam, menatapmu dari ujung
kepala hingga kaki, menyelidik dengan seksama,
baru setelahnya lelaki itu mengangguk
singkat.
Kau
menelan ludah. Malu, tentu saja. Tapi kau tetap memberanikan diri untuk kembali
bertanya. “Namamu....”
“Aga.
Namaku Aga.”
Lelaki
itu menyela kalimat tanya yang hendak kau ucapkan. Dan lagi-lagi kau menelan
ludah. Tangan kananmu terangkat merapikan rambut kelam panjangmu yang menutupi sebelah
wajah. Lalu dengan gemetar, kau mengulurkan tangan tepat di atas buku yang
sedang lelaki itu baca. “Namaku....”
“Ifa.”
Lagi-lagi lelaki itu menyela kata-katamu. Tapi kali ini, lelaki itu tidak hanya
menyela, dia menyambut uluran tanganmu, dan memberikan seulas senyum tipis
sesaat. Lalu setelahnya, kembali tenggelam dalam buku yang dibacanya.
Kau
terdiam. Wajahmu semakin menghangat. Rasa riang itu tak mampu tertutupi. Bahkan
setelah dirimu menarik dan mengembuskan napas berkali-kali.
***
“Dia
mengenalku. Dia tahu namaku.”
Sorenya,
saat menunggu azan magrib berkumandang di depan mushola kampus, kau bercerita
tentang perkenalan singkatmu dengan lelaki itu pada sahabatmu. Wajahmu terlihat
riang luar biasa. Dan rona merah muda itu masih sering muncul sesekali.
Terutama saat matamu menerawang dan bibir mungilmu melafazkan namanya.
“Jelas
saja dia tahu, dia kan panitia OSPEK.” Sahabatmu berkomentar sambil menahan
tawa geli. “Kau terlalu berlebihan, Fa.”
Kau
menggeleng, “Aku tidak berlebihan, Nina. Kau tahu kan, betapa cueknya dia. Jadi
kalau dia sampai tahu namaku, itu jelas sesuatu yang luar biasa.” Kamu
membantah keras.
Sahabatmu
tergelak. Dan memilih untuk menyetujui argumenmu dengan anggukkan kepala pelan.
“Ya, ya, ya, dia mengenalmu. Luar biasa!” serunya geli. Dan kau akhirnya ikut
tertawa bersamanya.
Suara
tawamu dan sahabatmu terus mengalir, di tengah-tengah suara azan yang
berdengung syahdu. Hingga kemudian datang sebuah teguran yang seketika membuat
matamu terbelalak kaget.
“Ayo,
shalat berjamaah.” Aga mengajakmu dengan senyum tipis tersungging di wajah.
Kau
tergagap sesaat. Hingga kemudian Nina menyenggol lenganmu, dan menyadarkanmu
dari keterpanaan. “I, iya.” Kau berkata pelan, lalu mengikuti langkahnya yang
mulai beranjak ke tempat wudhu.
Ah,
senja itu, wajahmu benar-benar luar biasa merona. Matamu tak henti melirik dia,
hingga shalat magrib usai dilaksanakan. Dan senyum tak pernah meninggalkan
wajahmu, hingga lelaki itu berpamitan untuk pulang duluan.
***
Sudah
tiga bulan berlalu sejak kau mengenal lelaki cuek itu. Memang tak terlalu
banyak peningkatan dalam hubunganmu dan dia. Tapi setidaknya, kau sudah lebih
sering mengobrol dan bertemu dengannya.
Seperti
sore ini, lagi-lagi kau dan dia duduk berdua di taman kampus. Kau dengan
setelan celana jeans dan kaos lengan
panjang berwarna ungu, serta dia yang mengenakan celana jeans dan kaos putih yang dilapisi kemeja berwarna cokelat tua.
“Semester
depan, kau sudah skripsi ya?” tanyamu dengan wajah yang terus menunduk.
Dia mengangguk.
“Kalau
nanti skripsimu selesai, kau masih akan terus di sini atau....”
“Aku
mungkin akan pulang ke kampung halamanku di Pariaman.” Dia lagi-lagi menyela
kata-katamu. “
“Oh,”
dengan wajah sedikit terkejut, kau menengadah dan menoleh ke arahnya. “Kenapa
harus pulang?” tanyamu lirih. Selirih embusan angin sore yang bahkan tak mampu
menggoyangkan ilalang.
Dia
tersenyum. Lalu mengangkat bahu. “Ingin pulang saja."
“Oh,”
lagi-lagi kau menerima jawaban darinya dengan wajah terkejut. Bedanya, kali ini
wajahmu mulai diliputi mendung kesedihan. Dan mendung pekat itu, membuat
wajahmu kembali tertunduk. Menatap ujung sepatu hitammu.
Hening.
Seringkali
seperti ini memang. Kau dan dia lebih banyak diliputi keheningan. Dari seratus
persen kebersamaan, hanya sepersekian persen percakapan yang terjadi.
Selebihnya, hanya lirih angin yang menari-nari di antara kau dan dia.
“Ini,”
tiba-tiba saja dia menyodorkan dua lembar kertas mungil padamu.
Kau
termenung sejenak, sebelum mengulurkan tangan dan mengambil kertas mungil itu. “Tiket
nonton?” Matamu lagi-lagi membelalak dan menatapnya terkejut. “Kau mengajakku
nonton? Malam ini?” tanyamu memastikan.
Dia
mengangguk, “Bisa?” tanyanya lembut.
Kau
tak langsung menjawab. Tapi dari wajahmu, terlihat jelas bahwa kau pasti akan
mengiyakan tawaran itu. Dan benar saja, kau mengangguk riang, dengan wajah yang
lagi-lagi bersemu merah muda.
***
“Jadi,
apa yang terjadi semalam?”
Keesokan
harinya, Nina mengintrogasimu dengan suara memburu dan wajah penasaran luar
biasa.
Kau
tertunduk malu. Rasa-rasanya rona merah muda itu tak akan menghilang dari
wajahmu yang putih. “Aga dan aku nonton. Dia yang mengajakku!” Kau berseru
dengan suara tertahan. Takut, kalau-kalau ada mahasiswa lain, atau malah
teman-teman Aga yang mendengar jerit riangmu.
Nina
membelalak. Matanya membulat menatapmu tak percaya. Tapi kau meyakinkannya
dengan mengangguk berkali-kali dan cepat.
“Sumpah,
Nina. Aku pergi dengannya. Dan dia yang mengajakku. Itu kencan pertama kami.”
Kau kembali berkata dengan antusias luar biasa.
Nina
tergelak. Tapi wajahnya terlihat ikut bahagia. “Selamat ya, aku doakan cintamu
berbalas, dan dia menjadi kado ulang tahun terindahmu hari ini,” ucapnya tulus.
Kau
lagi-lagi tersipu malu. Dan kau kembali mengingat setiap detail kejadian
semalam. Tanpa kurang dan cela. Bahkan juga setiap kata.
***
Malam
itu udara berembus semilir. Tidak terlalu dingin, dan terasa cukup hangat. Kau
berdiri manis di depan pagar rumahmu, dan dia yang duduk gagah di atas
motornya. Kau tersenyum. Rambut panjangmu yang tergerai meliuk-liuk karena
tiupan angin malam.
“Terima
kasih, ya.” Kau berkata pelan. Mungkin hanya itu kata yang bisa kau ucapkan. Dan
dia, hanya membalasnya dengan senyuman singkat, lalu kalimat pendek saat
berpamitan.
Kau
tak berpaling. Matamu bahkan nyaris tak berkedip hingga motornya benar-benar
menghilang di tikungan jalan. Setelah itu, barulah kau melangkah masuk ke dalam
rumah.
Langkahmu
sungguh riang. Seolah tak ada beban sedikitpun. Dan wajahmu diliputi ceria
pelangi. Kau langsung merebahkan tubuhmu di atas ranjang begitu kau tiba di
dalam kamarmu. Wajahmu merona, mengingat-ngingat percakapan singkat, namun
manis yang terjadi selama di perjalanan.
“Apa
yang paling kau inginkan dalam hidup?” waktu itu kau bertanya dengan suara
yang menderu mengalahkan raung motor dan desau angin. Sayangnya, kau tak
mendapat jawaban. Yang kau dapatkan hanyalah pertanyaan yang sama. Dan kau
menjawab dengan suara lirih, entah dia mendengar suaramu atau tidak. “Aku ingin
bahagia. Berdua. Bersamamu.”
***
Hari
ini tak ada yang berbeda. Usai mengulang kisah kencan semalammu bersama Nina,
kau mencoba mencarinya di sepenjuru kampus. Tapi wajahnya tak kunjung terlihat.
Kau bahkan memberanikan diri untuk bertanya pada teman seangkatannya, tapi
semua tak ada yang tahu tentang keberadaan dirinya. Hingga akhirnya kau
kelelahan, kau memilih duduk di bangku taman yang sore kemarin baru saja kau
duduki bersamanya.
Wajahmu
menunduk. Hilang sudah rona merah muda di sana. Yang ada sekarang hanyalah rona
kelabu yang memberatkan wajah manismu. Kau benar-benar tampak tak bersemangat. Bahkan
saat ada teman yang menyapamu, kau hanya membalas dengan anggukan singkat.
“Kau
di mana? Hari ini ulang tahunku, kenapa kau tak ada?” Lirih kata itu keluar
dari mulutmu. Kau mendesah kecewa.
Hening.
Kepalamu
terus tertunduk. Hingga sebuah desau angin kencang menerbangkan rambut panjangmu,
hingga berantakan. Kau tak bergeming. Namun sesaat kemudian, kau seolah
teringat sesuatu. Buru-buru kau merogoh tasmu, dan mengeluarkan ponselmu.
“Ya
Tuhan.... Kenapa bisa mati sih? Aku kan jadi tidak tahu kalau ada pesan masuk
darinya!” Kau berseru kesal dan menepuk jidatmu sendiri, pelan.
Cepat
kau membaca pesan panjang yang dia kirimkan. Dan seketika saja, wajahmu
berubah. Mendung kelabu menghilang, rona haru yang kini muncul.
From : Aga
Tadi malam
kau bertanya apa yang paling kuinginkan dalam hidup? Aku menginginkan
kebahagiaan. Bersama dia yang kucinta. Kau tahu, aku sudah lama
memperhatikanmu. Aku ingat saat kau pertama kali muncul di OSPEK Fakultas. Aku juga
ingat saat kau masuk ke UKM yang sama dengan pacarmu dulu. Kau bodoh. Aku ingin
bilang begitu, tapi aku tak punya hak untuk mengatakannya. Aku selalu tertawa
geli melihatmu yang selalu duduk diam membaca buku yang sama setiap kali kau
duduk di perpus. Awalnya aku tak begitu mengacuhkanmu. Tapi lama kelamaan,
hadirmu menarikku. Dalam diam, aku sering mengamatimu. Kau berbeda. Mungkinkah
aku jatuh cinta padamu? Entahlah. Tapi yang kutahu, aku mulai terbiasa akan
hadirmu.
Selamat ulang tahun, Ifa. Semoga apa yang kau inginkan dalam
hidup, dapat kau capai. Apapun itu.
Kau
tampak tergugu membaca pesan panjang itu. Perlahan air matamu menetes haru. “Kau,
satu hal yang paling kuinginkan hanya dirimu.”
(Dedicated
to Mpil. Semoga memuaskan)
Einca, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar