“Aku membencimu. Dengan keseluruhan jiwa
dan segenap embusan napas, aku bersumpah, putrimu akan merasakan sakit seperti
yang kurasa. Air mata darah akan membasahi kedua matanya. Tak hanya setitik atau
pun setetes. Tapi darah yang akan terus membanjiri wajah, pun luka
hatinya. Hingga ia mati.”
***
“Aaakkk!!!” Linggar menutup kedua
telinganya kuat-kuat. Bibirnya terkatup rapat. Kepalanya menggeleng
berkali-kali. Dan ia mulai terisak.
Kutukan. Sumpah. Luka. Kesakitan.
Kata-kata itu berputar di kepala Linggar
sejak ayah memberitahukannya kemungkinan lain, kenapa penyakit aneh yang ia
derita tak kunjung sembuh. Semua memang berawal saat Randu pergi
meninggalkannya. Randu pergi tepat di hari pertunangan mereka. Randu pergi
meninggalkannya bersama wanita lain. Persis. Sama seperti apa yang telah
ayahnya lakukan dulu, terhadap seorang wanita yang sangat mencintainya. Wanita
yang kata ayah, mengutuk dirinya.
Linggar menghela napas kuat-kuat. Matanya
mulai terasa perih dan basah. Tapi Linggar membiarkannya. Percuma. Diusap dan
dihapus berkali-kali pun, basah pekat yang menetes dari kelopak matanya itu tak
akan berhenti.
Bau amis dan titik-titik yang
nantinya akan mengotori piyama rumah sakit yang ia kenakan, tak lagi Linggar
peduli. Tak ada gunanya. Bau amis dan warna merah pekat itu telah hampir dua
tahun menemani hari-harinya. Merah pekat berbau amis itu, akan menetes berkali-kali
lipat jika ia mulai merindukan Randu.
***
Gadis berambut sebahu itu selalu melakukan
kegiatan yang sama setiap harinya. Menimang vas bercorak mawar yang
berisi sepuluh tangkai mawar putih yang telah lama punah.
Jangankan kelopaknya, benang sarinya saja sudah tak terlihat lagi. Hanya
tinggal tangkai. Tangkai kering yang sebentar lagi pasti akan binasa seperti
kelopak, daun dan benang sari si mawar.
Langga merenung. Gadis itu seumuran
dengannya. Cantik. Tapi tak waras. Sudah satu tahun Langga menjadi dokter yang
menangani penyakit gadis itu. Setelah dokter sebelumnya pindah ke rumah sakit
lain di luar kota. Selama setahun ini, sudah cukup kenyang Langga membaca semua
data gadis itu. Tapi Langga tetap tak habis pikir akan penyakit yang gadis itu
derita.
“Sebenarnya apa yang terjadi pada gadis
ini? Sumpah? Sumpah apa?” Langga bergumam di depan pintu. Kemarin, ia tak
sengaja mencuri dengar percakapan Linggar dan ayahnya.
Jelas-jelas gadis itu mengidap haemolacria.
Jenis penyakit langka yang belum pernah terjadi di Indonesia. Bahkan di dunia
pun, baru segelintir saja yang terkena penyakit jenis ini. Tak ada tanda-tanda
khusus yang terlihat sebelum penyakit ini muncul. Tiba-tiba saja sipenderita
sudah mengeluarkan air mata darah dalam jumlah yang banyak. Dan itu sering, 4-5
kali dalam sehari. Bisa lebih jika pasien sedang mengalami depresi
berkepanjangan.
Embusan napas keras keluar dari lubang
hidung Langga. Pelan, ia berjalan memasuki kamar Linggar, lalu berdiri di
samping gadis itu. Matanya menatap Linggar lekat. Kemarin, saat usai ia mencuri
dengar percakapan itu, ayah Linggar datang ke ruangannya dan memohon.
“Jika memang tak ada obat yang bisa
menyembuhkannya, biarkan dia dibawa pulang saja, Dok. Mungkin memang Linggar
tak bisa diobati.”
Kata-kata putus asa. Tentu saja Langga
menolak. Ia tak percaya kutukan. Lagi pula, penyakit Linggar bisa dideteksi
medis. Dan Langga, masih berusaha agar gadis itu bisa sembuh. Tak lagi menangis
darah, pun berteriak-teriak histeris tiap malam tiba, atau tiap kali suster
ingin membuang bangkai mawar yang nyaris binasa itu.
“Hai, Linggar. Bagaimana kabarmu hari
ini?” Langga menyapa ramah.
Gadis itu bergeming. Langga menghela
napas. “Linggar....” Kali ini Langga memanggil sambil menyentuh pundak Linggar
lembut.
Berhasil. Linggar menoleh. Matanya yang
berlinang darah, menatap Langga kosong. Langga mengerjap. Walau pun sudah
sering melihat kondisi Linggar, tetap saja ia masih terkejut. Sungguh, jika
Linggar dilepas di tempat umum, pasti gadis itu sudah membuat masyarakat ketakutan.
“Hahaha....” Linggar tertawa keras.
Membuat Langga mengernyit heran. “Kenapa? Aku begitu menyedihkan bukan?
Sebentar lagi aku pasti mati. Tak apa. Lebih baik aku mati daripada merasakan
sakit seperti ini. Mata, hati, jiwa dan seluruh ragaku kesakitan. Berdarah.
Seperti ini.” Linggar mengusap tetesan darah di wajah dengan telapak tangan,
lalu mengulurkan lumuran darah itu tepat di depan wajah Langga. “Darah!”
katanya hampa.
Langga terdiam sesaat. Kata-kata ayah
Linggar kembali menendang-nendang kotak ingatannya.
“Semua ini kesalahan saya. Hingga Linggar
harus merasakan sakit seperti sekarang. Linggar tak akan bisa sembuh, Dok.
Hanya wanita itu, wanita yang telah saya sakiti itu yang bisa menyembuhkan
Linggar. Mencabut sumpah terkutuk itu.”
“Dokter, kapan aku mati?” Tanya itu
menyadarkan Langga dari diamnya.
Langga tak langsung menjawab. Sendu,
ditatapnya Linggar yang kini kembali menatap titik hujan yang
mengenai jendela. Tetes-tetes darah semakin deras mengaliri
kedua pipinya. “Apa yang kau dapatkan jika kau mati?” Bukannya menjawab, Langga
malah bertanya.
Linggar diam. Bibirnya terkatup rapat.
Dipeluknya vas mawar dengan erat. Perlahan bibirnya
menyunggingkan senyum. Senyum yang lebih mirip seringaian mengerikan di mata
Langga. Dengan bola mata yang sepenuhnya sudah diwarnai merah darah, Linggar
menjawab, “Ketenangan. Kesakitan menghilang.”
***
Langga pulang dengan kepala sakit luar
biasa. Tatapan Linggar, pun kata yang mengalir hampa dari bibir gadis itu, mengacaukan
pikirannya. Jika saja Langga tak cukup kuat, ia pasti sudah ikut gila. Karena
setelah mengucapkan kata-kata itu, Linggar tertawa lalu meraung histeris.
Menyeramkan.
Mati. Kesakitan lenyap. Ketenangan
didapat. Segampang itukah? Tanya itu terus berputar di kepala Langga.
“Hanya kematian yang bisa menghilangkan
semuanya. Hanya kematian yang bisa memusnahkan semua kesakitan. Hanya
kematian.”
Langga menghentikan langkah. Suara itu
menahan kakinya yang sudah siap menaiki anak tangga. Pelan, Langga memutar
badan, lalu menghampiri ambang pintu kamar sang mama yang terbuka lebar. Ia
tajamkan telinga, pun juga mata. Suara hampa dan mengandung kata “kematian” itu
mengusiknya.
“.... Hanya kematian....”
Langga terperangah. Bukan karena suara
mama yang terdengar asing, tapi foto berbingkai figura berukuran 10R yang
dipegang mama lah, yang menjadi sumber keterkejutannya. Ia kenal siapa pria
itu. Pria yang sudah setahun ini selalu dilihatnya di rumah sakit. Ayah
Linggar.
***
“Hanya kematian yang bisa menghilangkan
semuanya. Hanya kematian yang bisa memusnahkan semua kesakitan. Hanya
kematian.”
Linggar menggenggam erat vas mawarnya dengan
tangan kanan. Darah terus mengaliri mata bulatnya. Sementara tangan kirinya
terkulai lemas. Ranjang pesakitannya basah. Basah oleh tetes darah
dari mata dan pergelangan tangannya yang nyaris putus.
Perlahan Linggar tersenyum kecil. Mata
bulatnya yang merah, menatap kosong dalam kegelapan. “Mati. Ketenangan.”
(Diikutsertakan
dalam tantangan menulis @KampusFiksi, 982 kata, #KataSebuahNapas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar