Senandung RASA Ketika hati dan otak mulai tak mampu lagi menampung rasa dan lisan tertahan untuk menyenandungkannya, maka tulisan mengambil alih untuk menyampaikannya. Menyenandungkan semua tentang Rasa...

Minggu, 25 Januari 2015

Darah Kematian


“Aku membencimu. Dengan keseluruhan jiwa dan segenap embusan napas, aku bersumpah, putrimu akan merasakan sakit seperti yang kurasa. Air mata darah akan membasahi kedua matanya. Tak hanya setitik atau pun setetes. Tapi darah yang akan terus membanjiri wajah, pun luka hatinya. Hingga ia mati.”


***


“Aaakkk!!!” Linggar menutup kedua telinganya kuat-kuat. Bibirnya terkatup rapat. Kepalanya menggeleng berkali-kali. Dan ia mulai terisak.

Kutukan. Sumpah. Luka. Kesakitan.

Kata-kata itu berputar di kepala Linggar sejak ayah memberitahukannya kemungkinan lain, kenapa penyakit aneh yang ia derita tak kunjung sembuh. Semua memang berawal saat Randu pergi meninggalkannya. Randu pergi tepat di hari pertunangan mereka. Randu pergi meninggalkannya bersama wanita lain. Persis. Sama seperti apa yang telah ayahnya lakukan dulu, terhadap seorang wanita yang sangat mencintainya. Wanita yang kata ayah, mengutuk dirinya. 

Linggar menghela napas kuat-kuat. Matanya mulai terasa perih dan basah. Tapi Linggar membiarkannya. Percuma. Diusap dan dihapus berkali-kali pun, basah pekat yang menetes dari kelopak matanya itu tak akan berhenti.

Bau amis dan titik-titik yang nantinya akan mengotori piyama rumah sakit yang ia kenakan, tak lagi Linggar peduli. Tak ada gunanya. Bau amis dan warna merah pekat itu telah hampir dua tahun menemani hari-harinya. Merah pekat berbau amis itu, akan menetes berkali-kali lipat jika ia mulai merindukan Randu.

***

Gadis berambut sebahu itu selalu melakukan kegiatan yang sama setiap harinya. Menimang vas bercorak mawar yang berisi sepuluh tangkai mawar putih yang telah lama punah. Jangankan kelopaknya, benang sarinya saja sudah tak terlihat lagi. Hanya tinggal tangkai. Tangkai kering yang sebentar lagi pasti akan binasa seperti kelopak, daun dan benang sari si mawar.

Langga merenung. Gadis itu seumuran dengannya. Cantik. Tapi tak waras. Sudah satu tahun Langga menjadi dokter yang menangani penyakit gadis itu. Setelah dokter sebelumnya pindah ke rumah sakit lain di luar kota. Selama setahun ini, sudah cukup kenyang Langga membaca semua data gadis itu. Tapi Langga tetap tak habis pikir akan penyakit yang gadis itu derita.

“Sebenarnya apa yang terjadi pada gadis ini? Sumpah? Sumpah apa?” Langga bergumam di depan pintu. Kemarin, ia tak sengaja mencuri dengar percakapan Linggar dan ayahnya.

Jelas-jelas gadis itu mengidap haemolacria. Jenis penyakit langka yang belum pernah terjadi di Indonesia. Bahkan di dunia pun, baru segelintir saja yang terkena penyakit jenis ini. Tak ada tanda-tanda khusus yang terlihat sebelum penyakit ini muncul. Tiba-tiba saja sipenderita sudah mengeluarkan air mata darah dalam jumlah yang banyak. Dan itu sering, 4-5 kali dalam sehari. Bisa lebih jika pasien sedang mengalami depresi berkepanjangan.

Embusan napas keras keluar dari lubang hidung Langga. Pelan, ia berjalan memasuki kamar Linggar, lalu berdiri di samping gadis itu. Matanya menatap Linggar lekat. Kemarin, saat usai ia mencuri dengar percakapan itu, ayah Linggar datang ke ruangannya dan memohon.

“Jika memang tak ada obat yang bisa menyembuhkannya, biarkan dia dibawa pulang saja, Dok. Mungkin memang Linggar tak bisa diobati.”

Kata-kata putus asa. Tentu saja Langga menolak. Ia tak percaya kutukan. Lagi pula, penyakit Linggar bisa dideteksi medis. Dan Langga, masih berusaha agar gadis itu bisa sembuh. Tak lagi menangis darah, pun berteriak-teriak histeris tiap malam tiba, atau tiap kali suster ingin membuang bangkai mawar yang nyaris binasa itu.

“Hai, Linggar. Bagaimana kabarmu hari ini?” Langga menyapa ramah.

Gadis itu bergeming. Langga menghela napas. “Linggar....” Kali ini Langga memanggil sambil menyentuh pundak Linggar lembut.

Berhasil. Linggar menoleh. Matanya yang berlinang darah, menatap Langga kosong. Langga mengerjap. Walau pun sudah sering melihat kondisi Linggar, tetap saja ia masih terkejut. Sungguh, jika Linggar dilepas di tempat umum, pasti gadis itu sudah membuat masyarakat ketakutan.

“Hahaha....” Linggar tertawa keras. Membuat Langga mengernyit heran. “Kenapa? Aku begitu menyedihkan bukan? Sebentar lagi aku pasti mati. Tak apa. Lebih baik aku mati daripada merasakan sakit seperti ini. Mata, hati, jiwa dan seluruh ragaku kesakitan. Berdarah. Seperti ini.” Linggar mengusap tetesan darah di wajah dengan telapak tangan, lalu mengulurkan lumuran darah itu tepat di depan wajah Langga. “Darah!” katanya hampa.

Langga terdiam sesaat. Kata-kata ayah Linggar kembali menendang-nendang kotak ingatannya.

“Semua ini kesalahan saya. Hingga Linggar harus merasakan sakit seperti sekarang. Linggar tak akan bisa sembuh, Dok. Hanya wanita itu, wanita yang telah saya sakiti itu yang bisa menyembuhkan Linggar. Mencabut sumpah terkutuk itu.”

“Dokter, kapan aku mati?” Tanya itu menyadarkan Langga dari diamnya.

Langga tak langsung menjawab. Sendu, ditatapnya Linggar yang kini kembali menatap titik hujan yang mengenai jendela. Tetes-tetes darah semakin deras mengaliri kedua pipinya. “Apa yang kau dapatkan jika kau mati?” Bukannya menjawab, Langga malah bertanya.

Linggar diam. Bibirnya terkatup rapat. Dipeluknya vas mawar dengan erat. Perlahan bibirnya menyunggingkan senyum. Senyum yang lebih mirip seringaian mengerikan di mata Langga. Dengan bola mata yang sepenuhnya sudah diwarnai merah darah, Linggar menjawab, “Ketenangan. Kesakitan menghilang.”


***


Langga pulang dengan kepala sakit luar biasa. Tatapan Linggar, pun kata yang mengalir hampa dari bibir gadis itu, mengacaukan pikirannya. Jika saja Langga tak cukup kuat, ia pasti sudah ikut gila. Karena setelah mengucapkan kata-kata itu, Linggar tertawa lalu meraung histeris. Menyeramkan.

Mati. Kesakitan lenyap. Ketenangan didapat. Segampang itukah? Tanya itu terus berputar di kepala Langga.

“Hanya kematian yang bisa menghilangkan semuanya. Hanya kematian yang bisa memusnahkan semua kesakitan. Hanya kematian.”

Langga menghentikan langkah. Suara itu menahan kakinya yang sudah siap menaiki anak tangga. Pelan, Langga memutar badan, lalu menghampiri ambang pintu kamar sang mama yang terbuka lebar. Ia tajamkan telinga, pun juga mata. Suara hampa dan mengandung kata “kematian” itu mengusiknya.

“.... Hanya kematian....”

Langga terperangah. Bukan karena suara mama yang terdengar asing, tapi foto berbingkai figura berukuran 10R yang dipegang mama lah, yang menjadi sumber keterkejutannya. Ia kenal siapa pria itu. Pria yang sudah setahun ini selalu dilihatnya di rumah sakit. Ayah Linggar.


***


“Hanya kematian yang bisa menghilangkan semuanya. Hanya kematian yang bisa memusnahkan semua kesakitan. Hanya kematian.”

Linggar menggenggam erat vas mawarnya dengan tangan kanan. Darah terus mengaliri mata bulatnya. Sementara tangan kirinya terkulai lemas. Ranjang pesakitannya basah. Basah oleh tetes darah dari mata dan pergelangan tangannya yang nyaris putus.

Perlahan Linggar tersenyum kecil. Mata bulatnya yang merah, menatap kosong dalam kegelapan. “Mati. Ketenangan.”




(Diikutsertakan dalam tantangan menulis @KampusFiksi, 982 kata, #KataSebuahNapas)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Airalaks, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena