Judulnya
keren nggak? Keren dong.
Jadi
gini, seusai judulnya, gue lagi pengen bahas tentang “ditinggal”.
Ditinggal,
beda dengan meninggalkan. Mending jadi yang meninggalkan daripada yang
ditinggal. Iya nggak? Awraiitt! Hoho.
Siapa
sih yang nggak sakit kalau ditinggal. Cuma manusia sakit jiwa yang nggak sakit
kalau ditinggal. Atau manusia apatis yang sebodo amat dan nggak peduli sama
dunia. Tapi kalau manusia normal, pasti hatinya berdarah-darah kalau ditinggal.
Pasti! Pasti banget itu!
Ditinggal
banyak jenisnya. Ada yang ditinggal dalam artian yang sederhana. Ada yang
ditinggal dalam artian yang nggak sederhana. Nah, biasanya yang sakit ini yang
nggak sederhana ini. Kalau ditinggal dalam artian sederhana sih, bisa berupa
kayak, lo ditinggal bonyok ke pasar. Simplenya gitu. Atau, lo ditinggal nenek
lo cabut gigi di kiosnya Ko Liong.
Sederhana kan? Itu nggak akan bikin lo sakit.
Tapi
yang mau gue bahas bukan jenis ditinggal yang itu. Yang mau gue bahas, agak
berat dikit. Hoho....
Ehem!
*benerin mic*
Jadi,
gue punya adek ketemu gede. Baru-baru ini dia nangis bombai karena ditinggal
seseorang. Seseorang yang dia anggap kakak, sahabat, pegangan dan tempat
bergantung. Luar biasa banget pokoknya si kakak ini. Dia selalu kasih angin
segar ke si adek ini. Segar banget. Bahkan sampai-sampai, si adek nganggep si
kakak ini, manusia setengah malaikat dan setengah gorila dewa. Keren
kan? Tapi itu hanya bertahan beberapa bulan aja.
Tiba-tiba,
si kakak ini berubah jadi es dingin. Nggak konyol lagi. Nggak jenaka
lagi. Atau tiba-tiba labil kayak abege. Kadang lucu, kadang nggak. Semenit gokil, semenit
kampret. Si adek jadi galau. Puncaknya, ketika si kakak secara sepihak
memutuskan untuk menjauh. Jreng! Sakitnya tuh di... *terserah lo mau nunjuk apa*
Sejuta
sumpah serapah pasti berkecamuk di otak adek ini. Tapi tangis dan kejatuhan lah yang berada
di deretan terdepan. Daripada misuh, doi pilih nggak tidur seharian dan nangis,
seharian juga. Mungkin adek gue ini sekarang mukanya udah lebih bengep daripada
orang yang habis dihajar puluhan preman.
Gue
kasihan. Jelas. Gue pernah ngerasain yang dia rasaian. Beberapa waktu lalu.
Tapi si adek ini, belum sekuat gue. Demi apa, gue pengen narik dia ke hutan
terus ajak dia teriak kencang-kencang. Biar tangisnya hilang. Biar sesaknya
ngurang. Biar sedihnya nguap bersama angin hutan yang sejuk. Heyaaah! Sayangnya gue jauh. Jadi
gue cuma bisa dengerin sambil ketawa miris. Miris karena si adek juga ngalamin yang
gue alamin.
Ditinggal
itu nggak enak banget. Serius! Ditinggal itu bisa mematikan kalau yang ditinggal nggak kuat. Serius!
Pesan
gue buat lo-lo pada yang sering seenak jidat ninggalin orang, jangan kasih
angin kalau lo mau nimbulin badai. Nggak semua manusia siap dihempas badai. Nggak
semua manusia kuat ditinggal dalam diam. Kalau lo-lo pada tetap lakuin itu,
asli, otak lo nggak waras! Apalagi kalau orang yang lo tinggal nggak ada salah.
Jangan bikin persepsi dari pihak lo semata. Pikirin pihak lain yang tersakiti.
Bayangin kalau lo yang ada di posisi dia. Lo pikir enak apa ditinggal gitu aja?
Udah lo sayang-sayang, lo manja-manja, tau-tau. Bam! Lo cabut kayak malaikat
maut! Situ pikir situ siapa? Rangga? Yang nanti setelah bosan ngejauh, terus
nongol lagi dan ngarep hubungan bisa kembali terjalin baik? Ngimpi!
Dan
buat yang ditinggal. Kalau kalian ditinggal sama orang model begitu, cuekin
aja! Bukan berarti gue ngharamin kalian selfie nangis. Bukan! Nangis mah
nangis aja. Gue bisa paham. Tapi nggak usah lama-lama. Kalau lo nggak kuat
lihat no hapenya atau namanya yang masih nongol di list chat, lo blokir aja.
Buat sementara aja deh, nggak usah lama-lama. Seenggaknya sampai lo kuat. Sesudahnya,
terserah lo, masih mau komunikasi atau mengenyahkan orang itu selama-lamanya
dari pikiran, hati, jiwa, juga kontak WhatsApp.
Hidup
ini cuma sekali, Gaes. Kasihan amat kalau dipakai untuk nangisin manusia model
begitu. Mending kalau dia peduli. Ini gubris aja nggak. Jadi, kalau lo
ditinggalin, cuekin aja!
Einca, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar