“Mungkinkah kita bisa
menikah?”
Kamu
tertawa geli saat lagi-lagi kutanyakan hal yang sama. Aku tertunduk gelisah
sambil mencoret-coret agenda kecilku. Apa sih yang kamu tertawakan? Pertanyaanku itu bukan lelucon. Apa
kamu tidak tahu bahwa saat ini hatiku benar-benar gelisah?
“Kenapa
kamu nanya gitu?” Tanyamu setelah tawa itu mereda.
“Mungkin
nggak kita bisa menikah?” Bukannya menjawab aku malah melontarkan kembali
pertanyaan yang sama. Dan kali ini, kamu tidak tertawa. Mungkin kamu mulai
memahami kegelisahan yang aku rasakan saat ini. Ya, kamu pasti tahu.
“Kamu
harusnya nggak usah nanyain itu lagi,” ucapmu lembut,” kamu nggak percaya sama
aku?”
Aku
menggeleng cepat, padahal tahu kamu tak bisa melihat gelenganku. Bukan, bukan
aku tidak percaya. Aku selalu mempercayaimu. Hanya saja, saat ini hatiku
kembali dilanda keraguan.
“Kita
pasti menikah,” katamu meyakinkan. “Kita pasti akan bersama.”
Pasti?
Entah kenapa untuk malam ini, aku tak bisa mengikuti keyakinanmu. Entah kenapa,
rasa gelisah itu malah semakin menguasai hatiku. Aku ragu. Ya, aku mulai
meragukan hubungan ini. Bukan ragu padamu. Tapi aku meragu pada takdir.
***
“Abang
pergi, Kak.” Kabar itu kudengar dari adikmu, pagi setelah malamnya kamu meyakinkanku tentang
kebersamaan kita.
“Abang pergi, mungkin
karena Kakak. Sadar nggak, Kakak yang terlalu lama menunda, sampai akhirnya
semua prahara buruk itu kejadian. Mungkin Abang udah gila, makanya Abang
mutusin pergi dari rumah. Kakak puas
sekarang?”
Kalimat-kalimat itu
menghantamku. Aku? Aku yang menjadi penyebab kepergianmu? Benarkah?
“Mama mana, Ran?
Kakak bisa ngomong sama Mama nggak?” Tanyaku berharap.
“Mama nggak mau tahu
apa-apa lagi tentang Kakak. Mama nggak mau ngomong sama Kakak lagi. Mama minta
Kakak pergi juga dari keluarga kami.”
Tuhan.... Apa yang
harus kulakukan? Sebesar itukah salahku?
“Ran, siang ini Kakak
udah rencana buat ajak kalian ketemu keluarga Kakak,” ucapku pelan. Aku tahu,
ucapanku barusan mungkin tak akan merubah apapun lagi.
“Udah telat Kak.
Abang juga udah pergi. Ini juga terakhir Rando jawab telpon Kakak.
Assalammualaikum.”
“Waalaikumsalam...”
aku hanya bisa menjawab salam itu lirih. Apalagi yang bisa kulakukan selain
itu? Aku bahkan tak tahu lagi harus berbuat apa. Duniaku runtuh dalam sekejap.
Kita pasti menikah. Kita pasti bersama.
Kata-katamu semalam terputar lagi di otakku. Pasti? Tidak. Sekarang kamu malah
pergi meninggalkanku, dengan seluruh salah yang harus kutanggung. Harus ke mana
aku mencarimu?
Tuhan... inikah
jawabmu atas gelisah yang beberapa hari ini aku rasakan? Inikah jawabmu, atas
tanyaku tentang matahari dan bulan yang beberapa hari ini tak tampak?
***
Aku baru tahu,
ternyata ada nyanyian cahaya yang hilang saat matahari membisu. Aku juga baru tahu, ternyata ada sunyi yang
gelap, saat matahari menghilang. Dulu, aku selalu percaya bahwa matahari tak
akan pernah pergi meninggalkan langit. Dulu aku juga percaya bahwa matahari itu
tercipta untuk bersama bulan. Dan keyakinan dari mataharilah, yang membuat
bulan ikut percaya bahwa langit bercahaya lebih terang jika keduanya bersatu,
langit akan menggelap bila mereka berpisah, dan keduanya akan binasa bila tak
bersama.
Mungkin
kamu benar, Matahari. Sekarang bulan nyaris binasa. Langit yang menjadi tempat bulan
bergantung , gelap gulita. Dan perlahan kepercayaan bulan terhadap matahari
mulai memudar.
Kamu
tahu, Matahari? Alam di sekelilingku berdengung memintaku melupakanmu. Memintaku
menghapus jejak dan bayangmu dari semestaku. Memintaku tak lagi menunggu
hadirmu yang kini semakin semu.
Bodoh!
Itu yang selalu mereka katakan setiap kali melihatku termenung menunggu
hadirmu.
Kamu
tahu, Matahari? Aku sekarang berusaha meminta Tuhan untuk mempertemukan kita di
langit yang sama. Mungkinkah? Mereka bilang, tidak. Matahari dan bulan tak bisa
berada di langit yang sama, karena pertemuan mereka dapat mencipta gerhana, dan
tak semua penghuni bumi menyukai gerhana.
“Kak,
udah. Nggak ada gunanya Kakak terus nunggu Abang seperti ini. Kalaupun dia udah
kembali, keluarganya juga udah nutup diri dari kita.”
Untuk
kesekian kalinya dalam tiga bulan ini, adikku mengucapkan hal yang nyaris sama.
Melupakan? Aku ingin melupakan. Melupakan kamu, yang empat bulan sebelumnya
selalu menemani hari-hariku, siang dan malam. Melupakan kamu, lelaki yang walau
baru kutemui satu kali, tapi mampu membuatku terpikat.
Ku
akui, aku mulai lelah mencari. Ini sudah ujung terjauh yang sanggup kutempuh.
Tahukah kamu, sekeliling manatapku seperti orang tak waras. Mungkin mereka
benar. Dan tahukah kamu, aku mulai tak bisa lagi berlari dari keluargaku. Entah
bagaimana, mereka mulai menemukanku padahal aku belum menemukanmu.
“Kak...”
“Dia
pasti kembali,” ucapku yakin. Lebih tepatnya aku mencoba meyakinkan diriku
sendiri.
“Kalau
dia kembali, dia pasti udah muncul. Tiga bulan, Kak. Tiga bulan nggak ada
kabar,” tukas adikku kesal. “Bang Wira, nggak mungkin kembali lagi ke kita
Kak.” Adikku melanjutkan dengan suara pelan, terselip kesedihan yang dalam pada
kalimat terakhirnya.
Tahukah
kamu, Matahari? Adikku adalah orang kedua yang nyaris gila karena kepergianmu.
Dia adalah orang kedua setelah aku yang benar-benar menyayangimu. Dan dia juga
sekarang orang yang paling membencimu.
“Bang
Wira nggak akan kembali lagi Kak,” isak adikku pelan. Wajahnya tertunduk dalam
di bahuku, bisa kurasakan rembesan air matanya yang mengenai bajuku.
Tuhan...
jawablah doa-doaku. Aku hanya ingin tahu di mana dia. Aku hanya ingin tahu
bagaimana keadaannya. Tak ada yang lain yang dapat kupinta. Aku hanya ingin
melihatnya, walaupun hanya satu kali.
Bulan dan matahari itu tercipta untuk
bersama, karena mereka sama-sama menguasai langit. Bersama, kita pasti bersama. Lagi, kata-katamu berputar di
kepalaku.
Benarkah
Tuhan? Sesungguhnya aku sudah sangat lelah. Pencarian ini bahkan tak berbuah
apa-apa. Aku malah menyakiti orang-orang yang masih sangat memperdulikanku.
Tuhan... aku lelah. Tak bisakah Engkau memberikanku satu kesempatan untuk dapat
bertemu dengannya?
“Kakak
mau nunggu sampai kapan? Kakak bahkan nggak bisa bangun lagi sekarang,” kata
adikku.
Ya,
aku bahkan sudah tak sanggup lagi berjalan. Hanya diam dan berdoa.
“Mungkin,
Abang emang bukan buat Kakak. Nggak selamanya apa yang sama dengan kita itu,
bisa menjadi jodoh kita Kak. Mungkin Tuhan nunjukin sebelum Kakak sama Abang
melangkah lebih jauh lagi.”
Benarkah
Tuhan? Kalimat adikku itu menohokku. Ya, selama ini kita selalu merasa bahwa
jodoh tergaris di takdir kita. Banyaknya persamaan yang ada, sejak kecil hingga
sekarang. Bagaimana kita mampu saling memahami tanpa harus berbicara. Bagaimana
kita mampu saling jatuh cinta walaupun pertemuan baru terjadi satu kali.
Gila.
Itu yang selalu kita ucapkan saat kita menemukan, lagi-lagi hal yang sama. Kita
bahkan sama-sama bertanya pada dunia tentang banyaknya persamaan itu. Dari
mulai tanggal lahir, tragedi sebelum lahir, dan masih banyak lagi.
Tuhan... benarkah dia bukan untukku? Jika
memang bukan, kenapa rasa ini harus Kau munculkan?
“Kak...”
“Abang
pasti kembali,” ucapku lirih. “Entah lewat cara apa, dia pasti akan kembali.”
Dan aku mendengar adikku menghela napas kesal.
“Kakak
udah gila!” cetusnya.
Ya,
mungkin aku sudah gila. Tapi entahlah. Aku memang lelah mencari, mencari nyata di tengah semu yang tercipta. Tapi aku masih
sanggup menunggu, setidaknya untuk satu atau dua kalimat penjelasan darimu. Menunggu semu yang semoga saja masih bisa menjadi nyata. Walaupun mungkin memang bulan tak bisa bersama matahari, tapi setidaknya Tuhan
masih mampu mempertemukan mereka lewat gerhana.
***
Cinta itu
mampu menunggu...
Walau tak
jelas sekalipun, cinta tetap mampu menunggu...
Cinta tak
akan berteriak lelah untuk menunggu satu jawab akan tanya yang tersimpan...
Cintapun
selalu tahu, yang ditunggu masih layak atau tidak untuk selalu ditunggu..
Einca, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar