Aku
pernah terluka. Merajut asa hanya dalam angan. Memeluk lara dalam keheningan.
Bertahun-tahun. Dan rasanya sungguh menyiksa. Serasa tenggelam di dalam lautan garam, dengan tubuh penuh luka berdarah. menyakitkan.
Aku
pernah kehilangan. Banyak jenis kehilangan yang pernah kutemui. Dari mulai
kehilangan orang terkasih sampai orang yang memusuhi. Dari mulai kehilangan asa
sampai impian yang kujunjung tinggi hingga ke langit. Dari mulai harta sampai harga
diri. Tapi satu jenis kehilangan yang membuatku jatuh lalu serasa tak memiliki
pegangan lagi. Kehilangan dia, yang menjadi kakak, saudara, teman, sahabat,
bahkan lawan.
Iya, kehilanganmu. Kau ada, tapi juga tak ada. Kau ada, tapi tak terlihat. Kau ada, tapi bukan hadir untukku. Kau ada, tapi senyap dan membisu.
Kau
ingat, Tuan, kata-kata yang pernah kau ucapkan. Optimis. Jangan menyerah. Akan
kucari cara untuk selalu menghubungi. Aku tidak akan ke mana-mana. Aku akan ada
untuk menemani. Nanti ketika aku kembali, akan kugenggam tanganmu untuk mewujudkan impian itu. Janji!
Janji. Semua
itu tercatat jelas di dalam kotak ingatan. Dan berada di urutan terdepan dari
segala janji yang mampu kuingat sekarang. Aku memegang semuanya. Aku bertahan akan rangkaian kata yang kau janjikan. Tapi sekarang masihkah aku harus memegang semuanya? Aku bahkan tak mendapat kabarmu langsung. Aku hanya mendengar dan menebak. Menerka dan mengira.
Tuan, aku menunggu. Menunggu kau hadir. Tak perlu nyata di depanku, cukup kau sapa aku. Lewat satu dua kata singkat, itu cukup. Aku tak akan meminta lebih jika memang tak boleh lagi. Jangan kau terus membisu. Aku tahu, kau membisu tapi tetap mengamati. Tapi itu rasanya jauh lebih menyakitkan.
Tuan, bukan cinta yaang kusodorkan untukmu. Tapi kasih dalam sayang adik untuk sang kakak. Hanya itu. Tak mengertikah kau? Aku memposisikan dirimu sama dengan dia. Dia yang telah pergi meninggalkanku untuk selamanya.
Tuan, jika memang kau ingin pergi menghilang, seharusnya kau tak menggenggam jika ingin melepas. Seharusnya kau tak memberi tawa jika ingin membuat tangis. Seharusnya kau tak berjanji jika ingin mengingkari. Tapi, Tuan, aku masih mempercayaimu. Aku masih menggenggam janjimu, dan aku masih menunggunya.
Jika masih boleh memohon, kumohon, jangan kau menghilang.
Isyfi' bissur'ah ya....
Tarji' ilayya, antazhiruka, musyitaqiin ilalkalaam ma'ak. Kuntu daaiman fis-syauq ilaik
Irji' bissur'ah.....
(Untukmu
yang jauh di sana)
Einca, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar