Senandung RASA Ketika hati dan otak mulai tak mampu lagi menampung rasa dan lisan tertahan untuk menyenandungkannya, maka tulisan mengambil alih untuk menyampaikannya. Menyenandungkan semua tentang Rasa...

Senin, 22 September 2014

GONE 2# ----- NELANGSA...



Dua ratus sembilan hari....

Tepat di pagi hari ke dua ratus sembilan ini, aku melihatmu, Matahari. Melihatmu di antara puluhan penumpang lain yang keluar dari gate kedatangan itu. Kamu tersenyum. Aku tahu, wajahku sekarang pasti sudah memerah hanya karena senyummu itu. Ya, hanya kamu yang bisa membuatku tersenyum dengan wajah memerah seperti ini.  Lalu, dengan kedua tangan terbuka lebar, kamu berjalan cepat ke arahku dan memelukku erat.

“Apa kabar, Ai,” 

Tuhan... itu suara Matahariku. Suara yang masih sama seperti beberapa bulan lalu. Suara yang ternyata masih mampu membuat jantungku berdegup cepat. 

 I’ve missed you, Aira...” 

Tuhan... nyaris melompat aku mendengar kalimat itu. Ya, I’ve missed you to. Aku benar-benar merindukanmu, Matahari. Aku benar-benar merindukanmu.

***

Siang itu, lagi-lagi namamu terdengar di rumahku. Namamu yang sudah berbulan-bulan tak pernah disebutkan lagi. Namamu yang ikut menghilang seiring dengan kembalinya aku di tengah-tengah keluargaku.

Kamu tahu, Matahari, adikku mendengar kabar tentangmu. Lega rasanya mendengar kamu baik-baik saja. Tapi satu tanyaku, kenapa kamu masih membisu dariku? Dan ternyata tanya itu bukan hanya datang dariku. Adikku, sahabatku, bahkan kedua orang tuaku, menanyakan kebisuanmu.

“Kak, nggak usah ingat Abang lagi. Anggap dia nggak pernah ada. Anggap dia udah mati!” Kalimat itu keluar dari mulut Ayahku dan menjadi keputusan Ayah, Ibu dan adikku. 

Tuhan... apa yang harus aku lakukan? Benarkah tak ada celah bagiku untuk bertemu dengan Matahariku? Tak bisakah Engkau membiarkan kami bertemu? Tak bisakah Engkau membiarkan terjadinya gerhana? Gerhana bahkan tak berlangsung lebih dari dua menit. 

“Insya Allah,” lirih kalimat itu kuucapkan. Aku tak bisa menjanjikan lebih dari kalimat itu. Dan aku berharap Tuhan masih berkenan mendengar doa-doaku. Doa-doaku yang sesungguhnya.

***

“Mau sampai kapan nunggu Wira?” tanya Adis, setelah memperhatikanku cukup lama. 

“Aku nggak nunggu, kok,” jawabku berusaha cuek.

“Oh ya?” Adis menatapku sarkartis. “Nggak nunggu? Nggak usah bohong sama gue, Ra. Kamu bahkan belum mau dengerin lagu sampai sekarang. Kamu masih suka beberapa kali buka emailmu yang terkhusus untuk Wira doang. Foto-foto Wira juga masih kamu simpan. Iyakan? Kamu nolak untuk kenal dengan cowok lain. Kamu masih suka nungguin matahari terbit dan tenggelam. See? Nggak nunggu kamu bilang? Aku sahabatan sama kamu dari kecil, Ra.” 

Aku menghela napas panjang. Ya, Adis tak salah. Aku memang masih menunggu. Aku masih mengharap.

“Lupain Wira, Ra.” Adis mengucapkan kalimat itu dengan penuh penekanan. Seolah aku adalah anak SD yang harus ditekankan dulu, baru bisa mengerti.

Lupain? Kalau aja bisa segampang itu. Aku ingin melupakan. Sungguh. 

“Ra,”

“Aku mau ke Yogya,” ujarku cepat, sebelum Adis sempat melanjutkan kata-katanya yang pasti akan berujung ceramah panjang.

“Hah?” Adis menatapku tak percaya. “Yogya? Ngapain? Nggak boleh!”

“Aku harus ke Yogya! Tolong Dis,” pintaku keras kepala.  “Please, Dis. Aku Cuma mau tahu keadaannya. Hanya itu. Satu kali aja, dan aku janji nggak akan nunggu dia lagi.” Aku benar-benar memohon kali ini. Satu kali Tuhan, perlancarlah jalanku.

Adis terdiam cukup lama. Terlihat jelas bahwa sahabatku itu tak menyetujui permintaanku. “Tolong, Dis...” pintaku lagi. Kali ini aku mengeluarkan suara super menyayat yang aku tahu, pasti mampu meluluhkan hati sahabatku ini.

“Kamu udah gila, Ra!” tukas Adis kesal. Tapi aku malah tersenyum senang. Aku tahu, Adis menyetujui permintaanku, aku juga tahu kalau Adis siap membantuku untuk meloloskan diri.

How long?” tanyanya kemudian.

“Dua.”

“Satu!”

“Dua, Dis,” aku mulai merengek.

“Satu! Atau nggak sama sekali,” tegas Adis. “Satu hari aja aku udah kesusahan untuk cari alasan, Ra. Apalagi dua.”

Aku menghela napas kesal. Ya, aku tahu. Adis yang paling kesusahan. Tapi...

“Satu atau tidak!” Adis kembali menegaskan.

“Oke. Satu.” Aku cepat mengambil keputusan sebelum Adis mengubah pikirannya. Ini kesempatanku satu-satunya. Dan, Tuhan... untuk kali ini, tolong kabulkan doaku.

***

Lega. Itu yang kurasakan. Lega saat melihat kamu ternyata baik-baik saja. Kamu tahu, Matahari? Cahayamu ternyata masih sama. Walaupun senyummu seperti menyimpan luka. Salahkah kalau aku berpikir bahwa hatimu belum melupakanku? Salahkah kalau aku berpikir bahwa hatimu juga merindukanku?

Sepertinya tidak, Matahari. Aku masih mampu merasa tentangmu. Tapi, untuk kali ini, maafkan aku. Aku harus menepati  janjiku pada sahabatku. Aku tak akan lagi menunggumu. Kalau memang cahaya untuk semestaku tak akan pernah muncul lagi, biarlah. Aku mulai terbiasa dengan gelap. Aku mulai terbiasa dengan temaram bintang yang walaupun tak seterang sinarmu, tapi cukup untuk membantuku menyinari langit malam. Aku mulai terbiasa tanpamu, Matahari. Dan aku sadar, bulan memang tak harus menyinari dengan bantuan matahari. 

***

Hai, Ra. Apa kabar?

Praanggg!!! Satu pesan singkat itu membuat piring buah yang kupegang terlepas bersama dengan ponselku. Jantungku berdebar hebat. Kepalaku mendadak pening. Adikku dan Adis yang tengah nonton TeVe di ruang keluarga, langsung berlari menghampiriku di dapur.

“Ada apa, Kak?”

“Kamu kenapa, Ra?”

Pertanyaan mereka berdua tak langsung kujawab. Yang aku lakukan malah menunjuk ponselku yang tergeletak di antara pecahan piring. 

“Dia, kembali...” ujarku lirih. 

Aku bisa mendengar napas tertahan adikku juga Adis. Aku tahu mereka berdua sama terkejutnya denganku. Matahariku kembali. Walaupun kini dia memanggilku dengan sapaan berbeda. 

Tuhan... apalagi ini? Yang telah hilang dan coba aku lupakan, kini engkau hadirkan kembali. Apalagi ini, Tuhan? Kini, harus bagaimana aku menanggapinya? Akankah Matahariku kembali untuk selamanya? Atau hanya sejenak?

“Kak, nggak usah dibalas,” tegas adikku.

“Iya, Ra, nggak usah ditanggepin.” Adis menimpali.

Aku terdiam. Aku tahu, mereka berdua tak ingin aku terluka lagi. Tapi, aku belum menemukan jawaban dari segala tanya yang menggumpal di kepalaku. Mungkinkah kali ini adalah kesempatanku untuk menemukan jawab itu? Atau ini hanya akan menjadi jembatan untuk menuju kehancuran yang lebih parah lagi? Entahlah. Aku bahkan tak bisa memikirkan apapun. Yang aku tahu, lima menit kemudian, jariku sudah bergerak lincah di layar handphone.

Baik, alhamdulillah. Bang Wira?

***

Aku nggak tahu. Sekarang, aku nggak bisa janjiin apa-apa lagi ke kamu. Tapi aku akan usahain untuk datang ke tempatmu dalam waktu dekat ini. Maaf, Ra...

Aku manatap barisan huruf yang terangkai di layar ponselku dengan senyum pahit. Pedih. Sakit, saat kata ‘tak bisa’ itu terbaca mata. 

Tahukah kamu, Matahari? Harusnya kamu tak pernah kembali. Harusnya kamu tak pernah datang lagi. Harusnya kamu tetap diam di sana dan tak muncul lagi. Harusnya kamu tak datang lagi dengan rasa menyesal dan maafmu. 

Tahukah kamu, Matahari? Airmata ini bahkan diam-diam masih sering mengalir di setiap malam dalam tidurku. Seharusnya biarlah aku menganggaap semua ini tetap semu. 

Tapi kini kamu kembali. Setelah pergi dan memaksaku ikut pergi. Kini kamu kembali dengan membawa lagi kenangan manis yang coba kulupakan dari ingatan dan hatiku. Kamu datang dan membuat usahaku untuk membencimu seketika musnah. Harus bagaimana aku, Matahari? Rasa ingin mempertahankanmu kembali muncul.

Nelangsa.

Kamu tahu kalau aku tak akan pernah bisa membencimu. Kamu tahu kalau aku tak akan pernah sanggup menahanmu. Kamu juga tahu di jauh dan dekatmu, aku tak bisa benar-benar melepaskanmu dari hatiku.

Tuhan... tak sekuat itu hati ini mampu menahan. Tak sekuat itu juga hati ini sanggup merelakan. Harus bagaimana aku? 

Drrrttt.... Drrrrttt....  Ponselku kembali bergetar. Cepat aku membuka pesan singkat yang tentu saja dari kamu.

Aku datang lusa. Tunggu aku, Aira. Aku akan menjelaskan semuanya. Tunggu aku...

Ya Tuhan....

Sekarang harus seperti apa? Berlari dan menghindar? Mematikan hati dan menutupnya? Atau malah mematikan diri dan menghilang bersama bumi? Mampukah? Bisakah? Mungkin. Tapi, aku masih ingin mendengar penjelasannya. Ada banyak tanya yang ingin kulemparkan kepadanya. 

Tuhan, untuk satu kali ini, izinkan aku bertemu dengannya. Bukan bertemu yang hanya aku yang tahu, tapi kami berdua tahu. Bertemu untuk menjelaskan segala yang tersembunyi 6 bulan ini. Dari dia dan dariku. Izinkanlah kami bertemu, tanpa adanya gerhana. 

Ok. Aku jemput di bandara, lusa. See you Sun...

***

Tentang bulan yang masih merindukan mataharinya...
Tentang matahari yang masih berusaha untuk memeluk bulannya...
Tentang semesta yang mecoba menyatukan keduanya di bawah langit yang sama... 





Einca, 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Airalaks, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena