Senandung RASA Ketika hati dan otak mulai tak mampu lagi menampung rasa dan lisan tertahan untuk menyenandungkannya, maka tulisan mengambil alih untuk menyampaikannya. Menyenandungkan semua tentang Rasa...

Senin, 05 Januari 2015

Dalam Hening Cintamu


Kau selalu berada di tempat yang sama. Duduk di sisi yang sama dengan dia, lelaki jangkung dengan rambut hitam lurus yang menutupi kening hingga setengah telinga. Tapi kau tak pernah berani menegur ataupun menyapa lelaki itu. Kau hanya memperhatikan. Dengan pura-pura sibuk terhadap buku tebal yang kau baca, sesekali kau mencuri pandang ke arah lelaki itu. Dan langsung pura-pura sibuk dengan bacaanmu, ketika lelaki itu menoleh ke arahmu.

Selalu begitu. Setiap hari. Hingga pada suatu hari, kau mulai memberanikan diri untuk menyapa lelaki itu.

“Maaf, kalau boleh aku tahu, kau salah satu panitia OSPEK angkatan 2013 kan?”

Awalnya lelaki itu hanya diam. Mata bulatnya yang bermanik hitam, menatapmu dari ujung kepala hingga kaki, menyelidik dengan  seksama, baru setelahnya lelaki itu  mengangguk singkat.

Kau menelan ludah. Malu, tentu saja. Tapi kau tetap memberanikan diri untuk kembali bertanya. “Namamu....”

“Aga. Namaku Aga.”

Lelaki itu menyela kalimat tanya yang hendak kau ucapkan. Dan lagi-lagi kau menelan ludah. Tangan kananmu terangkat merapikan rambut kelam panjangmu yang menutupi sebelah wajah. Lalu dengan gemetar, kau mengulurkan tangan tepat di atas buku yang sedang lelaki itu baca. “Namaku....”

“Ifa.” Lagi-lagi lelaki itu menyela kata-katamu. Tapi kali ini, lelaki itu tidak hanya menyela, dia menyambut uluran tanganmu, dan memberikan seulas senyum tipis sesaat. Lalu setelahnya, kembali tenggelam dalam buku yang dibacanya.

Kau terdiam. Wajahmu semakin menghangat. Rasa riang itu tak mampu tertutupi. Bahkan setelah dirimu menarik dan mengembuskan napas berkali-kali.


***

“Dia mengenalku. Dia tahu namaku.”

Sorenya, saat menunggu azan magrib berkumandang di depan mushola kampus, kau bercerita tentang perkenalan singkatmu dengan lelaki itu pada sahabatmu. Wajahmu terlihat riang luar biasa. Dan rona merah muda itu masih sering muncul sesekali. Terutama saat matamu menerawang dan bibir mungilmu melafazkan namanya.

“Jelas saja dia tahu, dia kan panitia OSPEK.” Sahabatmu berkomentar sambil menahan tawa geli. “Kau terlalu berlebihan, Fa.”

Kau menggeleng, “Aku tidak berlebihan, Nina. Kau tahu kan, betapa cueknya dia. Jadi kalau dia sampai tahu namaku, itu jelas sesuatu yang luar biasa.” Kamu membantah keras.

Sahabatmu tergelak. Dan memilih untuk menyetujui argumenmu dengan anggukkan kepala pelan. “Ya, ya, ya, dia mengenalmu. Luar biasa!” serunya geli. Dan kau akhirnya ikut tertawa bersamanya.

Suara tawamu dan sahabatmu terus mengalir, di tengah-tengah suara azan yang berdengung syahdu. Hingga kemudian datang sebuah teguran yang seketika membuat matamu terbelalak kaget.

“Ayo, shalat berjamaah.” Aga mengajakmu dengan senyum tipis tersungging di wajah.

Kau tergagap sesaat. Hingga kemudian Nina menyenggol lenganmu, dan menyadarkanmu dari keterpanaan. “I, iya.” Kau berkata pelan, lalu mengikuti langkahnya yang mulai beranjak ke tempat wudhu.

Ah, senja itu, wajahmu benar-benar luar biasa merona. Matamu tak henti melirik dia, hingga shalat magrib usai dilaksanakan. Dan senyum tak pernah meninggalkan wajahmu, hingga lelaki itu berpamitan untuk pulang duluan.


***

Sudah tiga bulan berlalu sejak kau mengenal lelaki cuek itu. Memang tak terlalu banyak peningkatan dalam hubunganmu dan dia. Tapi setidaknya, kau sudah lebih sering mengobrol dan bertemu dengannya.

Seperti sore ini, lagi-lagi kau dan dia duduk berdua di taman kampus. Kau dengan setelan celana jeans dan kaos lengan panjang berwarna ungu, serta dia yang mengenakan celana jeans dan kaos putih yang dilapisi kemeja berwarna cokelat tua.

“Semester depan, kau sudah skripsi ya?” tanyamu dengan wajah yang terus menunduk.

Dia mengangguk.

“Kalau nanti skripsimu selesai, kau masih akan terus di sini atau....”

“Aku mungkin akan pulang ke kampung halamanku di Pariaman.” Dia lagi-lagi menyela kata-katamu. “

“Oh,” dengan wajah sedikit terkejut, kau menengadah dan menoleh ke arahnya. “Kenapa harus pulang?” tanyamu lirih. Selirih embusan angin sore yang bahkan tak mampu menggoyangkan ilalang.

Dia tersenyum. Lalu mengangkat bahu. “Ingin pulang saja."

“Oh,” lagi-lagi kau menerima jawaban darinya dengan wajah terkejut. Bedanya, kali ini wajahmu mulai diliputi mendung kesedihan. Dan mendung pekat itu, membuat wajahmu kembali tertunduk. Menatap ujung sepatu hitammu.

Hening.

Seringkali seperti ini memang. Kau dan dia lebih banyak diliputi keheningan. Dari seratus persen kebersamaan, hanya sepersekian persen percakapan yang terjadi. Selebihnya, hanya lirih angin yang menari-nari di antara kau dan dia.

“Ini,” tiba-tiba saja dia menyodorkan dua lembar kertas mungil padamu.

Kau termenung sejenak, sebelum mengulurkan tangan dan mengambil kertas mungil itu. “Tiket nonton?” Matamu lagi-lagi membelalak dan menatapnya terkejut. “Kau mengajakku nonton? Malam ini?” tanyamu memastikan.

Dia mengangguk, “Bisa?” tanyanya lembut.

Kau tak langsung menjawab. Tapi dari wajahmu, terlihat jelas bahwa kau pasti akan mengiyakan tawaran itu. Dan benar saja, kau mengangguk riang, dengan wajah yang lagi-lagi bersemu merah muda.


***

“Jadi, apa yang terjadi semalam?”

Keesokan harinya, Nina mengintrogasimu dengan suara memburu dan wajah penasaran luar biasa.

Kau tertunduk malu. Rasa-rasanya rona merah muda itu tak akan menghilang dari wajahmu yang putih. “Aga dan aku nonton. Dia yang mengajakku!” Kau berseru dengan suara tertahan. Takut, kalau-kalau ada mahasiswa lain, atau malah teman-teman Aga yang mendengar jerit riangmu.

Nina membelalak. Matanya membulat menatapmu tak percaya. Tapi kau meyakinkannya dengan mengangguk berkali-kali dan cepat.

“Sumpah, Nina. Aku pergi dengannya. Dan dia yang mengajakku. Itu kencan pertama kami.” Kau kembali berkata dengan antusias luar biasa.

Nina tergelak. Tapi wajahnya terlihat ikut bahagia. “Selamat ya, aku doakan cintamu berbalas, dan dia menjadi kado ulang tahun terindahmu hari ini,” ucapnya tulus.

Kau lagi-lagi tersipu malu. Dan kau kembali mengingat setiap detail kejadian semalam. Tanpa kurang dan cela. Bahkan juga setiap kata.


***


Malam itu udara berembus semilir. Tidak terlalu dingin, dan terasa cukup hangat. Kau berdiri manis di depan pagar rumahmu, dan dia yang duduk gagah di atas motornya. Kau tersenyum. Rambut panjangmu yang tergerai meliuk-liuk karena tiupan angin malam.

“Terima kasih, ya.” Kau berkata pelan. Mungkin hanya itu kata yang bisa kau ucapkan. Dan dia, hanya membalasnya dengan senyuman singkat, lalu kalimat pendek saat berpamitan.

Kau tak berpaling. Matamu bahkan nyaris tak berkedip hingga motornya benar-benar menghilang di tikungan jalan. Setelah itu, barulah kau melangkah masuk ke dalam rumah.

Langkahmu sungguh riang. Seolah tak ada beban sedikitpun. Dan wajahmu diliputi ceria pelangi. Kau langsung merebahkan tubuhmu di atas ranjang begitu kau tiba di dalam kamarmu. Wajahmu merona, mengingat-ngingat percakapan singkat, namun manis yang terjadi selama di perjalanan.

“Apa yang paling kau inginkan dalam hidup?” waktu itu kau bertanya dengan suara yang menderu mengalahkan raung motor dan desau angin. Sayangnya, kau tak mendapat jawaban. Yang kau dapatkan hanyalah pertanyaan yang sama. Dan kau menjawab dengan suara lirih, entah dia mendengar suaramu atau tidak. “Aku ingin bahagia. Berdua. Bersamamu.”


***

Hari ini tak ada yang berbeda. Usai mengulang kisah kencan semalammu bersama Nina, kau mencoba mencarinya di sepenjuru kampus. Tapi wajahnya tak kunjung terlihat. Kau bahkan memberanikan diri untuk bertanya pada teman seangkatannya, tapi semua tak ada yang tahu tentang keberadaan dirinya. Hingga akhirnya kau kelelahan, kau memilih duduk di bangku taman yang sore kemarin baru saja kau duduki bersamanya.

Wajahmu menunduk. Hilang sudah rona merah muda di sana. Yang ada sekarang hanyalah rona kelabu yang memberatkan wajah manismu. Kau benar-benar tampak tak bersemangat. Bahkan saat ada teman yang menyapamu, kau hanya membalas dengan anggukan singkat.

“Kau di mana? Hari ini ulang tahunku, kenapa kau tak ada?” Lirih kata itu keluar dari mulutmu. Kau mendesah kecewa.

Hening.

Kepalamu terus tertunduk. Hingga sebuah desau angin kencang menerbangkan rambut panjangmu, hingga berantakan. Kau tak bergeming. Namun sesaat kemudian, kau seolah teringat sesuatu. Buru-buru kau merogoh tasmu, dan mengeluarkan ponselmu.

“Ya Tuhan.... Kenapa bisa mati sih? Aku kan jadi tidak tahu kalau ada pesan masuk darinya!” Kau berseru kesal dan menepuk jidatmu sendiri, pelan.

Cepat kau membaca pesan panjang yang dia kirimkan. Dan seketika saja, wajahmu berubah. Mendung kelabu menghilang, rona haru yang kini muncul.

From : Aga
            Tadi malam kau bertanya apa yang paling kuinginkan dalam hidup? Aku menginginkan kebahagiaan. Bersama dia yang kucinta. Kau tahu, aku sudah lama memperhatikanmu. Aku ingat saat kau pertama kali muncul di OSPEK Fakultas. Aku juga ingat saat kau masuk ke UKM yang sama dengan pacarmu dulu. Kau bodoh. Aku ingin bilang begitu, tapi aku tak punya hak untuk mengatakannya. Aku selalu tertawa geli melihatmu yang selalu duduk diam membaca buku yang sama setiap kali kau duduk di perpus. Awalnya aku tak begitu mengacuhkanmu. Tapi lama kelamaan, hadirmu menarikku. Dalam diam, aku sering mengamatimu. Kau berbeda. Mungkinkah aku jatuh cinta padamu? Entahlah. Tapi yang kutahu, aku mulai terbiasa akan hadirmu.
Selamat ulang tahun, Ifa. Semoga apa yang kau inginkan dalam hidup, dapat kau capai. Apapun itu.


Kau tampak tergugu membaca pesan panjang itu. Perlahan air matamu menetes haru. “Kau, satu hal yang paling kuinginkan hanya dirimu.”




(Dedicated to Mpil. Semoga memuaskan)

Einca, 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Airalaks, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena